Cara Menyelamatkan Pertamina Sangat Sederhana, Kembalikan Kuasa Pertambangan Ke BUMN

Cara Menyelamatkan Pertamina Sangat Sederhana, Kembalikan Kuasa Pertambangan Ke BUMN

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Kondisi pengelolaan industri migas di Indonesia memprihatinkan. Hal tersebut dapat dilihat dari turunnya investasi eksplorasi migas yang diikuti dengan terus turunnya produksi minyak mentah.

Selain itu, kinerja PT Pertamina Persero sebagai perusahaan minyak nasional nyatanya anjlok. Dibuktikan dari tidak masuknya Pertamina dalam daftar Global Fortune 500 pada 2019.

Padahal, menurut Direktur Pusat Studi Ekonomi Perminyakan dan Energi, Kurtubi, sumber daya migas Indonesia masih sangat besar.

"Setidaknya masih ada sekitar 50 miliar barel minyak mentah dan sekitar 100 tcf gas yang masih terperangkap di sekitar 120 cekungan," ujar alumni Sekolah Pertambangan Colorado dan Institut Francaise du Petrole tersebut dalam keterangannya pada Rabu (26/8).

Dengan angka tersebut, Indonesia sebenarnya bisa menggandakan kapasitas kilang yang selama ini stagnan berada di level sekitar 1 juta barel per hari, menyebabkan impor lebih besar dari ekspor.

Persoalan tersebut, menurut Kurtubi bermuara pada perubahan tata kelola industri migas nasional dari UU Pertamina No. 8/1971 yang menempatkan Pertamina sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan diganti dengan UU Migas No. 22/2001 yang direkomendasikan Dana Moneter Internasional (IMF).

Dalam UU yang muncul pasca krisis moneter 1998 tersebut, kuasa pertambangan dilimpahkan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sementara Pertamina menjelma menjadi Persero yang dibentuk dengan Akta Notaris.

Dengan perubahan tersebut, sistem birokrasi menjadi rumit. Di mana kerja sama menjadi bersifat "B to G" atau bisnis dengan pemerintah.

Pergantian tersebut juga menurut Mahkamah Konstitusi sudah memicu terjadinya pelanggaran sehingga harus mencabut puluhan pasal dalam UU Migas.

"Menurut saya, solusi krisis yang melanda perminyakan dan industri gas sejak 2001 sangat sederhana, mengembalikan pengelolaan migas sesuai dengan Pasal 33 UUD 45 di mana Kuasa Pertambangan dikembalikan kepada BUMN," jelas Kurtubi.

"Seperti dalam UU Pertamina No. 8/1971 dan UU No. 44/Prp 1960 yang mengatur bahwa eksploitasi minyak dan gas dapat terus berlanjut dilakukan oleh negara dan pelaksana eksploitasinya hanya dapat dilakukan oleh perusahaan negara," terangnya.

Jika kuasa pertambangan berada di tangan pemerintah, maka industri migas nasional, termasuk Pertamina akan runtuh, kata Kurtubi. Pasalnya, sistem dan proses investasi menjadi rumit dan birokratis.

Namun, jika dikembalikan kepada perusahaan negara, maka sistemnya akan berlaku Kontrak Bagi Hasil antarperusahaan atau "B to B".

"Pelaku usaha migas yang melakukan kontrak dengan Pertamina jaminan hak ekonomi berupa cost recovery dan pembagian keuntungan yang telah disepakati, kemudian Pertamina mengurus semua izin yang dipersyaratkan oleh kontraktor untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan produksi migas. Sistem dan proses investasi menjadi sederhana," paparnya.

Sebagai contoh, pada 1960-an, Indonesia hanya bisa menghasilkan 200 ribu barel per hari. Namun setelah UU Pertamina No. 8/1971 berlaku, pada 1980-an hingga 1990-an, Indonesia bisa menghasilkan 1,7 juta barel per hari.

Selain itu, BUMN juga bisa menjalankan bisnis migas seperti pertambangan, pembangunan kilang minyak, hingga penjualan BBM di seluruh Indonesia tanpa menggunakan APBN, tetapi dengan pebiayaan konsorsium bank.

"Hal ini dapat terjadi karena Bank Internasional dan perusahaan minyak dan gas dunia mempercayai Pertamina sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan yang bertugas mengembangkan cadangan gas bawah tanah," ucapnya.

Dari pengalaman Blok Rokan, jika Pertamina memenang Kuasa Pertambangan, maka kasus tidak akan berbelit-belit hingga harus menerbitkan Global Bonds di Singapore Capital Market.

Jika Pertamina memang Kuasa Pertambangan, maka Blok Rokan akan secara otomatis kembali dioperasikan oleh Pertamina setelah kontraknya habis.

"Saya yakin Pertamina sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan akan dengan mudah dapat kembali masuk dalam Fortune Global 500 dengan peringkat yang jauh lebih tinggi dari peringkat yang diraih tahun 1998 di angka 178," kata Kurtubi optimis.

Untuk itu, Kurtubi mendesak pemerintah untuk menyederhanakan klaster migas dalam RUU Omnibus Law dan RUU Revisi UU No. 22/2001 dengan mengembalikan Kuasa Pertambangan kepada Pertamina.

Kendati begitu, pemerintah sebagai regulator juga harus tetap mengawasi Pertamina dalam menjalankan tugas dan fungsinya untuk memenuhi kebutuhan BBM dengan harga yang sudah ditetapkan. (Rmol)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita