MK (+KPU dan Bawaslu) Vs MA (dan Rakyat yang Dizalimi)

MK (+KPU dan Bawaslu) Vs MA (dan Rakyat yang Dizalimi)

Gelora News
facebook twitter whatsapp

Penulis: Chusnul Mar’iyah (Dosen Ilmu Politik, Universitas Indonesia)

Dalam dua hari ini Media Sosial WAG dipenuhi dengan diskusi, saling komentar, saling memberikan dalil membaca hasil putusan MA no 44 P/HUM/2019 tentang Pilpres 2019 yang lalu. Pendukung MK dan lembaga-2 koalisinya tentu memberi dalil yang intinya membaca pasal dan ayat2 konstitusi itu  disebut “komulatif” (istilah anggota KPU). Intinya putusan MK final dan mengikat. Perpspektif Ilmu hukum membaca pasal pamungkas tersebut.
 
Bagaimana membaca konstitusi dan pilpres dalam perpektif Ilmu Politik itu?
 
Persyaratan bagi seorang presiden dapat dilantik dari hasil pemilu bila sesuai dengan pasal 6 A (lihat/baca UUD 1945 yang sudah diamandemen). Kenapa MK waktu itu tidak memutuskan dibuatkan putaran kedua karena belum memenuhi persyaratan menjadi Presiden? Pasal tersebut tidak berbicara tentang jumlah calon, akan tetapi ambang batas perolehan suara kandidat untuk dapat dilantik sesuai dengan bunyi pasal di dalam konstitusi. Bila tidak memenuhi syarakt tersebut seharusnya dilakukan pemilu ulang. Itu konsekwensi dari pemilu langsung. Di sini logika kualitatif tidak bisa diubah menjadi logika kuantitatif. Misalnya, KPU secara sengaja tidak melaksanakan pilpres di 2 kecamatan, bahkan diaminkan oleh putusan MK dengan dalil tidak akan mengubah hasil pemilu. Namun dalil Ilmu Politik berbicara lain, bahwa ada hak konstitusi warga negara yang secara sengaja dihilangkan oleh KPU dan MK misalnya untuk menentukan pemimpinnya. Hal itu berarti sudah melanggar konstitusi. Hasil pemilunya bisa tidak legitimate.
 
Dalam Ilmu Politik, Pemilu adalah proses suksesi pemerintahan yang dilaksanakan secara periodik tanpa kekerasan dengan prinsip free and fair (bebas dan jujur). Dalam kompetisi tersebut tidak boleh menggunakan kekerasan; ada partisipasi penuh; ada pula civil and political liberties (paling tidak terdapat kebebasan pers, kebebasan berserikat, kebebasan menyatakan pendapat). Oleh karena itu membaca putusan MA tidak dapat sebatas pada putusan MK itu final dan mengikat dan putusan MA tidak berpengaruh.
 
Perspektif Ilmu Politik masalahnya lebih kompleks, terutama tingkah laku politik elit yang berkuasa. Putusan MK, yang hasil pemilunya sudah dimenangkan oleh KPU dan oleh Bawaslu, memiliki dampak politik terhadap “legitimasi” kekuasaan yang dimilikinya. Kenapa? Proses politik dalam penyelenggaraan pemilu tidak bebas dari berbagai masalah. Hampir seribuan pekerja pemilu yang meninggal; 500an yang protes di depan bawaslu ditahan dan 10an yang “ditembak” meninggal; DPT bermasalah (TKA yang punya e-ktp; orang gila boleh memilih; e-ktp yang tercecer); IT KPU ( C1nya berbeda dengan C1 Plano); Money Politics; Penggunaan APBN dan APBD untuk satgas pemenangan; diskriminasi hukum (buzzer pro bebas membully); tokoh oposisi, Ulama’ dipersekusi, dilaporkan ke polisi; media konvensional dikuasai. Pemilu dikuasai oleh oligarkhi politik, oligarkhi ekonomi (para bandar) dan oligarkhi sosial.
 
Bagaimana setelah dilantik? Perspektif Ilmu politik melihat bahwa legitimasi penguasa akan terus menerus diawasi detik demi detik, menit demi menit, hari demi hari selama berkuasa baik oleh parlemen maupun oleh rakyat. Perkembangan politik dengan RUU Omnibus, issue covid-19 dengan munculnya perpu dan UU yang intinya lebih dalam penggunaan anggaran ratusan Trilyun untuk non-kesehatan, adakah transparansi sementara paying hukumnya tidak bisa dipidana dan perdatakan, dilaporkan ke polisi maupun dikoruptorkan? Rapid test dan PCR yang untung siapa? Bandar atau siapa? Belum lagi kebijakan ekonomi politik yang perlu dipertanyakan tentang masuknya TKA secara “ugal2an”, hutang menumpuk, BUMN bangkrut, rekrutmen jabatan2 dengan KKN?
 
Yang kemudian paling mengerikan adalah secara diam-2 tanpa ada bahasan akademik yang luas dan mendalam disetujuinya RUU HIP oleh DPR untuk masuk dalam prolegnas. Inti dari RUU HIP tersebut adalah mengganti Pancasila menjadi trisila dan ekasila (gotong royong) tanpa memberikan konsideran tentang TAP MPRS no 25 tahun 1966 tentang komunisme. Bukan itu saja. Namun RUU HIP ini telah menyakiti ummat Islam (terutama) dan ummat beragama di Indonesia. Karena Ketuhanan disubordinasi dengan kebudayaan.
 
Jadi putusan MA itu jangan dilihat dari aspek hukum per se. Lihatlah dari perspektif yang lebih komprehensif dalam kacamata Politik. Putusan MA adalah the icing on the cake bagi pejuang pencari keadilan dalam pilpres 2019, dengan konteks politik kekinian adanya UU Corona, Hutang Negara, TKA, RUU Omnibus, diskriminasi penegakan hukum dan RUU HIP. Dasar legitimasi kekuasaan ambruk. Ini momentum untuk mempertanyakan bahwa apakah KPU, Bawaslu dan MK telah menafsirkan konstitusi selain salah juga fatal? Siapakah sesungguhnya yang berhak duduk di istana mengurus negeri yang memiliki 260an juta warga ini secara konstitusional, amanah, dan sah? Mari terus berjuang menegakkan keadilan dengan terus berpegang pada tali taqwa kepada Allah dan RasulNya. (*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita