Integritas KPU Yang Perlu Dipertanyakan Terkait Putusan MA Soal Pilpres

Integritas KPU Yang Perlu Dipertanyakan Terkait Putusan MA Soal Pilpres

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

Oleh:Dr. Humphrey R. Djemat, S.H., LL.M
SIKAP Mahkamah Agung yang telah membatalkan Pasal 3 (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia No. 5/2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolahan Kursi dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum (Peraturan KPU RI) karena dinilai telah bertentangan dengan Pasal 416 UU 7/2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) melalui Putusan Uji Materil No. 44 P/HUM/2019, telah menimbulkan perdebatan serta pertanyaan di masyarakat.

Pertanyaannya sudah bukan lagi tentang apakah putusan uji materiil tersebut berdampak terhadap hasil pemilihan umum yang lalu (khususnya terkait posisi Joko Widodo-Maruf Amin yang sudah ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih dengan menggunakan ketentuan yang dibatalkan tersebut dan bahkan sudah dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI pada tanggal 20 Oktober 2020), karena jelas bahwa demi hukum putusan uji materil ini tidak berdampak apapun terhadap peristiwa yang terjadi sebelum putusan uji materil ini dikeluarkan oleh Mahkamah Agung pada 28 Oktober 2019 sehubungan dengan tidak dikenalnya asas non-retroaktif dalam hukum Indonesia yang pada pokoknya melarang keberlakuan surut dari suatu undang-undang.

Namun, yang perlu dikaji serta dipertanyakan adalah mengapa Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI), selaku lembaga negara yang memiliki peranan begitu penting dalam ruang lingkup nasional, dapat membuat suatu aturan yang jelas-jelas atau setidaknya berpotensi untuk bertentangan dengan peraturan-peraturan di atasnya, dalam hal ini adalah UU Pemilu dan bahkan UUD 1945.

Tindakan KPU RI tersebut telah mengundang suatu perdebatan liar di dalam masyarakat karena adanya potensi pertanyaan-pertanyaan yang timbul, yang tentunya hanya dapat dijawab oleh KPU RI sendiri, seperti antara lain:

1. Apa latar belakang dan alasan KPU RI ketika membuat aturan tersebut;

2. Mengapa KPU RI terlihat seperti ingin menyederhanakan suatu proses penetapan pasangan calon terpilih yang telah diatur dalam peraturan di atasnya, yaitu dengan menghilangkan ketentuan di UU Pemilu dan UUD 1945, yang mewajibkan pasangan calon harus memenangi di lebih dari setengah jumlah seluruh provinsi Indonesia, dengan masing-masing kemenangan lebih dari 20 persen?; dan

3. Apakah KPU RI sebenarnya sudah memiliki prediksi akan adanya kesulitan bagi pasangan calon tertentu jika syarat tersebut di atas tetap diberlakukan, sehingga memutuskan untuk meniadakan syarat tersebut demi memudahkan pasangan calon tersebut untuk nantinya dapat mememenangi pemilihan presiden?

Namun dengan adanya kejadian ini, jelas integritas serta independensi KPU RI sebagai lembaga negara yang memiliki tugas dan peranan sangat penting, yaitu menyelenggarakan suatu pemilihan umum yang bersih, adil dan bebas dari segala macam kepentingan, menjadi patut untuk dipertanyakan mengingat integritas seorang pejabat atau lembaga negara dapat dilihat dari seberapa patuhnya yang bersangkutan terhadap peraturan-peraturan yang sudah ada.

Sudah sepatutnya bagi KPU RI ketika membuat aturan tentang penetapan pasangan Ccalon terpilih, harus merujuk dan tidak dengan gampangnya mengesampingkan ketentuan-ketentuan yang sebetulnya telah diatur pada peraturan di atasnya, yaitu UU Pemilu dan UUD 1945.

Dengan kejadian dibatalkannya suatu aturan yang dibuat oleh KPU RI oleh Mahkamah Agung RI, tentunya hal ini harus menjadi tamparan keras dan pelajaran bagi KPU RI untuk segera memperbaiki kinerjanya, khususnya untuk menjadi suatu lembaga negara yang benar-benar profesional, bersih dan bebas dari segala macam kepentingan.

Jika saat ini KPU RI beruntung karena dapat berlindung dari fakta bahwa pasangan calon terpilih dalam pemilu yang lalu pun (Joko Widodo-Maruf Amin) telah memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 416 UU Pemilu dan UUD 1945, namun bagaimana jika ternyata pasangan calon terpilih yang menggunakan Pasal 3 (7) Peraturan KPU RI ternyata tidak memenuhi syarat dalam Pasal 416 UU Pemilu dan UUD 1945? Atau jika misalnya Indonesia tidak mengenal asas non-retroaktif?

Tentunya hal tersebut akan menimbulkan suatu kekacauan yang besar, mengingat hal ini dapat berdampak pada keabsahan Joko Widodo-Maruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Dengan kata lain, tanggung jawab yang dipertaruhkan oleh KPU RI sesungguhnya adalah sangat besar dan penting, karena menyangkut mengenai kepemimpinan nasional serta kepentingan ratusan juta warga negara Indonesia.

Saat ini, sangat beralasan jika kita, selaku masyarakat awam menunggu jawaban dari KPU RI mengenai apa yang sesungguhnya melatarbelakangi KPU RI ketika membuat aturan tentang penetapan pasangan calon terpilih yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung RI tersebut? Apakah benar peraturan tersebut telah dibuat dengan profesional dengan melihat kepentingan dari seluruh masyarakat Indonesia dan bukan melihat kepentingan dari pihak-pihak tertentu?


(Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Muktamar Jakarta)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita