Menelisik 'Gedong Setan' dan Jejak Kaum Teosofi di Kota Bandung

Menelisik 'Gedong Setan' dan Jejak Kaum Teosofi di Kota Bandung

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO -Sebuah gedung tua di sebelah timur Lapangan Saparua, Kota Bandung kerap menyita perhatian siapapun yang lewat. Gedung tanpa jendela di dinding bagian luarnya, seolah menambah kesan misterius bangunan bercat putih yang mulai kusam dimakan waktu.
Hanya ada tulisan "S. Albanus" Geredja Katholik Bebas yang tersemat di bagian depan bangunan tersebut. Saking misteriusnya, masyarakat sekitar pun menamainya 'Gedong Setan'.

Berbagai mitos pun merebak mengenai gedung ini, salah satunya tentang suara radio transistor berbunyi keras dengan bahasa Belanda terdengar dari dalam gedung tak berpenghuni tersebut. Tak jarang juga ada yang mendengar suara orang-orang berdialek Eropa yang sibuk berdiskusi di dalam gedung tersebut.

Pemandu dari Komunitas Aleut, Teguh Bestari mengatakan gedung tersebut memang tak benar-benar kosong. Ada seseorang yang berjaga di dalam gedung tersebut. Dari perbincangannya dengan sang penjaga, memang benar terdapat transistor di bagian belakang gedung tersebut, namun tak lagi dioperasikan sejak lama.

"Kadang juga terdengar seperti ada orang-orang yang sibuk memindahkan lemari, karena di dalamnya ada ribuan buku di dalamnya," ujar Teguh saat menjelaskan kepada detikcom dan sejumlah peserta tur urban legend lainnya, belum lama ini.

Bila mengulas fakta sejarah, bangunan tersebut dibangun seabad yang lalu. Tepatnya pada tahun 1920, oleh seorang arsitek ternama Belanda Ir. F.J.L. Ghijsels. Pembangunan gedung tersebut bermula ketika Ghijsels ditugaskan untuk membangun perencanaan dan tata kota Bandung.

Sebagaimana ditulis H. Akihary dalam Ir. F.J.L. Ghijsels, Architect in Indonesia 1910 - 1929 (1996), yang dikutip M Ryzki Wiryawan dalam buku Okultisme di Bandoeng Doeloe : Menelusuri Jejak Gerakan Teosofi dan Freemasonry di Bandung (2014), Ghijsels bertemu dengan seorang tokoh Teosofi di Bandung, Van Der Ley. Ia menyetujuinya dan pembangunan dimulai pada tahun 1919 di Bandastraat 26 (Jalan Banda 26).

Masyarakat Teosofi (Theosophical Society) didirkan tahun 17 November 1875 di New York, tapi baru diresmikan pada 3 April 1905. Tujuan pendirian dan landasan pergerakan perkumpulan ini yakni menjembatani antara agama dan ilmu pengetahuan, untuk menjawab segala pertanyaan dan fenomena di dunia ini.

Kaum Teosofi pun hanya menggunakan bangunan S. Albanus ini selama kurang lebih 10 tahun, karena pada 1930 mereka beralih ke bangunan di Olcottpark Bandung, yang kini berdiri menjadi Bandung Indah Plaza (BIP).

Lalu apa hubungannya Teosofi dengan Gereja Katolik Bebas ?

Ryzki menulis, Gereja Katolik Bebas berdiri setelah J.I Wedgewood, mantan uskup Anglikan bergabung dengan gerakan Teosofi yang tengah berkembang kala itu, sekitar tahun 1904. Walau mengambil kata 'Katolik', sebenarnya aliran ini tidak berafiliasi apapun dengan Katolik Roma. Sementara kata 'bebas' merujuk pada kebebasan jemaahnya untuk menerjemahkan kitab suci, kredo, liturgi serta menyesuaikannya dengan ilmu pengetahuan.

Filsafat itu sesuai dengan semboyan Teofosi yang mengatakan, 'tidak ada agama yang lebih tinggi daripada kebenaran'. Pemilihan nama gereja S. Albanus sendiri mengacu kepada seorang tokoh bernama Alban yang hidup di abad ke-3 Masehi dan dikenal sebagai martir Kristen pertama di Inggris.

Jejak-jejak kaum Teosofi mulai menghilang seiring dengan kedatangan bangsa Jepang di Nusantara. Kendati begitu, gerakan ini dikabarkan masih aktif di Bandung, walau tak lagi bermarkas di Gereja S. Albanus.

Tempat ini juga pernah menjadi tempat kursus Bahasa Belanda dengan frasa 'Nedherlandse Taal Cursus' atau yang berarti Kursus Bahasa Belanda. Masih ada aktivitas kecil di sana, walau terbatas di bagian belakang gedung.

Kini bangunan tersebut telah terdaftar sebagai Cagar Budaya tipe A oleh Pemerintah Kota Bandung dalam Perda No. 19 tahun 2009. Gereja S. Albanus pun dipagar, karena kerap menjadi lahan parkir liar.(dtk)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita