Sindir Jokowi, Ubedilah Badrun: Masyarakat Bukan Pulang Kampung, Tapi Mengungsi

Sindir Jokowi, Ubedilah Badrun: Masyarakat Bukan Pulang Kampung, Tapi Mengungsi

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Presiden Joko Widodo telah melarang masyarakat di wilayah yang menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mudik.

Presiden Jokowi juga menyebut bahwa masyarakat yang berangkat menuju kampung halamannya saat ini atau jauh dari hari Lebaran bukan disebut mudik, melainkan pulang kampung.

"Jokowi membuat perbedaan makna baru dari mudik dan pulang kampung. Jadi yang pulang kampung sekarang boleh berduyun-duyun menuju kampung tidak apa-apa menurut Jokowi. Jokowi lupa ada aturan larangan tersebut," ucap Direktur Eksekutif Center for Social Political Economic and Law Studies (Cespels), Ubedilah Badrun, kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (24/4).

Ubedilah melihat adanya kekeliruan pemaknaan dari Presiden Jokowi yang hanya melihat pergerakan warga Jabodetabek secara fisik dari kota ke kampung.

Padahal, kata Ubedilah, bergeraknya puluhan ribu warga dari Jabodetabek ke kampung halaman berpotensi membawa virus corona serta adanya makna mengungsi.

"Itu sesungguhnya memiliki makna mengungsi. Mereka menjadi pengungsi di daerah. Mengapa? Sebab di antara karakteristik pengungsi adalah tidak memiliki cukup keuangan dan makanan untuk bisa bertahan hidup, di kampung juga lama-lama sumber bantuannya dari sesama warga di kampung juga akan habis," jelas Ubedilah.

Sementara, sambung analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini, ciri warga pengungsian adalah memiliki kebergantungan yang tinggi.

"Sementara pekerjaan di kampung tidak ada. Praktis mereka hanya akan bergantung kepada bantuan. Kebergantungan tinggi kepada bantuan adalah ciri warga pengungsi," lanjut Ubedilah.

Dengan demikian, fenomena masyarakat yang kembali ke kampung halamannya bisa disebut sebagai fenomena pengungsian besar-besaran.

"Jadi sesungguhnya saat ini sedang terjadi pengungsian besar-besaran di seluruh Indonesia. Situasi ini juga terjadi di hampir seluruh dunia. Problemnya, di Indonesia tampak lebih parah karena kemungkinan daya tahannya hanya maksimal dua atau tiga bulan saja," pungkas Ubedilah. (Rmol)

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA