PPP: Aturan dari Luhut Lebih Kental Nuansa Ekonomi dan Politik

PPP: Aturan dari Luhut Lebih Kental Nuansa Ekonomi dan Politik

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di wilayah DKI Jakarta tengah hangat diperbincangkan. Hal ini seiring munculnya aturan yang dikeluarkan Menteri Perhubungan Ad Interim Luhut Binsar Pandjaitan yang mengizinkan ojek online tetap mengangkut penumpang.

Sekretaris Fraksi PPP DPR RI Achmad Baidlowi mengurai bahwa penerapan PSBB di Jakarta didasarkan atas dasar UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, PP 21/2020 tentang PSBB, Keppres 9/2020 tentang Kedaruratan Kesehatan, Permenkes 9/2020 tentang Pedoman PSBB yang dalam pelaksanaan teknisnya diatur oleh peraturan kepala daerah.

Di dalam Permenkes 9/2020 jelas diatur mengenai pembatasan moda transportasi baik pribadi maupun umum, yakni memerhatikan protokol kesehatan dengan menjaga jarak antar penumpang.

Namun dalam Permenhub 18/2020 ada pasal yang kontroversial. Pasal 11 ayat 1 huruf c berisi larangan bagi melarang sepeda motor mengangkut penumpang. Tapi pada huruf d, mengurai bahwa untuk melayani kepentingan masyarakat dan untuk kepentingan pribadi, sepeda motor dapat mengangkut penumpang. Asalkan memenuhi sejumlah syarat.

“Huruf d ambigu. Karena prinsip PSBB itu adalah pembatasan jumlah penumpang dengan semangat phsyical distancing sebagaimana diatur Permenkes 9/2020. Maka, jika pemotor diperbolehkan mengangkut penumpang tentu tidak memenuhi ketentuan phsyical distancing,” ujar Awiek kepada wartawan, Senin (13/4).

Anggota Komisi VI DPR RI ini menilai aturan pasal 11 ayat 1 huruf d Permenhub 18/2020 kental dengan ekonomi dan politik ketimbang keselamatan rakyat. Akibatnya, justru akan merepotkan aparat yang mengimplementasikan di lapangan.

“Terlihat ketentuan tersebut lebih bernuansa ekonomi dan politik. Padahal, pemerintah sudah menyiapkan paket stimulus Rp 405,1 Triliun, dari jumlah tersebut sebagian bisa digunakan sebagian untuk membantu para para ojek online,” ujarnya.

Selain itu, menurutnya peraturan tersebut juga menunjukkan lemahnya koordinasi dan komunikasi antar instansi di pemerintahan dalam penerapan PSBB yang menghasilkan kebijakan kontraproduktif.

“Hal seperti ini seharusnya tidak perlu terjadi. Gara- gara keputusan yang berbeda tersebut, maka para ojek dirugikan. Di satu sisi dilarang, namun di sisi lain diperbolehkan,” tandasnya. (*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita