"Lockdown"

"Lockdown"

Gelora News
facebook twitter whatsapp


Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan

Solo telah me "lockdown" kotanya. Atau kata Walikota Solo, Rudyatmo, boleh disebut Lockdown boleh juga semi lockdown. Rudy menutup semua sekolah SD dan SMP dengan 79.000 siswa. Selain sekolah, semua Madrasah juga tutup. Semuanya 14 hari. SMA sementara tetap sekolah demi kelanjutan ujian akhir bulan depan. Selain sekolah2, semua kegiatan keramaian di tutup alias ditunda. "Mending saya disalahkan orang waras daripada disalahkan orang sakit", kata Rudy.

Tindakan Rudy ini dilakukan dua hari setelah satu orang pasien Covid-19 meninggal dunia di Solo. Dan tindakan Rudy ini merupakan tindakan berbeda 180 derajat dari Jokowi yang masih mengatakan "saya belum berpikir untuk Lockdown". Solo, di mana Rudy secara lantang menolak anak Jokowi, Gibran, sebagai calon walikota PDIP Solo, juga memperlihatkan Rudy pembangkang pertama dari jajaran kepala daerah yang ekstrim dalam kasus pandemik virus corona ini.
 
Pembangkangan kepala daerah pertama sekali "ala Jawa" alias santun sebenarnya sudah lebih dahulu dilakukan Anies Baswedan di Jakarta. Anies meski bukan orang Solo (kota yang identik dengan kehalusan budi), telah bermanuver banyak beberapa hari belakangan ini soal penanganan korona. Anies memulai dengan pengumunan potensi penyebaran potensi pasien virus korona pada tanggal 29 Februari. Pada tanggal 1 Maret, menteri kesehatan tidak terima dengan langkah Anies, yang dianggap tidak tunduk pada prosedur dan tata cara pemerintah pusat atau kemenkes atau direktorat jenderal pencegahan penyakit, dalam menyampaikan data maupun tidak berkonsultasi dengan mereka. Suasana panas. Namun, esok harinya, tanggal 2 Maret, Jokowi mengumumkan bahwa Indonesia positif terjangkit virus-corona. Jokowi mengumumkan dua positif terinfeksi setelah berinteraksi dengan warga Jepang. Pengumuman Jokowi hanya berselang beberapa waktu IMF mengumumkan akan memberikan bantuan (pinjaman) uang bagi negara2 yang mengaku terjangkit virus ganas itu.
 
Anies terus bermanuver membangun sistem informasi epidemik covid-19 melalui situs corona. jakarta. go. id. Manuver Anies dilanjutkan dengan memberitahu rakyat Jakarta peta penyebaran virus corona. Anies melanjutkan lagi dengan mengerahkan BUMD DKI Pasar Jaya menjual masker dan pembersih tangan. Anies melanjutkan lagi kemarin dengan menutup tempat tempat wisata, a. l. Ancol, TMII, Kebun Bintang dan menunda ajang kebanggaan Anies, Formula E. Akhirnya, kemarin malam Anies meminta warga Jakarta untuk berdiam di rumah saja. Nah, yang paling akhir, Anies hari ini meliburkan sekolah se Jakarta, selama dua minggu, serta menunda ujian nasional.

*Apa itu lockdown?*

Lockdown dalam konteks pandemik coronavirus adalah menutup kota atau negara. Dalam situasi itu semua penduduk tinggal di rumah tanpa aktifitas.

Dalam video yang dirilis CGTN, "The Lockdown: One month in Wuhan", tanggal 23 Januari 2020, dua hari sebelum hari raya Imlek, orang2 yang bepergian untuk bekerja di stasiun Hankou, Wuhan, jam 10 pagi, dikejutkan dengan pengumuman semua warga harus kembali ke rumah. Kota itu di tutup. Wuhan Airport juga di tutup. Tidak ada orang boleh keluar rumah.

Tidak boleh keluar rumah artinya tidak ada orang boleh sekolah, tidak boleh bekerja, tidak boleh apapun selain di rumah. Pemerintah mengirimkan tenaga medis dan sukarelawan mendatangi ribuan rumah terdampak memeriksa rumah dari pintu ke pintu. Semua yang didatangi harus menjelaskan kondisi kesehatan mereka dan mereka di periksa suhu tubuhnya. Beberapa orang yang terduga terinfeksi, diangkut dengan ambulan ke rumah sakit. Pemerintah kemudian membangun rumah sakit darurat dalam waktu singkat 1000 tempat tidur tahap satu. Lalu tahap dua 1600 tempat tidur. Karena rumah sakit yang ada telah kewalahan menerima pasien. Xie Jingjing, dalam dokumenter CGTN itu, perawat di RS. Wuhan, menggambarkan situasi antrian yang berbaris lingkaran seperti ular, begitu panjang. Selain itu pemerintah Cina mendatangkan 10.000 kalangan medis ke Wuhan dari sebelas provinsi lainnya. Wuhan hanya punya 35.000 perawat dan dokter. Tidak cukup.

 Ketika tanggal 2 Februari, rumah sakit darurat pertama selesai, pusat karantina sudah ada dua belas tempat.  Hari ke 21 lockdown, pemerintah Cina menambah bantuan lagi dengan mengirim 1400 orang tentara medik. Pada saat ini orang terinfeksi telah menurun ke angka 13436 jiwa dari sebelumnya 1766 pada hari ke - 14 lockdown atau seminggu sebelumnya.

Untuk masyarakat yang terkurung di rumahnya masing-masing, makanan dan obat2an dipesan melalui online.

Pemerintah cina mengizinkan tiga group bisnis kurir menjalankan pengantaran barang ke rumah masing2 masyarakat.

*Bagaimana lockdown di Itali?*

BBC News, 3 hari lalu, dalam beritanya "Coronavirus: Italy in Lockdown", menceritakan suasana Italia yang sepi dan mencekam. Tentara dan polisi menjaga berbagai perbatasan antara provinsi untuk memeriksa formulir perjalanan orang antar kota. Setiap orang harus di rumah. Beberapa daerah masih membolehkan cafe dan supermarket buka. Kafe harus membuat meja2 tamu berjarak 2 meter. Orang antri di supermarket, belanja, harus antri di garis antrian yang berjarak lebih dari 1 meter.

Selain membatasi banyak hal, seperti tutup sekolah (menjadi sistem belajar online), gereja, dll, bahkan pemakaman mayat pun dilarang berkumpul di Italia saat ini.

*Bagaimana di Amerika?*

Kemarin malam, 13/3, waktu Amerika presiden Donald Trump mendeklarasikan negaranya dalam darurat (State of Emergency). Keadaan darurat artinya negara menyatakan bertanggung jawab atas bencana virus ini. Dalam keadaan darurat, tentara dan polisi akan dimobilisasi mengatasi keadaan. NBC TV mengadakan wawancara dengan Thomas Frieden, mantan direktur CDC (Institusi Kontrol dan Cegah Penyakit) Amerika, pertanyaannya adalah: apakah tentara dan polisi di Amerika boleh mengambil paksa orang2 dari rumah mereka untuk dibawa ke Karantina, seperti di Wuhan dan Italia? Tom menjawab tidak mengharapkan itu terjadi, tapi menurutnya itu mungkin terjadi.

Selain menutup sekolah, tempat keramaian, termasuk Word Disney, Amerika menolak kedatangan pelancong dari 26 negara eropa.


 
*Kembali ke Indonesia*, kita melihat bahwa kemarin Jokowi sudah membuat satuan tugas khusus yang diketuai tentara, Doni Monardo, jenderal aktif yang mengetuai lembaga penanggulangan bencana (BNPB). Doni dibantu oleh dua jenderal, satu polisi dan satu lagi tentara. Ada 5 tugas Gugus Tugas tersebut, yang intinya mempercepat penanganan Covid-19 tersebut. Namun tidak jelas apakah pernyataan juru bicara pemerintah, Achmad Yurianto, tentang perkembangan kasus Covid-19 per hari ini, 5 tewas dan kasus bertambah 27, sehingga jadi 96 kasus, mewakili Gugus Tugas Doni Monardo itu?

Selain itu, apakah pemerintah akan segera mengumumkan negara dalam keadaan darurat (state emergency)?

Apakah Doni Monardo punya kewenangan mengkoordinasikan semua kepala daerah dengan kekuasaannya yang baru? Apakah Doni boleh menggerakkan tentara dan polisi untuk kewenangan itu?

Pembentukan Gugus Tugas oleh Jokowi belum jelas arahnya jika epidemik Coronavirus ini tidak dianggap sebagai darurat nasional. Apalagi sebelumnya Jokowi mengatakan bahwa 1) menggunakan Badan Intelijen untuk mengatasi petaka ini. 2) Memang merahasiakan beberapa hal. 3) Tidak memikirkan adanya kemungkinan "lockdown".

Pertanyaan kita ke depan adalah, bagaimana mengukur dampak (ekonomi) "lockdown" jika terjadi? Bagaimana model lockdown nya, apakah model Wuhan? atau model Italy? atau model State Emergency Amerika?


 
Di Wuhan, kemampuan pabrik mencetak masker dari 35.000 per hari menjadi 350.000 untuk di supply di sana, masuk dalam perencanaan. Di Amerika, mereka telah menghitung jumlah tempat tidur pasien ICU dari saat ini 46.000 menjadi 200.000 ICU Beds; 160.000 respirator saat ini, akan menjadi 742.000 kebutuhannya.

*Penutup*

Tomas Pueyo, ahli matematika dari Silicon Valley, dalam medium. com, telah menceritakan perhitungan eksponensial jumlah penderita terinfeksi. Menurutnya, kematian seorang penderita covid-19, maka jumlah penderita harus diartikan jumlah tercatat di pangkat 8.

Disamping dia, Britta Jewell, dalam "The Exponential Power of  Now", The New York Times, 13/3/20, seorang ahli dari MRC Centre for Global Disease Analysis, Imperial College bersama ayahnya yang sedang sakit, Nick Jewell, ahli "infection disease epidemiology statistician, London School of Hygiene and Tropical Medicine, mengamati sifat eksponensial kasus di Amerika. Katanya, pada  14 Januari nol kasus, 21 Januari 1 kasus, 28 Januari 5 kasus, 4 Februari 11 kasus, 11 Februari 14, 18 Februari 25 kasus, 25 Februari 59 kasus, 3 Maret 125 kasus dan 10 Maret menjadi 1004 kasus.

Kedua ayah dan anak itu mengatakan mencegah lebih cepat artinya mengurangi jumlah korban ke depan sebanyak 4 kali lipat. Bertindak sekarang, kata mereka. 

Para ahli epidemiologi Indonesia belum memprediksi kasus di Indonesia ke depan. Ahli intelijen, di media, ada yang mengklaim dirinya memprediksi situasi ke depan. Apakah dia sama dengan ahli epidemiologi statistician?

Di sinilah kampus2 harus menyumbangkan pemikiran. Jika kampus UI, misalnya me lockdown kampusnya sampai akhir semester genap, saat ini, maka apakah UI hanya mau menyelamatkan dirinya sendiri?

Kemampuan kita harus sungguh2 dikerahkan dari semua kampus dan lembaga ahli statistik dan epidemiologi untuk menghitung situasi ke depan. Jika memang perlu state emergency atau bahkan me lockdown negara ini, harus jelas dasarnya. Jika sudah jelas, maka kita bisa melihat Gugus Tugas Doni Monardo mengambil jalan militer untuk mempertahankan negara kita.

Kecuali kita akhirnya berkiblat pada langkah Anies Baswedan dan Walikota Solo, sebuah inisiatif mulia, meskipun dengan ukuran bersifat lokal.(*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita