Sederet Skandal Garuda di Bawah Kepemimpinan Ari Askhara

Sederet Skandal Garuda di Bawah Kepemimpinan Ari Askhara

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir memutuskan untuk mencopot Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk yang tak lain ialah I Gusti Ngurah Askhara atau yang akrab disapa Ari Askhara. Pencopotan bos Garuda ini berkaitan dengan penyelundupan komponen Harley Davidson dan sepeda Brompton.

Barang mewah tersebut diangkut melalui Airbus A330-900 yang merupakan armada baru Garuda. Pesawat itu diterbangkan dari Prancis di mana Ari juga jadi penumpang pesawat tersebut.

Ari sendiri memimpin maskapai pelat merah ini pada 12 September 2018 menggantikan Direktur Utama sebelumnya Pahala N Mansury. Baru setahun lebih sedikit, Garuda di bawah kepemimpinan Ari dihadapkan pada sejumlah skandal.

Berikut berita selengkapnya :

Poles Laporan Keuangan

Garuda Indonesia mulanya mencatatkan kinerja keuangan yang membanggakan di tahun 2018, lantaran laporan keuangannya mencetak laba. Namun, laporan keuangan ini berubah jadi 'buntung' karena terbukti direkayasa alias dipoles.

Polemik laporan keuangan ini bermula pada 24 April 2019 atau saat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), di mana salah satunya ialah mengesahkan laporan keuangan 2018.

Saat itu, dua komisaris menyatakan disenting opinion dan tak mau menandatangani laporan keuangan tersebut.

Diketahui, dalam laporan keuangan 2018 Garuda mencatat laba bersih US$ 809,85 ribu atau setara Rp 11,33 miliar (kurs Rp 14.000). Laba tersebut ditopang salah satunya oleh kerja sama antara Garuda dan PT Mahata Aero Terknologi. Kerja sama itu nilainya mencapai US$ 239,94 juta atau sekitar Rp 2,98 triliun.

Dana itu masih bersifat piutang tapi sudah diakui sebagai pendapatan. Alhasil, perusahaan sebelumnya merugi kemudian mencetak laba.

Kejanggalan ini terendus oleh dua komisaris Garuda Indonesia yakni Chairal Tanjung dan Dony Oskaria. Merekalah dua komisaris yang enggan menerima laporan keuangan 2018.

Kisruh itu berlanjut hingga Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK) Kementerian Keuangan i(Kemenkeu) turun tangan untuk mengaudit permasalahan tersebut. PT Bursa Efek Indonesia (BEI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga BPK juga ikut melakukan audit.

PPPK dan OJK pun akhirnya memutuskan bahwa ada yang salah dalam sajian laporan keuangan Garuda 2018. Perusahaan diminta untuk menyajikan ulang laporan keuangannya dan perusahaan kena denda Rp 100 juta.

Direksi yang tanda tangan laporan keuangan dikenakan masing-masing Rp 100 juta. Ketiga, secara kolektif direksi dan komisaris minus yang tidak tanda tangan, dikenakan kolektif Rp 100 juta.

BEI selaku juga memberikan sanksi atas hasil audit terhadap laporan keuangan Garuda. Sanksi atas audit yang diberikan terhadap laporan keuangan kuartal I-2019.

BEI juga mengenakan sanksi berupa Peringatan Tertulis III dan denda sebesar Rp 250 juta kepada Garuda. Sanksi itu sesuai dengan Peraturan BEI Nomor I-H tentang Sanksi.

Setelah merilis kembali laporannya keuangannya, Garuda ternyata net loss atau rugi bersih sebesar US$ 175,028 juta atau sekitar Rp 2,4 triliun (kurs Rp 14.000) di tahun 2018.

Kawin Cerai Garuda dengan Sriwijaya

Hubungan dua maskapai Garuda Indonesia dan Sriwijaya Air seperti halnya ABG, penuh drama putus-nyambung. Hubungan dua maskapai mulanya mesra, hal itu ditandai dengan kerja sama operasi (KSO) pada 9 November 2018. Pada KSO itu, Garuda melalui anak usahanya Citilink mengambil alih operasional Sriwijaya dan NAM Air.

Komisaris Utama Garuda Indonesia Agus Santoso saat itu menjelaskan, salah satu alasan Garuda Indonesia mengambil alih operasional Sriwijaya karena Sriwijaya punya masalah keuangan.

Namun hubungan keduanya mulai retak ketika hampir setahun berjalan. Sriwijaya Air melakukan 'bersih-bersih' orang Garuda dalam jajaran direksinya. Pada 9 September 2019, Dewan Komisaris Sriwijaya memutuskan untuk memberhentikan 3 direksi termasuk Direktur Utama perusahaan. Ketiga orang tersebut adalah direksi yang diambil dari pejabat di Garuda Indonesia.

Kemudian hubungan kedua maskapai ini semakin memanas ketika GMF AeroAsia yang merupakan anak usaha Garuda Indonesia memutuskan hubungan kerja samanya dengan Sriwijaya Air. GMF AeroAsia sudah memutuskan pelayanannya terhadap Sriwijaya Air sejak 25 September 2019, lantaran maskapai Sriwijaya telah menunggak pembayaran hingga Rp 800 miliar.

Tidak hanya itu, pada tanggal yang sama, Citilink melayangkan gugatan kepada maskapai Sriwijaya Air di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Citilink menggugat Sriwijaya atas dugaan wanprestasi dalam perjanjian bisnis antara kedua maskapai ini.

Namun setelah itu hubungan sempat kembali membaik setelah komitmen kerja sama masih disepakati berlanjut.

Seolah baru kemarin rujuk, hubungan dua maskapai kembali memanas. Direktur Pemeliharaan & Layanan Garuda Indonesia, Iwan Joeniarto mengeluarkan pesan terkait hubungan kerja sama manajemen antara Sriwijaya Air dengan Garuda Indonesia melalui anak usahanya PT Citilink Indonesia.

Dalam pesan tersebut, dijelaskan bahwa karena keadaan dan beberapa hal yang belum diselesaikan oleh kedua pihak maka Sriwijaya Air melanjutkan bisnis sendiri. Hubungan antara Garuda Indonesia Group dan Sriwijaya Group akan dilanjutkan pada basis bisnis ke bisnis.

"Dengan demikian, Sriwijaya tidak akan lagi menjadi anggota Garuda Indonesia Group," bunyi pesan itu seperti dikutip detikcom, Kamis (7/11/2019).

Kabar ini bikin heboh. Jadwal penerbangan Sriwijaya Air juga jadi berantakan. Banyak penerbangannya delay bahkan berpotensi dibatalkan lantaran pesawatnya tidak lagi dilayani oleh Gapura Angkasa.

Kehebohan yang terjadi membuat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan turun tangan. Dia menggelar rapat dadakan dengan memanggil seluruh pihak terkait.

Bukan hanya pihak yang berseteru, rapat itu juga dihadiri oleh Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Seusai rapat, Budi mengatakan, pelayanan Sriwijaya kembali normal esoknya.

Namun, tak lama kemudian dua maskapai memutuskan benar-benar cerai. Terkait itu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, akan terus memantau operasi dari Sriwijaya khususnya yang mencakup aspek keamanan. Terlebih, dalam kerja sama sebelumnya Sriwijaya menggunakan fasilitas perawatan dari Garuda Grup.

Garuda Angkut Harley dan Brompton Ilegal

Terbaru, Garuda ramai dibicarakan karena masuknya komponen Harley Davidson bekas dan dua sepeda baru Brompton ilegal. Barang mewah itu masuk melalui pesawat Airbus A330-900 milik Garuda yang baru saja tiba di Tanah Air.

Barang-barang yang diduga masuk secara ilegal tersebut masih dalam penelitian oleh Ditjen Bea dan Cukai.

Kasubdit Humas Bea Cukai Deni Surjantoro mengatakan bahwa kejadian ini terjadi ketika pesawat Airbus A330-900 yang dipesan oleh Garuda tiba di Indonesia pada 17 November 2019. Pesawat baru tersebut didatangkan dari Prancis.

"Pada saat datang pesawat mengangkut 10 orang crew dan 22 orang penumpang. 10 org crew sesuai dan 22 ada di passenger manifest," ujar Deni kepada CNBC Indonesia, Senin (2/12/2019).

Bersamaan dengan penerbangan tersebut terdapat 18 kotak yang dibawa di dalam kabin. Dalam pemeriksaan terungkap bahwa 15 kotak berisi berisi spare part motor Harley dengan kondisi bekas. Sementara itu tiga kotak lainnya terdapat 2 sepeda Brompton baru.

Menurutnya seluruh barang tersebut adalah milik penumpang yang ikut dalam penerbangan tersebut. Meski demikian, Bea dan Cukai mengaku bahwa penelitian mengenai status barang tersebut belum selesai dilakukan.

"Kita lihat dulu. Apakah ada pelanggaran atau enggak. Kalau selama ini penumpang biasa tidak boleh barang bekas. Itu kan jadi barang dikuasai negara. Misalnya barang baru, ada larangan atau pembatasan nggak? Kalau tidak ada keduanya maka dia harus dikenai kewajiban fiskal, yakni bea masuk, PPN dan PPh" ujarnya.

Beberapa hari kemudian atau tepatnya kemarin (5/12/2019), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri BUMN Erick Thohir menggelar konferensi pers terkait Harley dan sepeda Brompton.

Dalam paparannya, Erick menjelaskan berdasarkan laporan dari komite audit, Harley tersebut merupakan milik AA.

Erick memaparkan, AA memberikan instruksi untuk mencari motor klasik Harley Davidson ini sejak 2018. Motor Harley berjenis shovelhead ini kemudian dibeli pada April 2019.

Motor tersebut kemudian dikirim ke Indonesia bersamaan dengan datangnya pesawat baru Garuda Indonesia pada 17 November 2019. Erick mengaku sedih dengan hal ini. Erick pun mengambil keputusan yakni mencopot Direktur Utama Garuda Indonesia.

"Saya sebagai Kementerian BUMN akan memberhentikan Direktur Utama Garuda dan tentu proses dari pada ini karena perusahaan publik ada prosedurnya," ujar Erick.[dtk]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita