Jenderal Besar AH Nasution dan Pengembalian UUD 45

Jenderal Besar AH Nasution dan Pengembalian UUD 45

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

OLEH: M. HATTA TALIWANG


KETIKA isu Pemilu tahun 1955 mulai bergema, sekelompok pejuang merasa khawatir akan hari depan Indonesia, khawatir apa yang mereka sebut sebagai akan terjadi perubahan "Negara Proklamasi" bila terjadi salah satu aliran partai memenangkan Pemilu dengan telak tentunya.

Sehingga lebih kurang setahun menjelang Pemilu 1955, atau sekitar tahun 1953/1954 lahir semacam Gerakan Kembali ke UUD 45, dan mereka ini kemudian membuat partai dengan nama Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia ( IPKI) yang visi misinya Kembali ke UUD 45. Partai ini ikut Pemilu. Nasution yang baru saja diberhentikan dari KASAD karena Peristiwa 17 Oktober 1952, merupakan salah satu Tokoh IPKI.

Dalam Pemilu 1955, Kol Gatot Subroto terpilih sebagai anggota DPR sementara Kol Nasution terpilih menjadi anggota konstituante. Belakangan Nasution dan Gatot aktif kembali sebagai TNI setelah Kol Nasution tahun 1955 diangkat kembali menjadi KSAD yang kedua kalinya.

Sementara itu terjadi pergolakan dan pemberontakan di daerah dengan berbagai motif. Menurut Nasution sekitar 1957 lebih kurang 1/6 wilayah RI tidak dalam kendali Pemerintahan Pusat. TNI menghadapi lebih kurang 100.000 kekuatan bersenjata dengan intervensi tertutup negara negara  besar Barat. Sehingga banyak orang menyangsikan survival RI. Dalam kemelut besar itu lahirlah prakarsa KSAD Nasution berupa politik keamanan: " Kembali ke pangkuan Republik dan kembali ke UUD 45".

Dalam isu Kembali ke UUD 45, Gabungan Kepala Staf ( GKS) tidak kompak. Di internal TNI AD ada 2 teritorium (Kodam) yang keberatan yaitu Kodam Siliwangi dan Kodam Brawijaya dengan alasan: "itu mencampuri urusan politik dan dapat terjadi perpecahan".

Nasution lalu melakukan pendekatan khusus kepada dua Panglima Kodam, lalu terjadi kebulatan pendapat dari TNI AD untuk sepakat Kembali ke UUD45. KSAU, KSAL dan Kapolri tidak menentukan sikap. Partai partai dan Ormas saat itu cenderung pertahankan UUDS.

Presiden saat itu masih ragu dan berusaha berada diantara sikap sikap tersebut. Karena Presiden Soekarno dan Kabinet masih ragu, maka pada Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1958 ada 2 Menteri dari TNI yaitu Kol Nazir dan Kol Suprayogi diminta oleh Nasution utk menanyakan kembali ke Presiden tentang Kembali ke UUD45. Kedua perwira itu kemudian melapor ke Nasution bahwa Presiden sdh setuju. Suara TNI saat itu sangat didengar dan berwibawa karena prestasinya mengatasi berbagai pergolakan politik dan pemberontakan.

Sehingga dengan gagah Nasution mengintrodusir di acara Dies Natalis AMN 11 November 1958 apa yang belakangan dikenal Politik Jalan Tengah TNI dalam kehidupan bernegara.Kemudian di era Orba dipertegas oleh Soeharto sebagai Dwifungsi Abri .

Soekarno dan Nasution Serah dengan Demokrasi Liberal

Setelah peristiwa 17 Oktober 1952, Nasution diberhentikan sebagai KASAD. Namun tahun 1955 kembali Nasution dipanggil untuk kedua kalinya menjadi KSAD. Rupanya pergolakan-pergolakan dalam negeri pasca kemerdekaan sampai pertengahan tahun 1950an masih berlangsung. Mulai dari kekacauan yang dibuat Westerling (tentara Belanda ex KNIL), menyusul ex KNIL yg di APRIS kan yang dilakukan Andi Azis dkk, lalu oleh KNIL yang membentuk RMS dan belakangan pemberontakan yang dilakukan oleh unsur-unsur bekas Pejuang Kemerdekaan sendiri yang tidak puas terhadap PUSAT(di Jabar, Jateng,Kalsel, Sulsel dan Aceh) membuat Soekarno pusing dan butuh partner perjuangan yang sepaham.

Buntut dari berlakunya UUDS 50 yg menerapkan sistem parlementer berimplikasi juga terhadap kestabilan politik. Kabinet silih berganti, bahkan Peristiwa 17 Oktober 1952 sendiri adalah salah satu “buah” dari demokrasi liberal yg membuat tentara gerah juga. Atas berbagai situasi itu Soekarno berpidato mengecam demokrasi liberal dg kalimatnya yg terkenal :

“”Berilah bangsa kita satu demokrasi yang tidak jegal – jegalan. Sebab demokrasi yang membiarkan seribu macam tujuan bagi golongan atau perorangan akan menenggelamkan kepentingan nasional dalam arus malapetaka” ujar Presiden Soekarno dalam pidatonya tahun 1957. Kritiknya makin pedas terhadap demokrasi liberal, yang dinilainya sebagai demokrasi dengan politik rongrong merongrong, rebut merebut, jegal menjegal dan fitnah memfitnah.

Sekitar tahun 1953 setelah berhenti dari KSAD (pasca 17 Okt 1952) Nasution menulis : “Bahwa tangan yang harus memegang aparatur itu,yakni kekuasaan politik, adalah seharusnya teguh. Akan tetapi umum mengetahui bahwa pemerintah kita adalah labil, karena belum pernah diadakan Pemilihan Umum dan adanya berpuluh-puluh partai politik.

Tiap pemerintah harus berkoalisi dan disusun dari selusin partai, sehingga kelahirannya berdasarkan kompromis-kompromis. Maka itu tak mungkin ada gezag (wibawa) tak mungkin ada kekuasaan yang tegas dan teguh, karena tiada satu partaipun yang dpt memerintah. Untuk memperbaiki aparatur negara perlu adanya kekuasaan politik yang tegas. Yang menjadi syarat mutlak usaha usaha stabilisasi keamanan negara.

Rakyat mengharapkan pimpinan dari Dwitunggal Soekarno Hatta yang disegani, dijunjung dan dihormati oleh seantero, akan tetapi Dwitunggal itu tak berdaya karena menurut UUDS 50 mereka cuma perlambang dan bukan penanggung jawab pemerintahan. Kekuasaan memerintah oleh UUDS50 diserahkan ke partai partai yg berbentuk sistem parlementer.” (Buku: Memenuhi Panggilan Tugas jilid 3 hal 245)

Dalam halaman 252 Nasution menulis: ”Sistem pemilu dan konstitusi kita th 50an merintangi slagordening (pengingakatan persatuan semua kekuatan). Sistem ini selalu meluangkan kesempatan bagi masing masing kelompok bahkan masing masing tokoh untuk kepentingan sempit. Tidak mungkin tertegak suatu grandstrategi, suatu strategi besar dengan kepemimpinan yang bernilai kenegarawanan.”

Mungkin Soekarno membaca visi Nasution ini dan itulah mungkin salah satu alasan Soekarno “memakai kembali” Nasution dengan mengangkatnya kembali sebagai KSAD thn 1955, untuk melancarkan konsep demokrasi terpimpin setelah keduanya sepakat untuk kembali ke UUD45.

Kembali ke UUD45

Sebagai tindak lanjut persetujuan Presiden maka Perdana Menteri Djuanda selaku pemerintah mengusulkan ke DPR. Sementara Presiden Soekarno pada 22 April 1959 mengusulkan ke Dewan Konstituante dalam Pidato resmi yang berisi inti pokok Kembali ke UUD45. DPR yang dipimpin Mr Sartono saat itu setuju kembali ke UUD45.

Konstituante membahas anjuran Presiden itu dalam Sidang,  namun tidak mendapat persetujuan 2/3 anggota. Hanya 55 persen yang setuju, sementara Fraksi Islam menghendaki kembali ke Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Terjadi kemacetan atau deadlock. Suasana politik jadi sensitif dan menuju eksplosif.

KSAD sebagai PEPERPU (Penguasa Perang Pusat) melarang sementara kegiatan politik dan menunda Sidang Sidang Konstituante, dll dengan Persetujuan PM/ Menteri  Pertahanan. Dikeluarkan PEPERPU/040/1959 tanggal 3 Juni 1959. PM Djuanda tidak melibatkan Kabinet membahas PEPERPU tsb karena dikawatirkan kontroversi atau penolakan.
Presiden Soekarno yang sedang berada di LN menyetujui keputusan dan langkah tersebut dan mensupport Pimpinan AD atas langkah langkah untuk Kembali ke UUD45.

Pimpinan AD mengadakan pembicaraan dengan pimpinan 4 Partai Besar. Pendekatan ke Masyumi dan PNI dilakukan oleh KSAD sementara Partai NU dan PKI  oleh Wakasad. Pimpinan Masyumi, Prawoto hanya mau via proses konstitusional sesuai UUDS. Sementara Pengurus PNI lengkap dipimpin Suwiryo menyatakan persetujuan Kembali ke UUD45, sejalan dengan TNI AD.

Menyambut kepulangan Soekarno dari Luar Negeri, Front Nasional Pembebasan Irian Barat( FNPIB), Gabungan Badan Badan Kerjasama yang diketuai KSAD Nasution mengadakan acara sambutan besar besaran. Ketika itu Presiden berpidato yang antara lain kalimatnya berbunyi: "akan bertindak mengikuti kehendak mayoritas rakyat"

Suatu pernyataan yang jelas bahwa Presiden akan mengembalikan UUD45. Hari Minggu tanggal 5 Juli 1959 Kabinet inti bersidang di Bogor dengan dihadiri Ketua Mahkamah Agung serta KSAD. Terjadi kesepakatan Presiden, Kabinet Inti, Ketua Mahkamah Agung  dan KSAD untuk mengeluarkan Dekrit Presiden. Nasution ikut sebagai Tim Perumus Dekrit Presiden yang sudah sering kita baca isinya.

Demikianlah pada sore hari, 5 Juli 1959 di depan massa Front Nasional Pembebasan Irian Barat dan massa rakyat lainnya berkumpul di depan Istana. Beberapa Partai tidak hadir pada acara Dekrit ini termasuk PKI.

Catatan ini  bersumber dari buku Dr AH Nasution: Memenuhi Panggilan Tugas, Jilid 4. Ditulis dalam rangka Hari Pahlawan dan Mengenang 101 Tahun Kelahiran AH Nasution.
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita