Diduga Ada Bisnis Dibalik Isu Terorisme dan Radikalisme, Fadli Zon: Pemerintah Sebaiknya Berhenti

Diduga Ada Bisnis Dibalik Isu Terorisme dan Radikalisme, Fadli Zon: Pemerintah Sebaiknya Berhenti

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Terus bergulir hingga menjadi isu nasional, Fadli Zon minta Pemerintahan Joko Widodo-Maruf Amin agar menghentikan isu terorisme dan radikalisme.

Pernyatan tersebut diungkapkan Fadli Zon lewat akun twitternya @fadlizon; pada Senin (18/11/2019).

Dirinya menilai isu terorisme dan radikalisme yang ersu dieksploitasi pemerintah sangat merugikan bagi ekonomi bangsa.

"Saya mencatat, sejak pemerintahan baru dilantik, ada dua isu yang terus-menerus diangkat oleh Presiden dan kabinetnya, yaitu radikalisme dan investasi," ungkap Fadli Zon.

"Sejak awal saya ikut mengingatkan Pemerintah sebaiknya berhenti mengeksploitasi isu radikalisme, juga terorisme, krn bersifat kontraproduktif bagi kepentingan jangka pendek dan jangka panjang kita," jelasnya.

Hal tersebut dibuktikannya dari memburuknya ekonomi Indonesia yang masih memburuk.

Sehingga apabila pemerintah masih terus mengeksploitasi isu terorisme dan radikalisme, upaya pemerintah dalam memperbaiki iklim investasi menurutnya akan percuma.

"Bagaimana kita akan bisa menggenjot investasi, atau membangun kepercayaan dunia luar, jika pejabat pemerintah kita tiap hari berisik mengeksploitasi isu radikalisme dan terorisme?," jelasnya.

Perlu disadari, lanjutnya, ekonomi global kini sedang mengalami perlambatan.

"Di sebagian tempat tengah resesi. Dampaknya, cepat atau lambat, akan segera berimbas pada kita," imbuhnya.

Dalam jangka pendek, perlambatan ekonomi dunia akan menyebabkan turunnya angka ekspor serta investasi.

Sementara, dalam jangka menengah dan panjang, disrupsi teknologi akan membuat struktur ekonomi berubah cepat, terutama dalam soal ketenagakerjaan.

Hal tersebut dibuktikannya merujuk data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Dalam data tersebut, realisasi investasi di dalam negeri terpantau terus melambat.

Sementara, investasi di Indonesia pada tahun 2018 hanya tumbuh 4,1 persen jika dibandingkan dengan tahun 2017.

Bahkan, pertumbuhan PMA (Penanaman Modal Asing) tumbuh negatif sebesar minus 8,8 persen pada tahun 2018.

Foreign Direct Investment (FDI) yang masuk ke Indonesia hanya setara 1,1 persen total investasi global.

"Jika dilihat komposisinya, sebesar 47,3 persen FDI di Indonesia berasal dari Singapura, 22,2 persen dari Jepang, serta 9,7 persen dari Cina," jelasnya.

Kondisi ekonomi yang terus mengalami pelemahan tidak kunjung berubah hingga tahun 2019.

Realisasi PMA per semester I 2019 tercatat hanya sebesar Rp 212,8 triliun, atau hanya sekitar 44 persen dari target pemerintah sebesar Rp 483,7 triliun.

"Kurang dari separuh target tentu bukan pencapaian yg bagus," jelasnya.

Turunnya realisasi PMA diakuinya sangat ironis.

Sebab, pemerintah sebenarnya telah meluncurkan Online Single Submission (OSS) yg digadang-gadang bakal mempermudah investasi pada tahun 2018.

"Tapi, realisasi PMA malah justru anjlok. Kenapa bisa begitu?," tanyanya.

Pernyataan Pejabat Publik

Alasan anjloknya ekonomi diungkapkannya merujuk pada pernyataan pejabat publik.

Hal itu terangkum dalam sejumlah hasil riset sejumlah lembaga konsultan.

Dalam hasil riset itu pernyataan pejabat publik menjadi tolok ukur persepsi investor.

"Mereka menilai apa yg terjadi Indonesia dari pernyataan-pernyataan pejabat pemerintahnya. Bisa kita bayangkan, apa jadinya jika semua pejabat di Indonesia, mulai dari Presiden hingga para menteri, semuanya bicara mengenai radikalisme tiap hari?," ungkap Fadli Zon.

Para pejabat pemerintah menurutnya harus menyadari bahwa pernyataan-pernyataan publik mereka bisa mempengaruhi dinamika ekonomi.

Pengaruhnya pun dijelaskannya tidak hanya pada pertimbangan investor dalam dan luar negeri, tetapi juga iklim ekonomi bangsa secara kseluruhan.

"Inilah yg menyebabkan kenapa tingkat ketertarikan investasi asing di Indonesia cenderung menurun. Mereka butuh kepastian dan jaminan keamanan," jelas Fadli Zon.

"Jaminan stabilitas itu awalnya dilihat dari pernyataan para pejabat," tambahnya.

Paparan yang disampaikannya menjadi dasar mengapa para pejabat pemerintah sebaiknya berhenti memproduksi kegaduhan dengan isu terorisme dan radikalisme.

"Turunnya minat investasi ini memang harus kita perhatikan benar, karena bisa memicu terjadinya destabilisasi," tegasnya.


Bisnis di Balik Terorisme

Fadli Zon pun mengutarakan banyak pertanyaan, mulai dari alasan mengapa aksi teror masih terjadi hingga alasan pemerintah dan aparat yang terus mengeksploitasi masalah radikalisme dan terorisme.

"Kenapa aksi teror masih saja terus terjadi? Di sisi lain, knp pemerintah dan aparat terlihat seperti sengaja mengeksploitasi isu ini, seolah realitas masyarakat kita adlh masyarakat radikal dan teror? Bisakah kita menghilangkan 'radikalisme' dan 'terorisme' rutin di Indonesia?," jelas Fadli Zon.

"Saya khawatir, cara pemerintah serta aparat dalam mengatasi isu teror dan radikalisme yang masih menggunakan gaya 'war on terror' ala Amerika saat menyikapi Tragedi WTC (World Trade Center)," tambahnya.

Apabila demikian, lanjutnya, harapan untuk dapat meredam radikalisme diyakininya malah kian mengundang antipati dan skeptisisme masyarakat.

Sebab, gaya 'war on terror' atau semacamnya yang diterapkan oleh Amerika Serikat selaku negara adidaya sudah lama dikritik dan dikoreksi.

"Bahkan, kemudian terungkap bhw kelompok-kelompok teror yg diburu oleh Amerika sesungguhnya adlh kelompok yg mereka ciptakan sendiri," jelas Fadli Zon.

"Bahkan pihak Rusia berani menuduh bhwa ISIS adlh ciptaan Amerika sendiri, sehingga 'terorisme' bisa sj jadi bisnis kelompok atau oknum tertentu," ungkapnya. (*)

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita