Dari Deislamisasi Menuju Deradikalisasi di Indonesia

Dari Deislamisasi Menuju Deradikalisasi di Indonesia

Gelora News
facebook twitter whatsapp

Oleh Ibnu Dawam Azis

Deislamisasi masa Orde Baru di Indonesia yang digulirkan Pater Beek bersama CIA dan Vatikan melalui CSIS belum tuntas. Kini radikalisme diangkat ke permukaan sebagai ancaman dan Deradikalisasi yang tidak bisa dipisahkan dari semangant Deislamisasi. Karena Deradikalisasi yang diangkat kepermukaan adalah deradikalisasi Islam. Dengan menempatkan cadar, jenggot dan celana cingkrang sebagai ciri Radikalisme. 

Ideologi yang tidak bisa dipisahkan dengan penempatan tata nilai secara Radikal membenturkan Ideologi dengan Pragmatisme rasional yang tidak mengenal norma keluhuran budi. Pragmatisme yang secara nyata memperhitungkan imbal balik hasil yang diperoleh atas apa yang sudah dikeluarkan sebagai biaya atau ongkos. Lahirnya faham yang mengedepankan rasio untuk mencapai hasil yang sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya inilah alasan mengapa Ideologi harus diperangi.

Islam dianggap sebagai ancaman sebetulnya telah dimulai sejak runtuhnya Konstantinopel pada abad ke 15 oleh Ottoman Turki. Jatuhnya  Kekaisaran Bizantium, melahirkan kembali budaya Romawi – Yunani yang kemudian dikenal dengan abad Renaissance menuju pembaruan peradaban. 

Dari sinilah awal mula dijadikannya Islam sebagai ancaman Peradaban Barat. Kaum Orientalis yang mulai bersentuhan nyata dengan Islam sejak abad ke 15 ini, mencapai puncaknya pada abad ke 19. Nama-nama seperti  Ignaz Goldziher (1850-1921), Christian Snouck Hurgronje ( 1857 – 1936 ) dan Carl Heinrich Becker ( 1876 – 1933 ) telah berhasil mengubah wajah Islam pada abad ke 20. Dimana Christian Snouck Hurgronje mengenali wajah Islam di Indonesia kedalam dua wajah. Islam Puritan dan Islam Abangan yang pada perkembangan berikutnya dapat dipisah-pisahkan kedalam beberapa typology. 

Sejarah Perang Kemerdekaan Republik Indonesia menunjukkan betapa peran Umat Islam dalam semangat Jihad, mempunyai andil terbesar dalam membebaskan Negeri ini dari belenggu penjajahan.  Sekaligus juga menjadikan Islam sebagai ancaman akan menguasai sendi-sendi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Walaupun untuk sementara perang mempertahankan Kemerdekaan  mempertemukan kepentingan berbagai kelompok Ideologi dalam satu semangat Kebangsaan. 

Akan tetapi selepas perang kemerdekan setelah ditandatangani Penyerahan Kedaulatan RIS dalam KMB di Den Haag kepentingan masing-masing ideology mulai menonjol, sejak saat itulah sebenarnya Islamophobia menjadi benalu dalam kehidupan bernegara di Indonesia walaupun Islamophobia memang sudah lahir bersama kelahiran Negri ini yang mewarnai polemic 18 Agustus 1945 dengan Penolakan Kalangan minoritas atas Piagam Jakarta.

Cita-cita Negara berkedaulatan rakyat dalam pola : “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawarat/perwakilan"  yang merupakan landasan fundamental terbentuknya kekuasaan dalam pemerintahan. Inilah yang dijabarkan kedalam batang tubuh UUD 45 dengan kalimat "Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat". Yang kemudian dijelaskan pula bahwa : Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-undang. Merupakan sebuah cita-cita yang sangat luhur untuk merajut kehidupan berbangsa dan bernegara, tapi yang kemudian berubah menjadi momok yang menakutkan bagi kalangan islamophobia.

Bayang-bayang potret penduduk Indonesia berdasarkan agama merupakan faktor pemicu terbentuknya sikap Islamophobia dan saat itulah kalangan Islamophobia menyatu dengan Orientalisme Barat menyerap argumentasi dan membuat kriteria baru untuk mengendalikan Umat Islam yang Mayoritas. 

Mencegah mayoritas menjadi kekuatan penyangga Politik Ideology. 
Bila Snouck Hurgronje memisahkan Islam dalam dua kelompok Islam Puritan dan Islam Abangan, pada tahap berikutnya Umat Islam dipecah-pecah dan terkotak-kotak dalam segmen sasaran, dimulai dari Islam Puritan, Islam Radikal (Fundamentalis), Islam Moderat ( Nasionalis/rasional) Islam Pragmatis (sosialis/toleran) dan Islam Tradisi. 

Ambisi kekuasaan kalangan yang menempatkan kelompoknya sebagai kalangan Islam Moderat yang dimotori oleh kalangan terpelajar membangun ideology Nasionalis yang belum berani meninggalkan Islam akan tetapi takut terhadap stigma sebagai Puritan atau Radikal Fundamentalis. Kelompok ini menjadi sangat dominan dikalangan elit tapi tetap tidak mampu menjadi Mayoritas dikalangan menengah kebawah yang masih didominasi oleh kalangan Islam Puritan dan Radikal Fundamentalis yang menjadi kekuatan utama Perang Kemerdekaan. 

Masuknya kalangan Ateis/Komunis  dalam percaturan Politik menjadi kekuatan Politik yang mendapat dukungan Komunis Internasional menjadikan kekuatan Politik pasca perang kemerdekaan yang tumbuh bersama Konstitusi RIS terpolarisasi kedalam beberapa Kekuatan Politik dimana Islam Puritan dan Radikal Fundamentalis menduduki tempat teratas pada dukungan menengah kebawah, disusul kekuatan Moderat Nasionalis, baru kemudian Komunis dan sisanya Non Islam , kalangan tradisi dan kalangan Pragmatis toleran.

Kondisi inilah yang menjadikan kalangan Moderat/Nasionalis dengan Tokoh sentral Bung Karno terjangkit Islamophobia dan tidak berani melakukan Pemilihan Umum yang diamanatkan kostitusi. Baru setelah melalui berbagai kospirasi, Masyumi sebagai wadah Politik kekuatan Islam Puritan dan Radikal Fundamentalis dapat dipecah pada tahun 1952 Bung Karno berani melaksanakan Pemilihan Umum pada tahun 1955.

Dari hasil Pemilu 1955 itulah polarisasi kekuatan Politik di Indonesia terjawab. Secara teori Partai Nasional Indonesia yang mewakili Nasionalis Moderat memenangkan Pemilu dengan suara 22.32% akan tetapi Kalangan Puritan dan Radikal Fundamentalis masih menguasai 43,72% suara yang diwakili Masyumi memimpin pada 20,92% dan Nahdlatul Ulama dengan 18.41%. Keberhasilan memisahkan kekuatan Nahdlatul Ulama dengan Masyumi secara Organisasi Politik ternyata tidak berhasil memisahkan Islam Puritan dengan Islam Radikal Fundamentalis dalam Konstituante.

Mencegah lahirnya kekuatan Islam menjadi kekuatan Politik Dominan inilah mengapa deislamisasi dan de Radikalisasi menjadi Prioritas utama diIndonesia yang merupakan Negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di Dunia, dimana Islam dianggap  menjadi ancaman terbesar  Peradaban Global yang dengan segala daya mengacu pada falsafah Pragmatis Materialistic yang melahirkan Birokrat dan Politisi OPORTUNIS dalam Kekuasaan yang mengabdi pada Kekuatan Modal menjadi Centeng Konglomerat merampok Kedaulatan Rakyat.   

Pemilu 2019, memang masih menyebut Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia dan masih menyebut Pancasila sebagai dasar Falsafah Negara, akan tetapi benarkah Indonesia yang lahir dari Perjanjian Luhur Bangsa Indonesia yang diproklamasikan pada  17 Agustus 45 masih ada? 

Deislamisasi dan Deradikalisasi saat ini, adalah borgol yang membelenggu kedaulatan rakyat, yang dirampas melalui Pemilu 2019 untuk kepentingan modal melalui NWO ditangan kanan dan OBOR ditangan kiri menjajah rakyat dan merampok Sumber Daya Alam Indonesia.(*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita