Kabinet Penguat Sinyal

Kabinet Penguat Sinyal

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


OLEH: YUDHI HERTANTO
GELORA.CO - BERORIENTASI hasil. Target kerja dari tugas kabinet periode kedua adalah mencapai keberhasilan pembangunan, sesuai dengan hal-hal yang telah disampaikan dalam pidato pelantikan (21/10).

Dalam rumusan intisari pidato pembukaan untuk masa bakti kepemimpinan 2019-2024, sekurangnya ada sinyalemen dalam lima tanah penting. Termasuk di antaranya; (i) prioritas pembangunan SDM, (ii) pembangunan lanjutan infrastruktur, (iii) penyederhanaan regulasi, (iv) pemangkasan level birokrasi, dan (v) transformasi ekonomi menjadi manufaktur serta jasa.

Berdasarkan kajian pidato tersebut, terdapat tujuan besar kerja kabinet kali ini bagi kemakmuran serta kesejahteraan publik, sebagai bentuk realisasi dari perwujudan atas nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Penekanan yang diberikan termasuk soal gagasan dalam cita-cita negara maju sesuai visi Indonesia Emas 2045, yang akan berusia 100 tahun di alam kemerdekaan. Perlu komitmen, kerja keras dan mampu untuk berkompetisi secara dinamis di tingkat global.

Kerja yang diimplementasikan bagi kepentingan publik, lebih lanjut harus dimaknai untuk dapat memastikan keberlimpahan sumber daya yang dimiliki bangsa ini dijadikan sebagai keunggulan bersaing secara produktif.

Sent and Delivered

Menariknya, skema kerja yang akan dibangun pada pemerintahan terpilih kali ini, diilustrasikan dengan skema pengiriman pesan dalam komunikasi. Istilah langsung yang dipergunakan adalah making delivered bukan sekadar sending message.

Pilihan diksi tersebut, sesuai dengan konsepsi komunikasi David K Berlo, 1960 tentang skema model SMCR (source, message, channel, receiver). Pola komunikasi tersebut berusaha untuk menyampaikan pesan yang mampu ditangkap dan dirasakan oleh penerima pesan.

Dalam konteks komunikasi pemerintah, maka peran kementerian dalam berbagai sektor tidak ubahnya menjadi pengirim pesan ulang dari keputusan di tingkat pusat.

Bersumber dari gagasan kepemimpinan pemerintahan -source, disusun melalui struktur pesan lewat program kerja kementerian -message, yang kemudian didistribusikan melalui berbagai kanal interaksi publik sebagai kebijakan -channel, dan tersampaikan kepada khalayak -receiver.

Sinyalemen untuk bekerja lebih keras dan sekuat tenaga, tentu akan menjadi indikator atas output yang diharapkan. Periode pemerintahan kedua kali ini, sudah seharusnya tidak menyisakan beban untuk memastikan capaian pembangunan bagi hajat masyarakat.

Sebagaimana komunikasi SMCR oleh Berlo, bersifat satu arah dan tidak memberi ruang bagi umpan balik. Di titik itu, perlu ada kemampuan sensitif untuk merumuskan kehendak serta aspirasi publik. Dengan begitu, artikulasi pembangunan nantinya bersifat menyeluruh. Perhatikan pula voice dari noise pada benturan kepentingan.

Waspadai Susah Sinyal

Perlu diingat bila waktu kekuasaan itu bersifat terbatas. Bisa jadi terdapat jeda fase adaptasi hingga mulai dapat bekerja efektif. Padahal target pembangunan dalam penjabaran kelima pokok tersebut membutuhkan kerja dengan tingkat akselerasi tinggi. Gaspol istilah bekennya.

Konsep deregulasi dan debirokratisasi bukan hal baru. Berulang kali digagas, bersamaan dengan itu pula hasilnya masih tumpang tindih. Kebijakan antarlembaga hingga antarlevel pemerintahan kerap tumpang tindih -overlap.

Terobosan spesifik tentang eselonisasi menjadi menarik, terkait bentuk perombakan fundamental dari tata kelola sumber daya dalam organisasi pemerintahan. Problematika para profesional swasta maupun akademisi yang masuk ke wilayah otoritas birokratis adalah kegagalan memahami cara kerja berlapis layaknya kulit bawang.

Kegagalan transmisi sinyal pesan, dalam membangun komunikasi pemerintah, melalui perpanjangan tangan menteri dari abstraksi besar kepemimpinan nasional, bisa jadi disebabkan waktu antara -time lag. Jangan sampai pengambilan kebijakan mengalami keterlambatan, dibandingkan dengan perkembangan pada sebuah fenomena sosial.

Gerak kerja kabinet harus seragam dan saling berkaitan. Disamping itu, evaluasi bagi perbaikan ekonomi harus menjadi fundamental penting yang akan dijadikan sebagai warisan -legacy bagi tongkat estafet kepemimpinan selanjutnya.

Kepemimpinan nasional sesuai siklusnya akan berhadapan dengan persoalan harmoni kabinet menjelang periode akhir jabatan. Terutama bagi para menteri yang berasal dari partai politik, ketika mulai sibuk mencari panggung bagi kepentingan diluar kerja kabinet. Patut diwaspadai, proses kerja akan mengalami perlambatan.

Pilihan kabinet harus menempatkan prinsip "the right man at the right place". Dibutuhkan kecakapan atas kompetensi konseptual hingga teknis, serta kemampuan menerjemahkan instruksi pemimpin menjadi catatan tersendiri. Jangan sampai masing-masing anggota kabinet terlalu asyik dengan style-nya sendiri sehingga sulit dikoordinasikan.

Bersih dan Berwibawa

Integritas moral arus menjadi bagian etis yang menjaga perilaku anggota kabinet. Bekerja benar dengan cara-cara yang benar. Disitu letak tantangan terbesarnya, ketika letak kekuasaan ada di dalam genggaman, berhadapan dengan kepentingan pragmatis jangka pendek.

Berkaca dari refleksi kabinet kerja episode pertama, KPK menjadi filter bagi penyelewengan kekuasaan. Bahkan di tubuh kabinet sebelumnya, ada petinggi kementerian yang menjadi tersangka. Hal tersebut menguatkan sinyalemen, bahwa kekuasaan memang kerap ditransaksikan melalui pertukaran pengaruh.

Situasinya bisa menjadi berbeda, terutama sejak revisi UU KPK dinyatakan berlaku. Padahal tujuan utama pembangunan tahap kedua tidak sekadar melanjutkan, tapi juga sekaligus menuntaskan. Kita tentu patut khawatir. Karena persoalan korupsi adalah hambatan terbesar bagi pembangunan.

Perhatian atas kualitas pembangunan akan terkait dengan dampak yang dihasilkan. Rendahnya kualitas pembangunan sebanding dengan beban biaya tambahan untuk sampai pada tujuan minimal.

Arah pembangunan kita ke depan, sesuai pidato pelantikan tidak berbicara lagi skema tetesan ke bawah -trickle down effect, tetapi mendorong terjadinya pembangunan berkeadilan -pro growth pro poor. Dengan begitu, halangan dan rintangan harus disingkirkan.

Perampingan birokrasi bisa jadi ditujukan untuk hal tersebut, jalur keputusan lebih singkat dan cepat, tetapi juga berkonsekuensi pada soal sentralisasi kebijakan masing-masing sektor secara powerfull. Harus ada mekanisme check and balances di sana agar tidak tergelincir.

Problemnya, pada mekanisme kelembagaan, fungsi KPK telah melemah, sedangkan pada koridor politik hampir tidak tersisa kubu oposisi yang seimbang.

Sesuai Wijayanto Samirin, Bridging the Gap, 2014, dibutuhkan penguatan institusi agar tercipta social trust sebagai modalitas pembangunan. Kalau sudah begitu, kita tentu berharap, kepemimpinan terpilihlah yang akan menjalankan fungsi kontrol langsung atas kerja kabinetnya.

Agar pada periode terakhir ini akan dapat dikenang sebagai kabinet kerja yang bersih dan berwibawa. Selamat bekerja!

Penulis tengah menempuh Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid(rmol)

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA