Oleh: Hersubeno Arief
DI bawah rezim pemerintahan Jokowi, tampaknya ada semacam aturan. Setidaknya paham dan kesepakatan baru: Silakan jadi koruptor, asal jangan Radikal!
Menjadi koruptor di negeri ini jauh lebih terhormat, dari pelaku kriminal. Apalagi mereka yang terkena stigma radikal.
Masih bisa ketawa-ketiwi di depan sorotan kamera televisi. Masih bisa jalan-jalan, keluar lembaga pemasyarakatan (LP). Seribu dalih, bisa digunakan sebagai alasan.
Di dalam LP juga masih tetap bisa menikmati fasilitas premium. Semakin besar nilai korupsinya. Semakin besar harta kekayaan ditumpuk. Semakin mewah fasilitas yang bisa dinikmati.
Jangan terlalu khawatir kalau divonis berat oleh hakim. Dijamin masa tahanan tidak akan selama itu. Masih ada remisi. Dalam setahun bisa diterima beberapa kali.
Remisi HUT Kemerdekaan. Remisi hari besar keagamaan, dan remisi tambahan. Alasannya bisa dicari-cari.
Setelah menjalani setengah masa tahanan, bisa menjalani proses asimilasi. Itu artinya sama dengan bebas. Setidaknya di siang hari. Dan setelah menjalani dua pertiga masa tahanan, bisa mendapatkan bebas bersyarat.
Jadi jangan takut, apalagi malu untuk menjadi koruptor!
Setelah bebas, masih bisa menikmati harta hasil korupsi bersama anak cucu. Tujuh turunan. Menjalani masa tua dengan bahagia dan foya-foya.
Kalau rajin menyumbang dan beramal, dijamin akan dihormati oleh masyarakat. Mereka tak peduli harta itu berasal dari mana. Bagaimana cara mendapatkannya. Yang penting pemurah, dermawan.
Khusus untuk saat ini, sampai tiga bulan ke depan - kalau Presiden Jokowi tidak segera mengaktifkan kembali pimpinan KPK, atau menunjuk Plt - para koruptor bebas merdeka!
KPK sedang mati suri. Lumpuh. Pimpinan KPK sedang kosong karena mengembalikan mandat. Para karyawannya mogok kerja.
Beda halnya dengan kalau terkena stigma radikal. Habis sudah. Selesai. Anda game over!
Sebagaimana pernah dilansir oleh kantor berita Reuters Juni lalu. Seorang pejabat yang dekat dengan lingkar kekuasaan membocorkan. Pemerintah sedang menggodok aturan untuk menyingkirkan "garis keras" dan "radikal" dari pemerintahan dan BUMN.
Ada 10 departemen dan BUMN besar yang menjadi target pembersihan. Bila sudah telanjur menjadi ASN atau karyawan BUMN, dipastikan karir mereka akan mentok. Tak akan bisa promosi ke eselon II. Konon pula eselon I.
Siapa saja yang masuk dalam kelompok garis keras dan radikal ini? Menkeu Sri Mulyani sudah memberi semacam petunjuk. Mereka yang punya paham keagamaan eksklusif. Yang dimaksud pasti tidak jauh-jauh, umat Islam!
Ketika melantik sejumlah pejabat eselon II dan III pada pertengahan Juni lalu, Sri dengan keras menyatakan, perilaku semacam itu "tidak dimaafkan!"
"Kalau di institusi ini ada pimpinan di di level manapun, atau bahkan bukan pimpinan, tapi staf jajaran yang merasa atau memiliki kepercayaan bahwa Anda ingin menjadi eksklusif, maka Anda salah tempat, karena Anda tidak hanya menjadi benalu, tetapi racun bagi institusi dan bagi negara," kata Sri.
Ngeriiiii beneeeerrr!
Jauh sebelum itu, sejumlah masjid di kantor pemerintahan dan BUMN sudah mulai menyingkirkan, mem-black list para Ustaz yang dicap garis keras dan radikal. Mereka tidak boleh lagi menyampaikan khotbah, ceramah, halaqoh, maupun kajian-kajian. Padahal selama ini aman-aman saja.
Alat Gebuk Baru Setelah Khilafah
Ya benar. Stigma radikal kini menjadi alat gebuk baru bagi pemerintah dan para pendukungnya. Sebelumnya yang digunakan isu khilafah, menyusul penetapan HTI sebagai organisasi terlarang.
Khilafah dan radikal adalah satu paket. Siapapun yang dianggap kritis, apalagi menentang kebijakan pemerintah, akan dicap sebagai pendukung khilafah dan radikal.
Targetnya menyingkirkan umat Islam dari kancah politik, sekaligus menyingkirkan lawan-lawan politik pemerintah. Entah dia Islam, abangan, maupun non Islam.
Masih ingat bagaimana isu radikal dan khilafah digunakan untuk menghancurkan Prabowo pada Pilpres 2019.
Prabowo kok radikal? Pendukung khilafah?
"Entuk pirang perkoro?" kata orang Yogya.
Tapi para pendukung Jokowi percaya itu. Tutup mata dan meyakini. Pejabat pemerintah, tokoh dan media pendukung Jokowi terus memproduksi, menggunakan isu itu.
Proses labeling dan stigma itu kini kembali terulang. Namun kelihatannya bakal salah sasaran. Bisa menjadi senjata makan tuan.
Coba perhatikan dalam kontroversi revisi RUU dan pemilihan pimpinan KPK. Isu radikal digunakan untuk memberi stigma kepada mereka yang menentang.
Cap radikal juga dijadikan semacam legitimasi agar publik mendukung hasil pemilihan pimpinan KPK yang baru.
Substansi utama bahwa seorang pimpinan KPK adalah pribadi berintegritas tinggi, bersih korupsi, justru tidak penting.
Seperti sebuah orchestra mereka menggiring isu ini. Mulai dari isu adanya kelompok "Taliban"versus "polisi India" di KPK, dan kemudian soal radikal.
Parahnya operator yang mengendalikan isu ini diduga ngendon di istana. Mantan pimpinan KPK Busyro Muqoddas menduga isu Taliban dimainkan, dipolitisasi istana.
Hendardi salah satu anggota panitia seleksi (Pansel) capim KPK memastikan, salah satu proses seleksi adalah menelusuri rekam jejak intoleransi dan radikalisme capim.
Ketua Umum GP Anshor Yaqut Cholil Quomas menilai komposisi pimpinan KPK saat ini ideal. Bisa untuk pemberantasan korupsi sekaligus membersihkan kelompok radikal di KPK.
Mereka ini sangat peduli dengan isu radikalisme, namun abai dengan rekam jejak korupsi.
Irjen Pol Firli Bahuri yang terpilih menjadi Ketua KPK yang baru, banyak dipersoalkan publik. Saat menjadi Direktur Penindakan KPK dia terbukti melakukan pelanggaran berat secara etik.
Firli terbukti beberapa kali bertemu beberapa orang yang diduga melakukan tindak korupsi dan menjadi obyek penyelidikan dan penyidikan KPK.
Dia lolos dari hukuman, karena keburu ditarik oleh Mabes Polri. Firli malah dipromosikan menjadi Kapolda Sumatera Selatan.
Labeling, stigma semacam itu kali ini dipastikan akan mentok. Selain memang tidak berdasar, juga salah sasaran. Maklumlah karena terbiasa ngawur dan hantam kromo.
Rezim pemerintahan Jokowi justru akan menghadapi perlawanan perorangan, lembaga, media, dan jutaan orang yang dulu menjadi pendukungnya pada Pilpres 2019.
Bagaimana mungkin figur seperti Syafi'i Maarif, Sinta Nuriyah Wahid, ICW, Kompas, Tempo Group termasuk kelompok "radikal?"
Mereka adalah pendukung garis keras Jokowi. Kalau menggunakan terminologi lama, mereka adalah Cebong akut. Kok bisa tiba-tiba menjadi Kampret Radikal?
Label radikal ini, kalau terus digunakan untuk melawan kelompok kritis, dipastikan akan menjadi bumerang. Menyerang balik pemerintahan Jokowi.
Publik akhirnya bisa menilai, memilih, dan memutuskan.
Bersama mereka yang mengklaim paling Pancasila, paling NKRI, bersamaan dengan itu melindungi para koruptor. Atau bersama kekuatan rakyat yang radikal dalam memberantas korupsi!?
Koruptor itu harus dihukum mati! Bukan harga mati! (*)