Urusan Nyawa Rakyat Kok Dihitung Untung Rugi?

Urusan Nyawa Rakyat Kok Dihitung Untung Rugi?

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Begitu menyedihkan nasib rakyat kecil di negeri ini. Sudahlah jatuh tertimpa tangga, sekarang justru dibuat mati perlahan. Bagi mereka yang sakit akan bertambah ‘sakit’. Karena sejak kamis, 1 Agustus 2019, BPJS menonaktifkan 5,2 juta peserta penerima bantuan iuran jaminan kesehatan dengan dasar Surat Keputusan Menteri Sosial No 79 Tahun 2019 soal penonaktifan dan perubahan data peserta penerima bantuan iuran jaminan kesehatan. 

Pemerintah berdalih, pemutakhiran data diperlukan karena ada 114 ribu jiwa peserta yang tercatat meninggal dunia. Di luar itu ada pula peserta yang sejak 2014 tidak pernah akses layanan kesehatan ke faskes yang telah ditentukan.

Menghadapi protes masyarakat, pemerintah enteng saja menyatakan, mereka yang dinon aktifkan tak perlu khawatir karena sudah disiapkan kebijakan lanjutan. Pertama, mereka mendaftar kembali menjadi peserta PBI melalui Dinsos dan Dinkes di daerah masing-masing sehingga iuran menjadi beban APBD. Kedua, jika daerah tidak punya dana, maka daerah yang akan mengajukan ke kemensos pusat. Ketiga, jika mereka mampu membayar iuran sendiri, mereka disarankan langsung mendaftar sebagai peserta mandiri atau pekerja bukan penerima upah alias PBPU dengan ‘keringanan’ hanya menunggu 14 hari masa verifikasi. Kebijakan itu berlaku sampai 31 Agustus 2019.  

Lihatlah, betapa rakyat dipermainkan dengan kebijakan negara yang tak bijak. Pusat dan daerah malah bisa saling lempar tanggungjawab soal pengurusan nyawa rakyat. Tak ada penjelasan, bagaimana jika opsi ke dua rakyat miskin tak lolos juga? Nampak jelas, negara ingin berlepas tangan dari kewajibannya mengurus rakyat.

BPJS memang selalu mengaku tekor. Setidaknya, tahun ini defisit mencapai Rp 28 triliun. Bukan hanya peserta yang dipangkas, bahkan kerjasama dengan beberapa rumah sakitpun terpaksa harus diputus.

Di luar itu, opsi suntikan dana pemerintah jelas tak bisa terlalu diharapkan. Tahu sendiri, pemerintah sudah pusing dengan beban utang yang makin membesar. Maka, jadilah opsi menaikkan iuran sebagai solusinya. Lagi-lagi rakyatlah yang dikorbankan.

Beginilah jika sistem kapitalisme yang diterapkan. Negara seolah sedang berdagang. Urusan nyawa rakyat pun dihitung dari keuntungan dan kerugian. Alih-alih berupaya memberikan mutu kesehatan terbaik buat rakyatnya. Negara, malah memeras rakyat atas nama iuran jaminan kesehatan.

Negara terus mempropagandakan, saling menolong sesama warga negara adalah bentuk kebaikan. Padahal negara sedang memindah paksa kewajibannya memenuhi hak rakyat atas jaminan kesehatan, hingga rakyatlah yang saling menjamin kesehatannya sendiri. Jika demikan, apa fungsi dan peran negara untuk rakyatnya?

Zhalim namanya, jika negara terus ‘memalak’ rakyat lewat iuran jaminan kesehatan yang nilainya terus dinaikkan. Padahal kondisi ekonomi kian sulit dirasakan. Dan lantas peserta PBI pun dinonaktifkan. Benarlah apa yang Sekjen Perhimpunan RS se-Indonesia, Wasista Budi Waluyo katakan. Bahwa aturan aktivasi dan pendaftaran yang ruwet menyebabkan jatuhnya korban.

Hal senada dikatakan Hariyanto, Peneliti kesehatan Pusat Studi Nusantara. Bahwa produk peraturan yang dibuat BPJS justru menyulitkan masyarakat. BPJS memiliki pola bagaimana memperbanyak jumlah iuran, bukan bagaimana memberikan pertolongan segera bagi rakyat yang membutuhkan.

Sejatinya, kesehatan adalah hal vital yang mesti dijamin oleh negara. Tapi negara malah tak sungkan berlepas tangan, memangkas hak miskin untuk dibantu disejahterakan. Buru-buru mengambil keputusan penonaktifan. Sementara rakyat lain diburu untuk taat bayar iuran. Dan jika tak tepat waktu membayar, sanksi pun siap dilayangkan.

Iuran dinaikkan, jutaan peserta dinonaktifkan, dan diminta kembali melakukan pendaftaraan jika masih mau jaminan kesehatan diberikan. Malang nian kondisi rakyat di negeri yang konon kaya raya ini. Himpitan ekonomi yang sulit tak cukup membuat penguasa kasihan. Kini ditambah lagi dengan jeratan keruwetan BPJS yang sungguh menyakitkan.

Mana suara pemimpin negeri? Bukankah mereka harus bertanggungjawab atas hal ini?

Sayangnya, mereka sedang sibuk dengan urusan mengamankan kursi di parlemen, lalu mencari posisi untuk anggota partainya dalam pemerintahan. Sementara sang pemimpin utama, sedang sibuk atas pencalonan anak sendiri naik ke kursi kekuasaan di kampung halaman. Dan tentu saja, berasyik masyuk dengan berbagai proyek mercusuar yang menjadi jalan asing menguasai berbagai kekayaan milik rakyat kebanyakan.

Padahal bukankah pemimpin layaknya seorang pelayan? Sebagaimana Rasulullah Saw pernah sabdakan : “ Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka” (HR Ibnu Asakir, Abu Nu’aim).

Semestinya, negaralah yang wajib melayani rakyat atas segala kebutuhan dasar mereka. Dan kesehatan hanyalah salah satunya. Negara wajib memenuhi layanan kesehatan dengan murah bahkan cuma-cuma. Bukan sebaliknya, rakyat yang justru melayani penguasa dengan memasok kantong keuangan negara demi kepentingan mereka dan kroni-kroninya.

Sungguh jahat sistem hidup yang sekarang sedang diterapkan. Yang membuat penguasa kehilangan rasa kemanusiaan. Dan negara kehilangan kedaulatan. Hingga kekayaan melimpah ruah yang Allah swt berikan, tak bisa jadi modal kesejahteraan, apalagi membawa keberkahan. MENYAKITKAN! (*)

*Penulis: Zainab Ghazali
[swa]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita