NET TV: Antara Bisnis Nyata Dan Mimpi

NET TV: Antara Bisnis Nyata Dan Mimpi

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


KABAR ini sedang viral: NET TV dikabarkan bangkrut. Karyawannya di-PHK massal. Manajemen NET TV membantah. Tidak ada PHK massal. Yang ada, menawari karyawan resign dengan kompensasi menarik. Ada apa dengan bisnis media TV?


Saya tidak punya otoritas untuk mengonfirmasi kebenaran berita soal NET TV itu. Lagi pula itu baru isu. Belum tentu benar. Cuma setelah saya menonton tayangan stasiun TV ber-tagline ‘Televisi Masa Kini’ itu isinya konten-konten lawas. Sinetron ‘Suami-Suami Takut Istri’ yang diproduksi entah berapa tahun lalu, sekarang nongol pada slot ‘prime time’.

Pada awal NET TV mengudara (2013), saya masih memimpin perusahaan jaringan TV lokal Jawa Pos: Jawa Pos Multimedia Corporation (JPMC). Sekarang menjadi Jawa Pos Multimedia (JPM). Saat itu saya masih sering bertemu pimpinan Space Toon. Stasiun TV anak satu-satunya. Sebelum berubah menjadi NET TV.

JPMC dan Spacetoon akrab. Karena sama-sama TV lokal. Sama-sama TV berjaringan. Sama-sama berkantor di Jakarta. Dan sama-sama bernasib kurang baik. Karena regulasi tentang TV lokal yang sering berubah-ubah.

JPMC (saat itu) mengelola jaringan dengan anggota 44 stasiun TV lokal. Sedikit kalah jumlah kalau dibandingkan jaringan Sun TV (sekarang iNews). Tapi masih lebih banyak dibanding jaringan Space Toon.

Mendadak, santer terdengar kabar. Space Toon akan tutup. Berubah nama menjadi NET TV.  Berubah pula investornya. Berubah pula pimpinannya.

Rupanya benar. Space Toon lenyap. NET TV mengudara. Wisnuthama menjadi bos baru di sana.

Munculnya Wisnuthama sungguh membuat saya kagum. Siapa tidak kenal dia? Dalam industri penyiaran TV, Wisnuthama sudah ditahbiskan sebagai ‘dewa’. Walau usianya masih muda. Mungkin ‘dewa muda’.

Program-program baru pun muncul satu per satu. Tokoh-tokoh selebriti yang dulu tampil di TV nasional, mulai bersiaran di NET TV. Sebagai penonton, saya suka. Sisa-sia penderitaan dan kemiskinan Space Toon sebagai TV lokal sudah tak tampak sama sekali di NET TV.

Glamor, Kinclong
NET TV tidak kalah dibanding TV nasional. Bahkan lebih unggul. Karena beritanya saja diproduksi dengan kamera-kamera sinematik. Seperti syuting sinetron.

Tapi hidup glamor itu mahal. Selalu tampil kinclong juga mahal. Padahal seglamor-glamornya NET TV, stasiun itu tetaplah stasiun TV lokal. Sekinclong-kinclongnya NET TV, stasiun itu tetaplah stasiun TV lokal.

Sebagai pimpinan stasiun TV lokal berjaringan, terus terang saya keder. Melihat penampilan NET TV. Mana bisa JPMC tampil sehebat itu? Kalau hanya alat produksi, JPMC pasti bisa membeli.

Memproduksi konten sekelas NET TV pun bisa membiayai. Tapi, hanya sekali-sekali. Tidak mungkin sanggup sepanjang hari. Memang duit Jawa Pos tidak berseri?

Pertanyaan saya saat itu: Sampai kapan NET TV kuat?

Saya menduga, sejak menjadi NET TV, strategi bisnisnya berubah. NET TV mulai membangun strategi bisnis seperti TV nasional. Buat dulu konten yang bagus agar ratingnya tinggi. Kalau ratingnya tinggi, pengiklan akan masuk dengan harga mahal.

Teori itu tidak salah. Semua TV nasional melakukannya. Dan sukses. Wisnuthama adalah tokoh industri penyiaran TV yang lahir dari TV nasional. Dan juga membuktikan suksesnya sendiri.

Sayangnya program bagus itu tidak ada yang gratis. Bahkan untuk disebut murah pun sangat sulit. Biaya produksi dan siaran NET TV pasti mahal sekali.

Sebelum itu saya pernah berada pada kondisi yang mirip-mirip. Saat ditugaskan Pak Dahlan Iskan membantu JAK TV.

JAK TV adalah TV lokal Jakarta. Tapi awaknya semua dari stasiun TV nasional. Cara berpikirnya TV nasional.

Model bisnisnya mirip TV nasional: Buat dulu konten yang bagus. Biar ratingnya tinggi. Nanti iklannya akan datang dengan harga mahal.

Saat saya masuk (2007) JAK TV sudah berusia 7 tahun. Belum pernah mencatatkan laba sekali pun. Pendapatannya jauh dibandingkan biayanya. Setiap bulan tekor miliaran rupiah. Berapa kerugiannya selama 7 tahun berturut-turut?

Langkah pertama yang dilakukan untuk menyelamatkan JAK TV adalah menurunkan biaya produksi konten. Presenter dari TV nasional yang sekali tampil bertarif jutaan rupiah distop. Diganti presenter baru hasil audisi mahasiswa yang bersedia dihonor senilai uang taksi.

Film-film drama Korea dan Hollywood yang eksklusif serta mahal dihentikan. Diganti siaran pengobatan alternatif. Sampai akhirnya sempat dijuluki ‘TV dukun’. Saking banyaknya terapis yang mengisi siaran.

Program-program baru kemudian diproduksi. Yang murah-meriah. Dengan biaya maksimal setengah dari harga blocking time. Kalau harga blocking time satu jam Rp 5 juta, biaya produksi konten, apa pun genrenya, maksimal Rp 2,5 juta per episode.

Mau undang presenter TV nasional boleh. Undang artis nasional boleh. Asal biayanya Rp 2,5 juta per episode. Produser-produser pusing. Mana bisa uang segitu untuk memproduksi konten berkelas TV nasional?

Tapi akhirnya ketemu jalan. Ada saja temuan program baru. Ada saja partner baru. Yang bisa diajak membiayai program. Salah satunya "Modal Dengkul Dapur Ngebul" yang saya ciptakan atas biaya penuh Pak Wahyu Indrasakti Saidi, pemilik kartu nama bertulisan 'Alumni ITB Tukang Bakmi'.

Alhasil, wajah baru JAK TV pun tidak kinclong lagi. Memang ‘nggak kelas’ lagi. Tetapi pada akhir tahun, stasiun TV lokal itu membukukan laba kali pertama. Juga pada tahun-tahun berikutnya.

Apakah NET TV senasib dengan JAK TV? Saya tidak tahu persis. Sudah lima tahun saya meninggalkan industri penyiaran TV. Pindah haluan ke TV online. Kemudian TV interaktif. Yang kini popular dengan sebutan webinar.

Webinar memang tidak seheboh stasiun TV. Tapi webinar bisnis yang nyata. Penonton webinar tidak perlu banyak. Karena setiap peserta harus membayar. Beda dengan stasiun TV. Yang bisnisnya ditentukan mimpi bernama rating tinggi.

Joko Intarto
Penulis mantan praktisi bisnis media TV.(rmol)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita