Pemerintah Tak Berdaya Kendalikan Harga Tiket Pesawat, Pengamat: Bukti Good Governance Itu Tidak Ada

Pemerintah Tak Berdaya Kendalikan Harga Tiket Pesawat, Pengamat: Bukti Good Governance Itu Tidak Ada

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Pengamat Ekonomi, Ichsanuddin Noorsy menyoroti mahalnya harga tiket pesawat yang memberatkan masyarakat. 

Dia menyebut, ketidak mampuan pemerintah menekan laju harga tiket pesawat di Indonesia menunjukkan bahwa good governance atau pemerintahan yang baik itu tidak ada, dan terbukti cacat secara sistematis.

Tak hanya itu, persoalan yang dialami oleh maskapai Lion Air, Garuda, pengelolaan avtur (bahan bakar), serta regulasi sebagai salah satu contoh carut marutnya persoalan maskapai di Indonesia.

Noorsy menjelaskan, sejak awal diketahui bahwa tidak ada pihak swasta yang tidak ingin memonopoli pasar, apalagi pasar penerbangan terkait langsung dengan hajat hidup orang banyak.

Menurutnya, kecenderungan pihak swasta atau hasrat pihak swasta dalam berbisnis adalah memonopoli pasar. Sehingga mereka akan berusaha mengatur berbagai hal, agar pasar itu sepenuhnya dikuasi oleh mereka. 

"Siapapun yang akan melalukan penetrasi pasar akan berhadapan dengannya, dan itu yang terjadi dengan Lion Air Group, berbagai cara sampai akhirnya ia pesan ratusan pesawat boeing dan memesan air base," kata Noorsy kepada TeropongSenayan, Rabu (19/06/2019).

"Jadi, itu hanya dalam rangka melakukan penetrasi pasar besar-besaran. Pesanan Lion Air atas pesanan ratusan pesawat boeing dan memesan air base itu sebenarnya dalam rangka memonopoli pasar," papar dia.

Akibatnya, lanjut dia, muncul persaingan dari maskapi lain, misalnya Sri wijaya dan Air Asia, yang ikut memonopoli. Mereka lantas mempengaruhi kebijakan agar sesuai dengan kehendaknya, mulai dari input proses dan ke out put. "Jadi, yang pertama kali mereka lakukan adalah input harga avtur, harga tenaga kerja pilot-pilot yang rendah," katanya.

Kedua, ketika Lion Air mengatur tentang pelabuhan-pelabuhan mana yang bisa mereka pakai, contohnya adalah Halim. Lion Air adalah maskapai pertama kali menggunakan Halim secara masif (besar-besaran).

Lewat pesawat Batik Air, mereka melakukan out put sekaligus di out put untuk menjamin pasar. Sementara di proses Lion Air, harus melihat seberapa jauh layanan landas pacu, layanan ground handling yang mengutamakan dirinya.

"Ini sesungguhnya sebuah gambaran Lion Air sudah masuk ke dalam strategi monopoli pasar, dan dalam hal ini Lion Air berhasil. Lawannya sesungguhnya siapa, bukan siapa-siapa, ya Garuda. Ditengah Garuda sakit dalam tanda petik, karena Garuda selalu dalam problem keuangan," ungkap Noorsy.

Bahkan, Noorsy melanjutkan, saat ini Garuda berani meminta kepada customernya untuk mereka melakukan block flight. "Jadi bayarnya di depan, tidak ada jaminan pembayaran, jadi kalau pun mau dipakai atau tidak yang penting penumpang telah membayarnya di depan, dan itu nilainya triliunan," tegas Noorsy.

"Artinya, Garuda juga mengalami trouble keuangan bukan hanya Lion Air, dari situasi monopoli yang seperti itu menggambarkan situasi industri jasa penerbangan kita tidak sehat," jelas dia.

Menurut Noorsy, ketidaksehatan itu ditandai juga oleh yang perubahan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tatkala menaikkan tarif batas atas dan tarif batas bawah. Hal itu menggambarkan bahwa kondisi sebenarnya tidak sehat dan tarif pesawat naik semua, akibat pasar sudah dimonopoli. 

"Artinya, sudah ada yang mengdikte Kemenhub, sehingga mereka menaikkan tarif batas atas tarif batas bawah. Itu naiknya 30 sampai 35 %. Itu menggambarkan posisinya begitu," ucap dia.

Ketiga, Noorsy menjelaskan, ketika dibanding-bandingkan harga per kilo meternya itu lebih mahal daripada penerbangan di negara Malaysia, Singapura, Vietnam dan penerbangan di lainnya di Indonesia.

"Kenapa Indonesia bisa lebih mahal, per kilo meternya? karena problem mereka ternyata disebabkan oleh harga avtur yang berbeda satu sama lain di setiap bandara. Problem avtur yang berbeda satu sama lain bisa di liat siapa pemasoknya. Mereka teriak Pertamina apakah Pertamina memasok sendiri apakah Pertamina tidak menggunakan pihak ketiga? nah di sini bisnisnya jadi panjang," beber Noorsy.

Kemudian, Noorsy menegaskan, persoalan lainnya, seberapa jauh regulasi industri penerbangan mengatur agar situasi demikian efisien, lantaran ini menyangkut soal mentalitas birokrasi, good govermance, Kemenhub dan anggota DPR RI, di komisi perhubungan dan infrastruktur.

"Jadi, di Indonesia kasus mahalnya harga tiket, menunjukkan good govermance itu tidak ada dan cacat secara sistematis. Bukti cacat itu ketiadaan aturan publik goods dibidang barang dan jasa," pungkasnya.[tsc]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita