Oleh M Rizal Fadillah (Mantan Aktivis IMM)
Penembakan yang menewaskan 20 an peserta aksi atau warga masyarakat dan puluhan bahkan mungkin ratusan luka luka melengkapi jatuhnya korban Pemilu yang hampir 700 meninggal dan belasan ribu sakit terdahulu. Luar biasa tragedi demokrasi di akhir masa kepemimpinan Jokowi sebagai Presiden. Ambisi ingin memperpanjang kekuasaan berbuntut tewasnya ratusan orang dalam waktu yang pendek. Sang jago pencitraan akhirnya terbentur pada citra buruk dari ambisinya tersebut.
Seperti biasa tragedi masih disikapi dengan diam. Adanya seperti tiada.
Joko Widodo di samping Capres yang sementara "dimenangkan KPU" juga adalah Presiden RI. Pemimpin negara yang bertanggungjawab atas segala yang dihadapi warganya atau rakyatnya. Jajaran birokrasi atau alat negara berada di bawah kendalinya. Terlebih pada bidang soal politik, hukum, dan keamanan. Bahwa ada Menteri sebagai pembantunya memang iya, akan tetapi jika ada kesalahan yang dilakukan sang Menteri kemudian Presiden diam atau membiarkan maka itu sama artinya dengan mengambil alih tanggungjawab. Kecuali jika ia telah menindak atau memberi sanksi pada Menterinya tersebut.
Wiranto adalah Menkopolhukam. Kini paling aktif mengambil langkah "mengamankan" negara yang sedang sakit keras ini. Bergoyang dengan goncangan kuat karena dugaan Pemilu yang tak adil dan jujur. Kebijakannya selalu menantang dan mengancam bukan mendinginkan. Risiko tanggungjawab politik ada di tangannya. Pada peristiwa pembantaian terakhir Wiranto "mematikan" seluruh jaringan internet dan medsos publik. Membungkam informasi dari dan ke area aksi. Seolah ia tahu dan menyiapkan "sesuatu kejadian" yang harus minim akses.
Tito Karnavian Kapolri tentu bertanggungjawab sebagai "komandan operasi" karena Brimob dan pasukan pendukung lainnya yang langsung berhadapan dengan peserta aksi. Siapapun yang memerintahkan "tembak" dengan peluru tajam dan akhirnya membunuh maka berujung pada tanggungjawabnya. Pasukan Brimob yang disorot masyarakat belum mengklarifikasi masalah peluru tajam, sayap "pasukan Cina", sniper, serta serangan ke dalam Masjid di Petamburan.
Sejarah tragedi "17 Ramadhan" pasca shalat tarawih tentu tak bisa dihapus begitu saja. Ada tuntutan penjelasan melalui proses pembuktian tentang kesalahan dan tanggungjawab. Sebelum bisa menjawab pertanyaan dari rakyat dan bangsa Indonesia bahkan dunia Internasional tentang apa dan siapa serta mengapa terjadi tindakan biadab membunuh manusia tak bersenjata dan tak berdaya ini maka mata menyorot tiga nama yang sangat bertanggungjawab Joko Widodo, Wiranto, dan Tito.
Pihak yang kompeten baik Komnas HAM, DPR RI, maupun lembaga HAM Internasional harus meneliti dengan seksama. Depan Bawaslu bukan area medan latihan untuk menguji kecanggihan senjata dengan sasaran warga sipil yang tak berdaya.
Bandung, 24 Mei 2019 (*)