Soal Surat Presiden pada KPU, Fahri: Ada Hubungan Apa Jokowi dan OSO?

Soal Surat Presiden pada KPU, Fahri: Ada Hubungan Apa Jokowi dan OSO?

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO -  Keputusan Presiden yang mengirimkan surat kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar memasukan Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) ke dalam Daftar Caleg Tetap (DCT) menuai tanda tanya. Apalagi, lembaga yang dipimpin oleh Areif Budiman itu tegas menolak usulan yang dikirimkan oleh Jokowi.

Menanggapi polemik itu, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Fahri Hamzah mengatakan, sebetulnya tidak ada urgensi apa pun di balik surat yang dikirimkan oleh Jokowi untuk KPU itu. Sebaliknya, Fahri malah mengaku tidak mengerti ada hubungan apa antara Jokowi dan OSO.

Fahri pun kemudian mengkritisi tidak adanya peran penasehat hukum yang dapat memberi tahu Jokowi soal keputusannya yang dinilai keliru tersebut. Padahal, kata dia, orang disekililingnya Jokowi memiliki kemampuan tentang hukum dan soal pemilu.

“Orang jago tentang UU Pemilu, tata negara, namanya Yusril. Tapi ya enggak dipakai. Sehingga terjadilah kekonyolan seperti ini. Saya kira maslahnya ada pada penasihat hukum presidennya itu. Ini Jokowi kaya enggak punya penasihat hukum,” kata Fahri di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (5/4).

Lebih lanjut, Fahri menyampaikan bahwa kekonyolan Jokowi bukan hanya soal kasus OSO. Menurutnya, ada konflik kepentingan yang sudah ada sedari awal Jokowi menjabat dan  menjadi blunder jelang pencoblosan pilpres.

“Jokowi selama dia enggak pakai penasihat hukum yang bener, ya pasti banyak blunder. Itulah yang saya bilang. Udahlah (pakai) Pak Yusril di dalam,” pungkasnya. 

Diketahui, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menolak permintaan Presiden Joko Widodo terkait soal polemik Ketua DPD Oesman Sapta Odang (OSO). Permohonan itu dikirim lewat surat Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno.

Isi surat itu meminta KPU untuk menjalankan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, terhadap OSO yang juga Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang untuk dimasukan dalam Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota DPD Periode 2019-2024.

Sementara itu, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno angkat suara terkait surat yang isinya meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memasukan nama Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) dalam dalam Daftar Calon Tetap (DCT) DPD Periode 2019-2024.

Permintaan itu sebelumnya sudah menjadi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Namun, oleh KPU tidak pernah dijalankan.

Dijelaskan Pratikno, surat tersebut bukanlah bentuk intervensi Istana terhadap KPU. Kerena menurut, Mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) ini menyebut PTUN telah berkali-kali mengirim surat kepada kepada Presiden Joko Widodo. 

Dalam surat tersebut dikatakan, ketua pengadilan harus ajukan hal ini kepada presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi untuk memerintahkan kepada pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan. 

“Tanggal 4 Maret yang lalu, Ketua PTUN Jakarta nomor sekian mengajukan permohonan kepada Presiden agar memerintahkan kepada KPU untuk melaksanakan putusan yang berkekuatan hukum tetap,” kata Pratikno di Press Room Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat (5/4).

“Kami paham tentang adanya surat PTUN ini karena memang Presiden bukan hanya pertama ini menerima surat ini,” lanjutnya.

Sebelumnya, Komisioner KPU, ‎Hasyim Asyari menjelaskan ‎kenapa Presiden Jokowi bisa mengirmkan surat ke KPU. Kata dia, awalnya Ketua PTUN mengirimkan surat lebih dulu ke Presiden Jokowi untuk memberitahukan, mengenai sikap KPU yang tidak menjalankan putusan. Karena dianggap mengabaikan nama OSO tidak dimasukan dalam DCT.

“Ketua PTUN meminta kepada presiden supaya menyanpaikan ini kepada KPU supaya dilaksanakan,” ujar Hasyim di Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis (4/4).

‎Atas dasar itu, lanjut Hasyim, Presiden Jokowi lewat Mensesneg Pratikno mengirimkan surat ke KPU. Kemudian, KPU juga telah merespons surat tersebut pada pekan lalu. Isinya adalah KPU tidak memasukan nama OSO di DCT karena adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 30/2018 yang melarang calon Anggota DPD memiliki jabatan kepengurusan di partai politik.

“Kami sampaikan dalam hal perkara ini ada putusan MK yang menyatakan seperti itu. Bahkan kalau tidak mengikuti putusan ini, maka dianggap sebagai pembangkangan terhadap konstitusi‎,” katanya.

Hasyim juga menjelaskan, surat dari Presiden Jokowi ini sifatnya hanya menyampaikan bukan arahan atau intervensi untuk kasus OSO. Pasalnya KPU independen tidak bisa dintervensi oleh siapapun.

“Seperti yang sudah saya sampaikan, KPU bukan anak buahnya Presiden Jokowi. Maupun DPR,” pungkasnya.

Diketahui, polemik antara PTUN Jakarta dan KPU berawal dari gugatan Ketua Umum Partai Hanura OSO. Dalam putusan itu Majelis hakim PTUN Jakarta mengabulkan perkara sengketa proses pemilu yang diajukan OSO.

Isi putusannya adalah memerintahkan KPU menerbitkan DCT anggota DPD baru yang memasukan nama OSO. Dalam putusan perkara Nomor 242/G/SPPU/2018/PTUN.JKT, majelis hakim PTUN Jakarta juga membatalkan keputusan KPU Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 tentang penetapan DCT Pemilu Anggota DPD Tahun 2019.

Bawaslu pun telah memutus sengketa tersebut.‎ Bawaslu memerintahkan KPU memasukkan OSO dalam DCT anggota DPD Pemilu 2019. Namun, KPU terus beralasan menjalankan putusan MK yang melarang calon Anggota DPD rangkap jabatan di kepengurusan partai politik. Sehingga tim kuasa hukum OSO melaporkan komisioner KPU ke Polda Metro Jaya. [jp]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita