<i>People Power</i> dan <i>State in Emergency</i>

People Power dan State in Emergency

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

PEMILIHAN Umum 2019 telah memunculkan ketidakpastian di publik. Ada yang merasa cemas, waswas, meskipun kedua calon presiden telah menyatakan agar masyarakat tetap menjaga ketertiban dan keamanan.

Meskipun demikian dalam dunia politik segalanya mungkin. Apalagi rakyat melihat ada indikasi kuat dugaan manipulasi secara massif di balik penggiringan opini yang dilakukan oleh lembaga-lembaga penggiring opini yang sebagian berafiliasi ke Tim Sukses Petahana, media mainstream alat propaganda penguasa dan para pengamat, sedangkan sedari awal rakyat merasakan aroma kemenangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. 

Dalam hal ini apa yang akan terjadi apabila ternyata hasil pemilu ditentukan oleh para penghitung suara dan manipulator, bukan oleh pemilik dan pemberi suara.

Secara spontan Amin Rais telah melontarkan akan ada people power jika penyelenggara pemilu tidal netral. Tetapi yang patut diduga dan diikuti adalah petahana memiliki indikasi yang kuat menyiapkan pernyataan negara dalam keadaan darurat. silakan membaca.    

Pemilihan Presiden itu Jujur dan Adil

Tulisan ini adalah analisa saya berpedoman pada petunjuk Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) terkait Hak Asasi Manusia (HAM) dan Pemilihan (United Nation Guidelines on Human Right and Election) tahun 1994.

Bahwa pelaksaan Pemilu sejatinya adalah momentum terpenting bagi sebuah Negara untuk memperbaiki iklim demokrasi dan meningkatkan nilai hak asasi manusia.

Ada 4 variabel utama terkait pemilu yang ditegaskan oleh PBB: 1). Hak untuk memilih (right to vote). 2) Hak untuk dipilih (right to take a part of government and Politics). 3) Pelaksaan Pemilu secara jujur dan adil (free and fair elections). 4. Negara Dalam Keadaan Darurat (State in emergencies) dan People Power.

Pertanyaannya adalah apakah dalam pelaksanaan pemilu serentak 2019, ketiga variabel (1-3) tersebut di atas berlangsung sesuai dengan standar internasional dan prinsip-prinsip demokrasi? Perlu diperdebatkan!. 

1. Perdebatan terkait Hak Memilih sedari awal sudah bermasalah. Penentuan jumlah pemilih pada Pemilu Presiden 2014 sebanyak 190 juta, sedangkan DPT Pilpres 2019 sebanyak 192 juta. Peningkatan jumlah DPT sebesar 2 juta tentu tidak rasional. Belum lagi berbagai polemik terkait KTP.

Pada pemilihan 2019 ada kecenderungan berpotensi munculnya Pemilih Terselubung dan Pemilih Hantu (ghost voters). Negara juga hampir turut mengabaikan kelompok rentan (vurneable groups) khususnya disabilitas sebanyak 20 juta orang. DPT 17,5 juta dan dugaan menyusupnya warga negara asing sebagai pemilih turut menyuburkan dugaan terjadinya manipulasi secara massif penyelenggaraan pemilu 2019. 

2. Negara juga belum mampu menjamin warga negara untuk ikut serta dalam pelaksaan pemilu di negeri ini. Sedari awal, di bawah rezim Joko Widodo, Negara dengan sadar dan sengaja melakukan pembatasan setiap warga negara untuk ikut bertarung dalam pilpres. Pembatasan melalui undang-undang pemilu yang menegaskan calon presiden hanya dapat diusung partai politik dengan persentasi dukungan politik sebesar 20%.

Partai-partai kecil tidak punya peluang dan kesempatan untuk mengusung kader-kader terbaik untuk menjadi calon presiden. Banyak tokoh-tokoh politik terbaik di Indonesia yang kecewa. Akibatnya pucuk pimpinan nasional hanya dimonopoli oleh sekelompok oligarki politik dan oligarki ekonomi dan berpotensi melahirkan pemimpin kurang kompeten dari kelompok pemilih mayoritas khususnya Pulau Jawa. 

3. Penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) yang kurang kompeten, profesional  berpengaruh pada penyenggaraan pemilu yang tidak jujur dan adil. Pemberian kisi-kisi kepada Capres dalam debat pertama 17 Januari 2019 menunjukkan bahwa KPU tidak punya visi untuk melahirkan seorang pemimpin yang kompeten.

Rakyat cenderung melihat KPU membantu capres tertentu yang disadari umum memilih kemampuan intelektual, kompetensi kepemimpinan lemah. Demikian pula, penegakan hukum yang tidak berimbang dipertontonkan oleh Bawaslu adalah wujud nyata tidak adil dan jujur. 

Proses hukum oleh penyelenggara pemilu lebih cenderung menyulitkan calon presiden Prabowo Subianto dan para pendukung untuk meraih kekuasaan secara demokratis.

Pentersangkaan terhadap K.H. Slamet Maarif adalah satu satu contoh betapa tidak adilnya para penjaga keadilan. Demikian pula dipihak lain, Luhut Panjaitan, Sri Mulyani di Forum IMF Bali, Gubernur Bali, Bupati Bandung Barat yang memerintahkan pengangkatan Pegawai Honorer dengan jaminan memilih PDIP dan berbagai kesalahan lainnya yang dilakukan oleh Tim Petahana (Joko Widodo) nyaris tidak pernah diproses hukum secara adil. Tindakan tidak netral ini berpotensi mengganggu asas non diskrimasi dihadapan (due proses of law). 

Manipulasi Massif

Pemerintah mesti memahami intensi dasar dari sebuah perhelatan demokrasi bahwa pemilihan tidak hanya pemberian kedaulatan kepada seorang Presiden Prabowo atau Joko Widodo, tetapi rakyat juga ikut menentukan masa depan. Kedaulatan yang diperoleh seorang Presiden juga merupakan resultante kedaulatan-kedaulatan individu untuk mengelola Negara (summa potestas sive sumum sive imperium dominium).

Apakah relevan bahwa hari ini Joko Widodo adalah pemegang kedaulatan dan pengelola kedaulatan? Sebagai Presiden tentu saja benar! 

Namun Joko Widodo dalam kapasitas sebagai Calon Presiden  2019-2024 kedaulatannya terkunci atau dikunci oleh sumber kekuasaan yaitu Undang-Undang Pemilu dan Etika Berpolitik dan Berpemerintahan. Karena itu Presiden tidak bisa serta merta menggunakan kekuasan (otoritas) dan sumber daya publik (negara) untuk kepentingan mengdongkrak elektabiltas. Kecenderngan penyalagunaan kekuasaan untuk meningkatkan elektabilitas sangat terang benderang. Apalagi semakin hari semakin membahayakan karena mengancam tata kelolah pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Berbagai kebijakan dan tindakan Joko Widodo yang bersifat bantuan secara langsung maupun tidak langsung makin meyakinkan rakyat bahwa pemerintah secara terencana, terstruktur, sistemtis dan massif menggunakan kekuasaannya hanya untuk kepentingan pemilihan Presiden.

Ada beberapa tindakan atau kebijakan Presiden Joko Widodo yang mengancam hak pemilih dalam demokrasi yang dapat berpotensi memupuk kekecewaan rakyat  diantaranya:

1. Kobarkan Sindrom Kekuasaan

Menurut ilmu polemologi, pemimpin yang mengambil keputusan perang adalah pemimpin yang memang haus akan kekuasaan dan  bertujuan untuk merebut kekuasaan atau melanggengkan kekuasaan. Selain itu juga pemimpin yang secara terang-terangan mendeklarasikan perang di hadapan rakyatnya jelas membuktikan bahwa dirinya adalah pribadi yang ambisius.

Perang dalam ilmu polemologi sendiri tidak hanya berwujud perang fisik melainkan perang non fisik. Perang non fisik adalah kekerasan verbal isinya bertentangan dengan hukum yaitu agitasi, propaganda atau hatespeech. Pidato Presiden Joko Widodo dalam rapat umum relawan di SICC, Bogor, Jawa Barat, Sabtu tanggal 4 Agustus 2018 menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. 

Pasalnya, Joko Widodo yang menjadi petahana pada Pilpres 2019 meminta para relawannya untuk berani jika diajak berantem alias berkelahi. Selain pernyataan-pernyataan yang mengancam dan membahayakan instabilitas sosial dan integritas nasional juga kata-kata seperti sebutan Genderuwo, Sontoloyo, propaganda Rusia, pernyataan perang total oleh Moeldoko dan pernyataan yang mengejutkan seperti 4 tahun bersabar menghadapi tekanan oposisi oleh Joko Widodo dan yang terakhir serangan kepada Prabowo saat debat capres ke 2 tanggal 17 Pebruari 2019. 

Perilaku yang ditunjukkan oleh Joko Widodo tersebut seakan-akan menyembunyikan ketidakmampuan (inkompetensi) dalam memenuhi janji-janji pilpres 2014 seperti Pemantapan Kedaulatan bangsa melalui komitmen tidak impor (beras, garam, kedele, cabe, pembelian kembali indosat), pembukaan lapangan kerja 10 juta, pembukaan lahan pertanian baru sebesar 1 juta Ha dll. 

2. Keputusan Eksperimental dan Blunder

Pernyataan terkait Pembebasan Bersyarat Ustad Abubakar Ba’asyir pada pertengahan Januari 2019 menghebohkan publik Indonesia. Keinginnan Joko Widodo untuk memberi Pembebasan Bersyarat rupanya tidak tulus sehingga tidak dilakukan secara formal sebagai Kepala Negara dengan menggerakan institusi Negara yang terkait seperti Kementerian Hukum dan HAM, Kepolisian, BNPT tetapi justru dilakukan melalui pihak-pihak yang tidak kompeten dan berwenang seperti Yusril Isha Mahendra.

Sebenarnya Joko Widodo maunya memberi isyarat bahwa beliau bisa berbuat baik untuk Ulama, namun ternyata diketahui setelah ditentang oleh orang-orang atau pihak-pihak dilingkungan Joko Widodo sendiri seperti; Mahfud MD, Hasto Kristiyanto, Kuasa Hukum TKN, Kepala KSP Moeldoko bahkan Menkopolhukam Wiranto mengeluarkan pernyataan yang bersifat insubordinatif terhadap atasannya.

Polemik pembebasan Ustat Abubakar Ba’asyir  telah melecehkan dan merendahkan Ulama dan Umat Islam Indonesia sehingga saat ini Umat Islam makin hari kian tersakiti.

3. Pembagian Uang dan Bingkisan atas Nama Joko Widodo

Tugas dan Kewajiban Presiden Joko Widodo sejatinya adalah memastikan adanya pemenuhan kebutuhan hidup baik pangan, sandang dan papan. Karena itu, tidak tepat mengatakan hanya semata-mata karena “hasrat baik Jokowi” (willingness) ketika pembangian uang dan sembako secara gratis atas nama Presiden kepada rakyat.

Namun pembagian uang dan sembako dalam momentum pemilu tidak wajar apalagi bertepatan dengan kunjungan atau bingkisan yang tertulis calon Presiden Petahana. Tindakan-tindakan yang dipertontonkan Joko Widodo ini dapat mencederai perasaan publik bahwa rakyat Indonesia itu gampang dibeli hanya dengan uang, sembako atau gampang dibohongi dengan lantaran kebijakan populis terkait bantuan  sosial, dana desa, pengangkatan pegawai.

Pemanfatan jabatan untuk kepentingan pribadi terkait Pilpres termasuk kategori memperdagangkan pengaruh atau dagang pengaruh (trading in influensi) yang bertentangan dengan hukum, etika dan nilai moralitas. Meskipun rakyat tidak akan terpengaruh dengan tindakan-tindakan tersebut, namun demikian perasaan publik tercederai sebagai bangsa miskin yang berharap pada tuan (manunggaling kawulo gusti) atau dianggap hamba sahaja.

Jokowi berbuat kurang elok dan tidak mampu meninggalkan legasi moral kepada rakyat. Pemahaman bernegara secara picik yang dipraktekan dalam perilaku birokrasi patrimonial, pemimpin sebagai “patron” dan rakyat diperlakukan sebagai “klain” di Negara Demokrasi Republik Indonesia yang sejatinya “pemimpin” maupun “rakyat” memiliki kedaulatan yaitu Kewajiban Negara dan Hak Asasi Warga Negara sesuai UUD 1945.

4. Pengekangan Kebebasan Sipil, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia

Presiden Joko Widodo dilantik pada 21 Oktober 2014 dengan ekspektasi perubahan demokrasi, hak asasi manusia, kekebasan sipil dan keadilan sosial. Pilar-pilar penting yang merupakan jargon-jargon yang ditulis dalam cita-cita Nawacita, dan diucapkan dalam berbagai kesempatan oleh Joko Wiidodo.

Namun berbagai harapan akan perubahan pupus ketika formasi kabinet dan realisasi kebijakan yang jauh dari harapan dan bahkan meninggalkan tujuan dan cita-cita awal. Oposisi sudah mulai kritik Pemerintahan ketika institusi penegak hukum dan lembaha rasuah (KPK) diganggu bahkan diintervensi justru oleh kekuatan-kekuatan yang melingkari Presiden termasuk Partai Politik.

Apapun yang dilakukan oleh kelompok sipil, intelektual, aktivis, komunitas agama dan rakyat mereka menyadari sepenuhnya bahwa untuk membangun negara harus berada dalam dua ranah yaitu  partisan dan oposan.

Partisan (pemerintah) membangun negara melalui otoritas dan sumber daya pemrintah, sedangkan aspek-aspek yang tidak diisi oleh negara diisi oleh kelompok oposisi. Itulah esensi bernegara yaitu pentingnya chack and balances untuk menjada pilar demokrasi, hak asasi manusia, perdamaian, keadilan sosial terlestari.

Mengingat pentingnya oposisi sebagai penyeimbang kekuatan politik dan saluran persoalan (instrument) artikulator berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat, maka kebebasan mengutarakan pikiran, perasaan dan pendapat harus dijamin dan terlestari. Demikian juga pers sebagai pilar penting demokrasi harus dilindungi, bukansebagai alat penguasa (hegemoni) rezim yang berkuasa. Salah satu kegagalan Joko Widodo dalam 4,5 tahun kepemimpinan adalah bahwa seluruh pilar-pilar tersebut diatas tergerus dan terancam.

Masyarakat saat ini terbayangi oleh bahwa ada praktir-praktik tirani kekuasaan hadir ibarat monster leviathan yang menerkam rakyat sipil terutama kelompok oposisi dan pemuka agama. Karena itulah oposisi harus diberikan ruang kebebasan untuk berkreasi menyampaikan pikiran, perasaan, dan pendapat.

Hari ini ruang kebebasan terancam mustahil untuk diraih karena seluruh instrumen kekuatan itu dimanfaatkan hanya untuk melanggengkan kekuasaan. Media dimanfaatkan untuk membangun sebuah framing tentang kebaikan-kebaikan dan citra positif pemerintah di atas keterpurukan bangunan ketatanegaraan dan ketataprajaan dan segala sendi kehidupan.

5. Rakyat Tergiring Arus Besar Non Literasi

Media mainstream yang didukung rezim penguasa sebenarnya beracun dan penuh tipu daya serta propaganda busuk. Media-media massa yang sepenuhnya didukung penguasa inilah yang sepenuhnya berfungsi sebagai corong propaganda untuk melanggengkan penjajahan yang menipu para pembacanya.

Hari ini media massa bukan lagi sebagai jendela Indonesia dan dunia. Media hadir sebagai corong penguasa dan telah membangun masyarakat yang tidak cerdas dan mengancam rakyat dalam arus besar nonliterasi. Penyebab utama bukan pada media karena diikat oleh berbagai aturan dan rambuh-rambuh hukum dan etika tetapi akibat intervensi Negara secara masif dan sistematis melalui pemilik media yang dikuasai oleh para kapitalis, punggawa kuasa dan politikus atau komprador.

Di Orde Baru ketika pers dibungkam masih ada sastra sebagai instrumen penyaluran ekspresi atas rintian, ratapan, penderitaan ataupun ekspresi hiburan dan kegembiraan sebagaimana dilukiskan dalam buku Omi Intan Naomi berjudul “Anjing-Anjing Penjaga Pers Di Rumah Orde Baru” juga karya Seno Gumira Ajidarma berjudul  “Ketika Pers Dibungkam sastra Harus Bicara”.

Meskipun Tahun 2019-2024  paska pergantian kekuasaan akan terjadi perubahan dengan merevisi Undang Undang Pers atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang substansinya  mengatur kepemilikan media agar media massa tidak boleh dimiliki oleh politisi dan bisnismen. Namun demikian kebebasan yang terkekang akan menjadi ibarat puncak gunung es yang terancam meledak jika kebebasan hakiki tersandera atau disandera.

6. Negara Mengkerdilkan Peran Umat Muslim tetapi Membiarkan Primordialisme

Pernyataan Moeldoko hari ini tanggal 18 April 2019 bahwa kekuataan agama berpengaruh pada kemenangan Prabowo dan Joko Widodo dijadikan sebagai pemimpin anti tesa Islam mainstream.

Komentar Kepala Staf Presiden secara tersirat mengkerdilkan kekuatan civil society terutama umat muslim Indonesia.

Komentar Moeldoko sangat berbahaya dalam situasi dimana umat Islam merasa disingkirkan dan diamputasi kekuatan negara.

Sangat wajar jika umat Islam marah karena Umat Islam memiliki peran penting dalam historiografi bangsa, pahlawan perintis kemerdekaan diritis oleh kaum bersorban; Teuku Umar, Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegro, Cut Nyak Dien, Sultan Hasanuddin.

Demikian pula ketika negara ini merdeka, secara kuantitas dimerdekakan karena peran tokoh-tokoh Islam. Umat Islam juga merelakan 7 kata (Syariat Islam) dihapus untuk mendirikan Indonesia yang majemuk dan negara unitarian.

Tahun 1955 NU dan Masyumi yang menjadi kekuatan politik besar juga dibonsai dalam senyawa nasionalisme dan komunisme melalui Nasakom. Tahun 1973 umat Islam dikandangkan dalam satu kekuatan partai yaitu PPP, dan lebih sadis lagi di tahun 1982 dimana penerapan asas tunggal, mengancam eksistensi nilai spiritualistas agama dalam pengelolaan negara, tahun 1999 umat muslim mulai bangkit melalui hadirnya Cides, Republika dan BJ Habibie hanya bertahan delapan bulan, demkian pula Gus Dur hanya bertahan 11 bulan.

Setelah Gus Dur tidak ada kekuataan Islam yang menjadi besar, PKB tersandera dalam pragmatisme politik dan menggadaikan spritualitas agama dan nilai khitah 1926. Ancaman nyata terhadap umat Islam semakin keras ketika Joko Widodo menjadi presiden tahun 2014 mulai kriminalisasi, tangkap, aniaya, bunuh terhadap para ulama, kiai, habaib, ustaz, ustazah dan aktivis Islam.

Saya mesti menegaskan adaikan Joko Widodo dimenangkan melalui manipulasi massif, sistemtis dan terstruktur maka apa yang diucapkan oleh Moeldoko telah secara nyata menenggelamkan dan mengkerdilakn peran umat Islam.

Umat Islam tidak akan tinggal diam untuk menentang kezaliman dampknya negara dalam ancaman potensi perpecahan bangsa. Bukan tidak mungkin konflik horizontal suku, agama, ras dan antar golongan dapat mengancam integritas nasional 2019-2024.

Sebagaimana diucapkan oleh Joko Widodo pada saat debat keempat calon presiden tanggal 30 Maret 2019 bahwa, “NKRI bubar bukan karena ancaman negara lain, tetapi labilitas integrasi sosial.”

Dengan kata lain bahwa Indonesia dengan jumlah suku sebanyak 714, berbeda agama, ras, dan golongan adalah ancaman nyata jika negara tidak menjadi perekat.

Belum lagi 73 tahun demokrasi hanya dirancang untuk memenangkan mayoritas suku yaitu “maaf saya sebut; Suku Jawa”.

Kalau Umat Islam dikucilkan dan negara masih menerapkan demokrasi satu orang, satu suara dan satu nilai diganti dengan demokrasi berbasis perwakilan pada Pilpres 2024, maka tinggal tunggu waktu peristiwa tahun 2000 dimana pengusiran suku Jawa di Aceh, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua akan terulang dan akan makin berbahaya. Itu yang negara harus catat.

Skenario State In Emergency dan People Power

Pernyataan “perang dan lawan” yang dikeluarkan oleh Joko Widodo, pernyataan “perang total” oleh Moeldoko, dan beberapa pernyataan Wiranto yang “blunder” tentang ancaman pengenaan pidana terorisme bagi mereka mengajak golput.

Sejak tahun lalu komunitas Islam dianggap sebagai kelompok radikal dan teroris yang mengancam kepentingan nasional, mengancam ideologi Pancasila yang dimunculkan dengan menuduh sejumlah masjid dan kampus terpapar radikalisme yang dimunculkan oleh Badan Intelijen Negara (BIN) yang diucapkan oleh Wawan Purwanto juru bicaranya dapat dipahami sebagai skenario dan framing Indonesia dalam seakan-akan ancaman dan bahaya.

Framing yang dibangun negara tersebut selain mereka menyampaikan ke dunia internasional untuk membangkitkan Islamophobia juga memberi signal adanya Indonesia dalam ancaman demokrasi, hak asasi manusia dan perdamaian.

Pernyataan Amin Rais tentang People Power dan Konfrensi Pers Panglima TNI  hari ini tanggal 18 April 2019 yang mengancam aksi-aksi tuntutan demokrasi sudah bisa menjadi salah satu signal bagi Presiden Joko Widodo berpotensi mengeluarkan pernyataan negara dalam keadaan darurat (state in emergency).

Namun  perlu diketahui bahwa tanpa melalui indikasi pernyataan darurat untuk merespons ancaman people power juga,  Joko Widodo dan kelompok oligarkinya dengan berbagai indikasi di atas sudah bisa ditebak bahwa sedari awal mereka telah menyiapkan kekacauan domestik untuk memuluskan adanya pernyatan darurat (state in emergencies).

Saya menyimak betul apa yang diucapkan oleh Prabowo Subianto sebagaimana diberitahu oleh seorang rekannya bahwa “Prabowo akan terpilih tetapi yang akan dilantik adalah orang lain, bukan Anda”. 

Demokrasi berbicara tentang resultante dari satu orang, satu suara dan satu nilai, demokrasi tidak bisa di bypass oleh perspektif opini, survei, quick count atau media dan pendapat ahli dan ekpresi penguasa.

Pemilihan juga tidak bisa ditentukan para penghitung suara tetapi penghitung suara mengucapkan keinginan rakyat karena rakyat tidak hanya memilih pemimpin Prabowo atau Joko Widodo, tetapi rakyat ikut menentukan arah perjalanan negara untuk lima tahun ke depan.

Perilaku pongah yang dipertontonkan oleh para elit kuasa, oligarki dan komprador telah membawa negara dalam situasi kacau. Dan hari ini ancaman nyata negara dalam keadaan darurat (state in emergency) dan people power makin nyata dan kian jadi.

Sebagai pembela kemanusiaan, demokrasi, perdamaian dan keadilan perlu menegaskan bahwa suasana ketidakpastian dan kerusakan tatanan demokrasi, hak asasi manusia dan perdamaian di negeri ini merupakan tanggungjawan negara (state obligation), bukan rakyat, karena negara harus bertanggungjawadan.

Oleh karena itu, semua berpulang kepada sikap negarawan Ir. Joko Widodo selaku Presiden RI 2014-2019. Kecuali, negara meyakinkan kepada rakyat atas hasil pemilu yang akuntabel. Seandainya tidak, maka tidak ada jaminan Joko Widodo bertahan sampai 2024. Bangsa ini punya pengalaman empat presiden (Sukarno, Suharto, Habibie, Gus Dur) dari 7 Presiden Indonesia pernah diturunkan di tengah jalan.

Saya berharap Indonesia tetap aman dan damai. []

Penulis adalah aktivis pro demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Komisioner Komnas HAM 2012-2017. [rmol]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita