Menghakimi Politik Pasca Kebenaran

Menghakimi Politik Pasca Kebenaran

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

Politik pasca-kebenaran ( _post-truth_) disebut juga politik pasca-fakta adalah budaya politik yang perdebatannya lebih mengutamakan emosi dan keluar dari inti kebijakan. Selain itu, poin topik pidato ditegaskan berkali-kali tanpa mendengarkan balasan yang berbobot. Pascakebenaran berbeda dengan kebiasaan menantang dan mencari kelemahan kebenaran.

Pascakebenaran justru menempatkan kebenaran di posisi kedua. Meski pascakebenaran dianggap sebagai masalah modern, ada kemungkinan bahwa ini sudah lama menjadi bagian dari kehidupan politik, tetapi kurang terkenal sebelum kehadiran Internet. 

Pada tahun 2016, "post-truth" terpilih sebagai Oxford Dictionaries" _Word of the Year,_ karena merebak semasa referendum Brexit dan liputan media mengenai Pilpres A.S.

Perkembangan politik pascakebenaran mulai di perpolitikan Amerika Serikat, Australia, Britania Raya, Cina, India, Jepang, Rusia, Katalunya, Spanyol, dan Turki, serta di berbagai bidang debat karena didorong oleh perpaduan siklus berita 24 jam, keseimbangan palsu dalam laporan berita, dan pemasyarakatan media sosial.

Para pengamat politik di Indonesia yang rata-rata memiliki lembaga survey yang direkomendasi KPU sedang menggunakan frasa "pasca-kebenaran" sebagai tombak penikam paling ampuh untuk menggeser pencapaian yang diperoleh kubu Paslon 02 pasca-Pilpres 17 April 2019 lalu. 

Mereka terhenyak dengan hasil perolehan suara Pilpres bagi Paslon 02 yang hampir mencapai 64 persen. Hal ini tentu "menyakitkan" karena membantai habis prediksi _quick count_ mereka yang menempatkan paslon 01 sebesar sekitar 54 persen dan paslon 02 sekitar 45 persen.

Perspektif politik pasca-kebenaran yang dipakai para pengamat dan pemilik lembaga survey untuk menghajar kubu 02 lebih pada emosi dibanding rasio, kelihatannya berat sebelah. Mereka lupa bahwa di kubu 01, hal yang sama (pengarusutamaan emosi dan repetisi pidato) pun berlaku. Lalu pertanyaannya, apa yang salah dari mereka yang memilih emosi dibanding mereka yang memilih rasio? Lagi pula dengan memilih rasio, dimanakah prestasi petahana yang bisa dirasionalisasikan?

Dalam novel _Nineteen Eighty-Four,_ George Orwell membayangkan sebuah negara yang mengganti catatan sejarah setiap hari agar pas dengan tujuan propaganda saat itu. Hemat saya, penguasaan atas media _mainstream,_ lembaga survey dan semua kekuatan negara, mestinya kubu petahana tidak perlu risau. Penggunaan semua kelengkapan negara saja sudah merupakan bentuk propaganda yang sangat kuat untuk memenangkan pertandingan ini. Namun kenyataannya kubu petahana terkesan berkilah dan bermanuver dengan berbagai dalih, seolah tak percaya dengan hasil yang mereka peroleh. _Last but not least,_ emosionalisasi politik itu wajar dan harus. _So what_ gitu lho !

Ciputat, masih pagi banget 280419

[tsc]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita