Jokowi dan Negeri Tirai Bambu, Dulu Dekat, Mengapa Sekarang Jaga Jarak?

Jokowi dan Negeri Tirai Bambu, Dulu Dekat, Mengapa Sekarang Jaga Jarak?

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Hampir dua tahun lalu, tepatnya di bulan Mei 2017, Presiden RI Joko Widodo atau akrab disapa Jokowi berdiri di samping Presiden China Xi Jinping untuk foto bersama merayakan inisiatif One Belt One Road atau disebut juga Inisiatif Belt And Road yang diusung Xi di Beijing.

Kedua pemimpin negara itu bertemu di sela-sela pertemuan di KTT Internasional Belt and Road Forum di Aula Besar Gedung Rakyat, Beijing.

Mengutip kabar yang dimuat Setkab saat itu, Jokowi menegaskan kembali harapannya agar inisiatif itu dapat semakin memperkuat hubungan ekonomi antara kedua negara.

"Terutama karena Indonesia berfokus pada pengembangan infrastruktur, konektivitas, dan tumpuan maritim,” kata Jokowi pada saat itu.

Namun kini, jelang pemilu presiden di mana Jokowi kembali maju, dia tampak menjauhkan diri dari isu yang berkaitan dengan Beijing dan meremehkan pentingnya proyek-proyek yang didanai China di Indonesia.

CNN dalam artikel yang berjudul China Is Becoming An Election Issue In Asia. And That's Bad News For Beijing (Jumat, 5/4), memuat bahwa hal semacam ini sebenarnya adalah pola yang muncul di Asia Tenggara dan sekitarnya. Investasi dan ikatan China kerap menjadi masalah pemilu yang canggung.

Hubungan Jokowi dengan China sendiri telah menjadi titik serangan utama bagi saingannya, Prabowo Subianto. Prabowo bahkan tidak ragu menggemakan janjinya bahwa jika terpilih, dia akan berupaya untuk mendapatkan kesepakatan yang lebih baik dari Beijing, dan menyerukan peninjauan kembali kebijakan perdagangannya dengan China.

Tidak bisa dipungkiri bahwa isu kedekatan hubungan dengan China merupakan salah satu riak yang muncul jelang pemilu presiden 2019 ini.

"Selama periode kampanye, retorika anti-China telah meningkat," kata analis di Economist Intelligence Unit, Anwita Basu seperti dimuat CNN.

"Komunitas China di Indonesia, yang sebagian besar adalah pemilik dan pedagang bisnis, telah lama menghadapi kebencian dan diskriminasi karena mengendalikan kekayaan dalam jumlah besar," sambungnya.

"Masalah-masalah ini disebut-sebut dan dipopulerkan selama periode pemilu dan tahun ini, (Prabowo) telah menggunakannya sebagai sarana untuk mempertanyakan kesetiaan Jokowi kepada bangsanya sendiri," jelasnya.

China sendiri diketahui merupakan mitra dagang terbesar Indonesia sejauh ini, jika menurut pada data Bank Dunia. Dalam dua bulan pertama tahun 2019 ini saja, perdagangan antara kedua negara bernilai lebih dari 10,4 miliar dolar AS.

Selaib itu, di bawah kepemimpinan Jokowi, Indonesia telah bergabung dengan Bank Investasi Infrastruktur Asia yang dipimpin China dan juga inisiatif Belt And Road China yang didorong Xi. 

Inisiatif ini mendapat kecaman yang semakin meningkat dalam beberapa bulan terakhir, di tengah klaim bahwa inisiatif itu membebani negara-negara miskin dengan hutang dan proyek yang tidak menguntungkan Beijing lebih dari negara tuan rumah.

China telah mendanai proyek-proyek infrastruktur utama di Indonesia, terutama kereta api berkecepatan tinggi senilai 6 miliar dolar AS yang menghubungkan Jakarta dengan kota Bandung.

Proyek itu akan selesai tahun depan. Tapi pembangunannya bukan tanpa kritik karena dugaan pembengkakan anggaran, perencanaan yang buruk dan keterlambatan konstruksi. 

Bukan hanya di Indonesia, investasi China dan dugaan permainan pengaruh juga terjadi di sejumlah negara lainnya.

Coba tengok Malaysia. CNN memuat, investasi China dan dugaan pengaruh memainkan peran dalam pemilihan Malaysia tahun lalu. Pemilu tersebut secara mengejutkan memunculkan Mahathir Mohamad sebagai pemenang. Segera setelah menduduki kursi perdana menteri, salah satu langkah yang diambil Mahathir adalah menindaklanjuti janji untuk meninjau kerjasama dengan Beijing yang dijalin erat di masa pemerintahan Najib Razak serta bertindak lebih keras terhadap Beijing.

Maladewa bisa menjadi contoh lain. Selama pemilu di Maladewa tahun lalu, petahana Abdulla Yameen berulang kali diserang karena hubungannya yang dekat dengan Beijing. Pada Januari 2018, mantan Presiden Mohamed Nasheed menuduh Yameen mengizinkan China melakukan "perampasan tanah" di negara itu. 

Namun, setelah Yameen kalah dan Partai Demokrat Maladewa berkuasa, partai itu berjanji untuk mengakhiri "kolonialisme China" dan menegosiasikan kembali pinjaman dengan Beijing.

Sementara itu, negara lain, seperti Myanmar, telah mengurangi proyek-proyek inisiatif Belt And Road China di tengah kekhawatiran atas utang dan keberlanjutannya.

Di luar Asia, Kenya bisa jadi contoh berbeda. Presiden Kenya Uhuru Kenyatta menghadapi klaim bahwa pelabuhan utama di Mombasa berisiko direbut oleh Beijing karena hutang yang belum dibayar. Bukan tanpa alasan, kekhawatiran muncul setelah tindakan nyata China untuk mengambil alih pelabuhan Hambantota di Sri Lanka, setelah negara itu tidak dapat membayar kembali miliaran dolar yang terhutang kepada Beijing.

Sementara itu, China sendiri dengan keras mendorong kembali kritik semacam itu dan menilai bahwa penilaian seperti itu adalah standar ganda.

"Tidak masuk akal bahwa uang yang keluar dari negara-negara Barat dipuji sebagai baik dan manis, sementara keluar dari China itu jahat dan perangkap," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Hua Chunying pada bulan September lalu. 

Analis Economist Intelligence Unit, Anwita Basu memperkirakan bahwa banyak negara akan tetap berhati-hati mengenai kurangnya transparansi dalam hal pendanaan yang ditawarkan oleh inisiatif Belt And Road China. [rm]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita