Angka di Situng Dinilai Janggal, Pakar IT Rekomendasi Audit Sistem KPU

Angka di Situng Dinilai Janggal, Pakar IT Rekomendasi Audit Sistem KPU

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Pembaruan data pada Sistem Informasi Perhitungan Suara (Situng) KPU menimbulkan kecurigaan dan ketidakpastian di masyarakat. Itu lantaran adanya dugaan bahwa Situng KPU ingin menyelaraskan data perolehan suara yang masuk dengan hasil quick count (hitung cepat) lembaga-lembaga survei.

KPU terkesan ingin “bermain” di angka psikologis lembaga-lembaga survei pada posisi 54-55 persen untuk pasangan capres-cawapres nomor urut 01, Jokowi-Ma’ruf, dan; 44-45 persen untuk pasangan capres-cawapres nomor urut 02, Prabowo-Sandi. Data yang masuk ke Situng KPU sejauh ini pun seolah-olah diprioritaskan dari kantong-kantong paslon 01 seperti Jawa Timur dan Jawa Tengah. Padahal, ada beberapa situs atau aplikasi pemantau pemilu yang menunjukkan angka penghitungan yang berbeda.

Pakar teknologi informasi (IT) dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Moenawar menyatakan, kecurigaan di tengah masyarakat wajar terjadi mengingat berbagai dinamika dan situasi yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah Pemilu 2019. Terlebih lagi, saat ini banyak situs pemantau pemilu yang bisa diakses sebagai pembanding.

“Apalagi dengan banyaknya salah input data rekap C1 ke Situng oleh petugas KPU, tapi diklaim oleh KPU hanya sembilan (kasus) saja. Ini kian menambah kecurigaan masyarakat,” kata Moenawar kepada Indonesia Inside, saat dihubungi di Jakarta, Selasa (23/4).

Dalam situasi seperti ini, menurut dia, presiden harus bisa menenangkan masyarakat dan meminta untuk menunggu keputusan akhir dari hasil hitung manual KPU. Akan tetapi, pesan tersebut tidak tersampaikan, mengingat presiden saat ini juga sekaligus capres. Presiden justru lebih banyak melakukan selebrasi dengan deklarasi kemenangan.

“Alternatif yang paling elegan adalah melakukan audit atas sistem KPU. Dengan cara ini, sebenarnya bisa menaikkan kembali kepercayaan publik terhadap KPU yang mulai jatuh,” tuturnya.

Melalui audit tersebut, kata Moenawar, masyarakat akan bisa terlihat secara transparan apa yang sebenarnya terjadi. Hasil audit itu juga akan menjawab dugaan ketidaknetralan KPU yang disuarakan rakyat–antara lain lewat maraknya tagar #KPUJanganCurang. Hasil audit sistem KPU juga bisa mengklarifikasi secara tuntas kesalahan input data bertubi-tubi yang terjadi selama ini.

“Kalau audit ini tidak juga dilakukan oleh KPU, berarti harus masyarakat sendiri yang mengawasi kinerja KPU. Laporkan jika ada kejanggalan. Pantau progresnya,” ujar Moenawar.

“Kalau perlu, viralkan di medsos. Disadari atau tidak, ternyata medsos bisa menjadi penyeimbang atas media mainstream,” ucapnya.

Moenawar berpendapat, banyaknya data yang masuk memang tidak memungkinkan proses input di KPU berjalan cepat. Karenanya, wajar jika kemudian terjadi perbedaan hasil penghitungan suara antara KPU dan sejumlah lembaga pemantau pemilu yang mengumpulkan data melalui para relawan mereka.

“Kalau sudah mencapai 50 persen ke atas, baru bisa dilihat bersama apakah tuduhan (kecurigaan) tersebut benar atau tidak,” kata dia.

Moenawar menyarankan, KPU juga dapat memberikan reward atau insentif kepada para petugas yang punya kinerja bagus, yakni mereka yang mampu memasukkan data terbanyak dan akurat. Dengan begitu, daerah-daerah yang lain akan terpacu untuk segera menginput data secepat mungkin. [ins]

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA