BPN Nilai Wiranto Manfaatkan Momen Pemilu Lewat Cerita '98

BPN Nilai Wiranto Manfaatkan Momen Pemilu Lewat Cerita '98

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menyoroti cerita Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto tentang situasi 1998. Menurut kubu Prabowo, Wiranto memanfaatkan momentum menjelang Pemilu 2019 lewat cerita soal '98.

"Mungkin sudah kehabisan ide menurunkan elektabilitas Pak Prabowo sehingga dagangan yang sudah basi dikorek lagi," kata anggota Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Fadli Zon, kepada wartawan, Kamis (28/3/2019).

Fadli menilai cerita Wiranto seperti dagangan politik yang sudah tidak laku. Dia juga menyoroti peranan Wiranto sebagai Panglima ABRI saat peristiwa 1998 berlangsung. Saat itu, 14 Mei 1998, Wiranto disebutnya justru mengajak para jenderal pergi ke Malang untuk mengikuti acara pemindahan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) dari Divisi I ke Divisi II Kostrad. Padahal situasi di Jakarta sedang sangat butuh perhatian.

"Pak Wiranto adalah orang yang harus paling bertanggung jawab (soal kondisi pada saat itu). Dia Panglima ABRI waktu itu, tapi dia justru bawa jenderal-jenderal pergi ke Malang untuk acara yang tidak penting," kata Fadli.

Namun Wiranto menyatakan dia tidak memanfaatkan kesempatan dengan mengambil alih kekuasaan saat 1998 karena ia cinta kepada negara dan tidak ingin terjadi perang saudara. Soal peluang dan keputusan Wiranto saat itu, Fadli menilai Wiranto sedang berandai-andai. 

"Kita juga bisa berandai-andai jadi Raja Majapahit," ucap Fadli.

Juru bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, Andre Rosiade, menilai Wiranto ingin membangun cerita yang mengesankan seolah-olah Prabowo hanyalah kekuatan kecil ketimbang Wiranto saat 1998. Narasi ini diutarakan Wiranto, menurut Andre, pada momen menjelang Pilpres 2019 ini.

"Saya rasa Pak Wiranto mengatakan cerita ini karena ini momentum Pemilu saja, untuk mengatakan seakan-akan dia lebih besar ketimbang Prabowo," kata Andre. "Juga untuk menutupi blunder besar soal hoax bisa dijerat dengan Undang-Undang Terorisme," sambungnya merujuk pada wacana Wiranto.

Menurut Andre, yang punya peluang mengambil alih kekuasaan sesungguhnya adalah Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Letjen Prabowo Subianto yang kini menjadi capres. Namun Prabowo tidak mengambil kesempatan itu. Sedangkan Wiranto, Andre menilai, Panglima ABRI saat itu tidak memegang pasukan secara langsung.

"Pak Wiranto dulu Panglima ABRI, tapi kalau mengambil alih kekuasaan tidak akan berhasil karena tidak memegang pasukan saat itu. Yang memegang pasukan adalah Pak Prabowo, memegang 33 sampai 34 batalion, itu namanya Pak Prabowo," kata Andre.

Sebelumnya, Wiranto berbicara dalam seminar nasional Forum Nasional Mahasiswa Anti-Penyalahgunaan Narkoba 2019 di Auditorium Harun Nasution, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jalan Ir Juanda, Ciputat, Tangerang Selatan, Kamis (28/3) kemarin. Wiranto menyampaikan bahwa dia menjabat Menteri Pertahanan dan Panglima ABRI (Menhankam-Pangab) pada 1998. Namun dia tak menggunakan kesempatan mengambil alih kekuasaan saat itu meski situasi memungkinkan. Sebab, bila itu dilakukan, akan banyak nyawa yang dikorbankan, perang saudara bisa terjadi. 

"Kalau saya gila kekuasaan, seperti di Thailand, langsung ambil alih saja, umumkan darurat militer, ambil alih, saya sudah jadi presiden waktu itu. Tetapi waktu saya bertanya pada staf saya, kalau saya ambil alih, gedung DPR MPR kita bersihkan dari mahasiswa yang mati berapa kira-kira? Asisten intelijen saya bilang, 'Pak kira-kira 200 mahasiswa mati'. Waduh, mahal sekali harganya. Setelah itu pasti akan ada perang saudara. Makanya tidak diambil alih," beber Wiranto di forum seminar itu.[dtk]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita