Bencana Komunikasi Petahana Jilid 2: “Saya Akan Lawan”

Bencana Komunikasi Petahana Jilid 2: “Saya Akan Lawan”

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

“KALAU ada yang datang suka menyebutkan saya, saya, saya kasih tahu sama dia, Pak kalau yang suka ngomong saya itu ada empat. Yang pertama, Setan, kedua Firaun, ketiga Qorun dan yang kempat adalah Bapak”(UAS: Ustad Abdul Somad)

Kutipan tausyiah sang ustad sejuta umat di atas yang nyaris dinobatkan menjadi cawapres mendampingi Prabowo Subianto sangat viral. Dan itu luar biasa dalam perspektif ilmu komunikasi politik dampaknya membuka kotak pandora masyarakat kita yang masih patuh pada ulama. 

Tak berhenti sampai UAS, kaum intelektual seperti Rocky Gerung pun sampai pada kesimpulan bahwa kampanye slogan model tersebut adalah cara berpikir dungu. 

Syahdan, peristiwa komunikasi yang bisa dikatakan bencana komunikasi semua ini  berawal dari slogan, Saya Jokowi, Saya Indonesia, Saya Pancasila di tahun 2017. Slogan yang diprakarsai ayahnya Sherina Munaf, Triawan selaku Kepala Badan Ekonomi Kreatif  ini dalam rangka memperingati  Hari Lahir Pancasila dan Pekan Pancasila yang dimulai sejak 29 Mei sampai 4 Juni 2017.

Inilah bencana komunikasi jilid pertama petahana.

Bencana Komunikasi Petahana Jilid 2: Saya akan Lawan

Kritik atas kampanye slogan petahana di tahun 2017 begitu luas protes dari warganet baik dari kalangan akademisi maupun politisi sekaliber Anies Baswedan yang saat itu sudah sebagai gubernur terpilih, sarannya menggunakan kata 'Kita' agar ada nuansa persatuannya. 

Namun nasi sudah menjadi bubur. Petahana tidak pernah mendengar aspirasi keberatan berbagai pihak dari slogan itu hingga menuai badai kritik di media sosial hingga seorang UAS ikut bereaksi walau tentu UAS memakai satire cerdas dalam setiap tausiahnya tidak menyebut person.

Slogan tetap bergulir karena ada sebagian kelompok menggunakan slogan tersebut sebagai pembatas kelompok satu dengan kelompok masyarakat lainnya. Yaitu para pendukung fanatik Basuki Tjahja Purnama alias Ahok yang gagal di pemilihan gubernur DKI Jakarta dan bersamaan sedang dirundung kasus hukum. 

Spirit pemerintahan yang maksudnya baik namun menjadi blunder dipakai kepentingan politik tertentu di lingakaran terdekat petahana.

Dalam kaedah komunikasi politik, memahami perilaku komunikasi politik petahana dengan meminjam logika John Dewey, bahwa manusia paling baik dipahami dalam kaitannya dengan lingkungannya (lih;Herbert Blumer;1996). 

Petahana sangat disayangkan tidak bisa lepas dari bayang bayang Ahok dan ahokers sebagai kepala negara yang harusnya merangkul semua pihak.

Slogan 'Saya' bukan saja menjadi terbelahnya masyarakat namun mengarah pada semakin buruknya gaya komunikasi petahana di kemudian hari di saat pemilihan presiden dewasa ini sebagai petahana tentu unik jika memposisikan sebagai orang yang sedang ditindas. 

Bencana komunikasi jilid 2 klimaksnya ia ucapkan kembali dalam suatu orasi di hadapan para pendukungnya di Jogjakarta, (23/03/2019), petahana berujar,-Saya Akan Lawan- publik kritis di Indonesia bertanya tanya ada apa dengan petahana? Warganet pun sejurus kemudian bereaksi, siapa yang mau dilawan? Rakyat? 

Sebagai komunikator kian hari petahana tidak membuat suasana politik nasional menjadi sejuk tapi mengarah pada liarnya spekulasi. Menggerus emosi masing masing pihak yang kondisinya ia ciptakan sendiri.  

Kesan kuat petahana masih dalam bayang bayang lingkaran Ahok dan ahoker terbaca  ketika membuat blunder dengan mengklaim proyek MRT adalah keputusan politiknya dengan Ahok. 

Kenapa blunder? karena jejak digital pun ada bahwasanya saksi saksi gubernur sebelumnya masih hidup bahwa itu adalah sebuah kebijakan sejak Fauzi Bowo, berlanjut ke Sutiyoso, Jokowi, Ahok hingga diresmikan di era Anies Baswedan. Over klaim petahana bukan dalam proyek MRT masih banyak contoh lainnya. 

Sebuah policy dalam teori kebijakan publik ada istilah policy making process, yang tidak bisa diklaim begitu saja.

Akhirulkallam, sebagai pemimpin politik keseluruhan aktivitas petahana adalah komunikasi. Perlu ada pihak pihak lingkungan terdekatnya, ada Rhenald Kasali sebagai team suksesnya bisa memberi pemahaman dampak komunikasi provokatif. 

Seberapa provokatif bisa dibuat audit. Ada banyak temuan jika dilakukan audit mini dalam sisa waktu yang ada karena untuk audit komunikasi keseluruhan tidak mungkin karena tinggal hitungan hari. Audit Komunikasi keseluruhan memakan waktu kurang lebih enam bulan (Andre Harjana;Audit Komunikasi,2000). []

Soemantri Rio Hassan
Analis Politik dan Kebijakan Publik Institut Dialektika Madani  . [rmol]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita