Prabowo Bertemu Jenderal Amerika, Ada Apa?

Prabowo Bertemu Jenderal Amerika, Ada Apa?

Gelora News
facebook twitter whatsapp


Oleh: Andang Burhanuddin*

JUMAT (22/2) kemarin ada peristiwa penting yang sedikit luput dari perhatian media. Capres Prabowo Subianto bertemu dengan dua orang pensiunan jenderal dari manca negara di padepokannya di kaki Bukit Hambalang, Bogor.

Yang pertama adalah seorang jenderal dari negeri tetangga Muhammed Izumi Bin Muhammad. Dia mantan Panglima Angkatan Darat Malaysia. Seperti Prabowo, Izumi juga mantan komandan pasukan khusus Malaysia, Pasukan Gerak Khas.

Jenderal yang kedua Wesley Clark dari AS. Dia adalah mantan Panglima Pasukan Gabungan NATO di Kosovo (1997-2000). Lulusan Akademi Militer West Point (1966) ini bukan orang biasa. Dia jagoan tempur dan pernah empat kali terluka di perang Vietnam.

Pemilik gelar sarjana bidang filsafat, ekonomi, dan politik Oxford University ini setelah pensiun bergabung dengan Partai Demokrat. Dia pernah maju sebagai capres pada konvensi Partai Demokrat (2003). Memenangkan konvensi di negara bagian Oklahoma, Clark mundur untuk  mendukung John Kerry, sesama veteran Perang Vietnam.

Pada konvensi Partai Demkrat (2008) Clark kembali menjadi kandidat potensial capres. Namun dia memilih mendukung Hillary. Setelah itu dia mendukung Obama.

Clark seperti Prabowo juga aktif berbisnis. Dia tercatat menjadi Board of Director NBK Petroleum. Bisnis perusahaannya membentang di sejumlah negara.

Baik Izumi maupun Clark hadir sebagai undangan Prabowo untuk memberikan ceramah di hadapan Civitas Akademika Universitas Kebangsaan Republik Indonesia (UKRI). Universitas ini didirikan Prabowo  berlokasi di Bandung, Jabar. Kampus kedua rencananya akan dibangun di padepokannya Hambalang.

Sebagai sahabat keduanya mengaku hadir diundang untuk berceramah. Undangan yang menurut mereka tak mungkin ditolak karena kedekatan persahabatan di antara mereka. Khusus hadirnya Clark, sulit untuk tidak melihatnya dari perspektif politik. Apalagi saat ini sedang masa kampanye pilpres.

Dalam konteks geo politik global, pilpres di Indonesia tidak bisa dilepaskan begitu saja dari tarik menarik kepentingan politik negara-negara adidaya dunia.

Mengingat posisi Indonesia yang sangat strategis di ASEAN, dua kekuatan besar dunia, Cina dan AS  pasti sangat berkepentingan. Cina saat ini menjadi negara terbesar ketiga yang menanamkan ivestasinya di Indonesia, setelah Jepang dan Singapura. 

Namun Cina juga mempunyai banyak proyek, terutama bidang tambang dan infrastruktur. Jumlah tenaga kerja Cina di Indonesia juga terbesar. Banyaknya tenaga kerja asal Cina merupakan isu sensitif yang bisa membahayakan Jokowi. Banyak muncul kemarahan rakyat paa isu ini.

Pemerintahan Jokowi saat ini juga dilihat lebih condong ke Cina. Menko Maritim Luhut Panjaitan mengatakan hubungan dengan Cina sedang sangat mesra-mesranya. 

Hadirnya Cina dipastikan tidak luput dari perhatian dan pengamatan AS. Negara tirai bambu ini menjadi lawan potensial baru AS era Perang Dingin pasca bubarnya Uni Soviet. AS berkepentingan yang muncul sebagai pemenang pilpres di Indonesia  adalah kandidat  yang lebih bersahabat dengan mereka.

Prabowo dalam berbagai kesempatan pernah menyampaikan pentingnya menjaga hubungan dengan negara-negara sahabat seperti AS. Apalagi pada masa kemerdekaan AS menyokong Indonesia. Pernyataan Prabowo ini bisa ditafsirkan sebagai signal politik.

Signal-signal politik semacam itu sangat penting. Prabowo sebelumnya diundang bertemu dengan PM Singapura Lee Hsien Loong dalam suasana formal seperti seorang kepala pemerintahan. Prabowo berada di Singapura untuk berbicara dalam forum CEO Global yang digelar oleh Majalah The Economist.

Singapura sudah lama dipahami jadi semacam kepanjangan tangan dari AS di Asia Tenggara. Banyak kepentingan AS yang diperankan oleh Singapura.

Pada awal bulan Desember 2018, beberapa hari setelah Presiden Bush Sr meninggal dunia, Prabowo kabarnya juga diundang bertemu Duta Besar AS di Jakarta. Sebagai cover pertemuan Prabowo menyampaikan bela sungkawa atas wafatnya Bush Sr. 

Pertemuan tersebut tidak muncul di media. Agaknya Kedubes AS sengaja menutupnya untuk menjaga tata krama diplomasi karena Prabowo saat ini bersaing melawan inkumben. 

Kalau toh benar pertemuan dengan Izumi dan Clark hanya dalam konteks persahabatan lama, dari sisi Prabowo seharusnya pertemuan tersebut dipublikasikan secara luas. Isu ini seharusnya dikapitalisasi.

Kualitas pergaulan Prabowo di dunia internasional bisa menjadi faktor pembeda dengan kompetitornya. Selama masa pemerintahannya Jokowi terkesan banyak menghindari forum-forum internasional. 

Dalam 4 tahun terakhir Jokowi tak pernah hadir dalam Sidang Umum PBB. Dia selalu diwakili oleh Wapres Jusuf Kalla. Jokowi juga kembali tidak hadir dalam pertemuan negara-negara G-20 di Argentina (27/11).

Faktor Jokowi yang tidak cukup percaya diri hadir dalam forum-forum internasional menjadi penyebab mundurnya peran Indonesia secara global, maupun regional. Indonesia bukan lagi big brother di ASEAN. Kalah dengan Malaysia dan Singapura.

Dengan jejaring pergaulannya yang sangat luas di dunia internasional,  seharusnya Prabowo bisa meyakinkan publik dia lebih layak dipilih. Sangat pantas  jika dia sering gembar gembor ingin mengembalikan Indonesia sebagai salah satu macan Asia.

Satu hal lagi yang tak kalah pentingnya, kehadiran Clark bisa menghapus stigma yang selama ini coba disematkan bahwa Prabowo pelanggar HAM. Tidak mungkin seorang jenderal AS dengan posisi dan akses kekuasaan tinggi mau bersahabat dengan seorang pelanggar HAM. 

Clark pernah menjadi saksi dalam pengadilan HAM PBB atas kejahatan perang yang dilakukan para pemimpin Yugoslavia. Kejahatan HAM adalah isu yang sangat sensitif di AS.

Status Prabowo jelas berbeda dengan Menko Polhukam Jenderal Wiranto salah satu pendukung Presiden Jokowi. Wiranto telah ditetapkan oleh PBB sebagai pelaku pelanggaran HAM berat di Timtim pada tahun 2009. []

*) Pemerhati Kebijakan Publik 

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA