Habis Debat, Bebaslah Ustad

Habis Debat, Bebaslah Ustad

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Debat perdana capres cawapres yang digelar pada Kamis, (17/01) lalu i Hotel Bidakara, Jakarta Selatan telah digelar. Adu 'hebat' pun terjadi antara kedua paslon. Masing-masing dengan jurus khasnya. Namun, diakhir itu banyak juga suara kritikan yang menilai acara tersebut kurang greget dan jauh dari adu gagasan.

Pihak yang paling bertanggung jawab atas kekecawaan publik pada debat capres dan cawapres tentu saja ada di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ketua KPU RI Arief Budiman mengakui lembaganya menerima banyak kritikan dan saran usai penyelenggaraan debat bertema politik, Hukum dan HAM.

“Pasti tidak mampu memuaskan semuanya, dari sisi penyelenggara maupun dari sisi kandidat,” kata Arief, di Kantor KPU, Jakarta Pusat, Jumat (18/1). 

Terutama soal kisi-kisi yang lebih dulu diberikan kepada dua paslon sepekan sebelum pelaksanaan. Sebanyak 20 soal yang telah disusun tim panelis diberikan kepada paslon, meskipun saat debat paslon tak mengetahui pertanyaan mana yang akan ditanyakan moderator. 

Kepada JawaPos.com,  Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem) Titi Anggraeni menuturkan, akibat kisi-kisi pertanyaan itu, kedua paslon terpaku pada kertas sontekan yang mereka letakkan di meja masing-masing. 

Bahkan, kedua paslon terlalu terpaku pada jawaban yang telah mereka hafalkan sebelum debat dimulai. Apalagi anehnya, ketika moderator bilang amplopnya disegel, padahal mereka [paslon] sudah tahu apa pertanyaannya.

"Semakin ironi lagi, ketika sudah dapat pertanyaannya, jawabnya masih baca,” kata Titi.Menurut Titi waktu yang singkat ini juga menjadi persoalan bagi paslon untuk menyampaikan program-program terkait tema-tema yang dianggap krusial itu. Empat tema itu terlalu besar untuk waktu 90 menit itu. Akhirnya mereka seperti marathon.

"Serba tergesa-gesa, alih-alih bisa mengkristalisasi persoalan, dua paslon justru lebih memilih ke zona aman,” kata Titi. 

Bahkan, The Sydney Morning Herald dalam analisanyta menyebut, kedua calon presiden dan calon wakil presiden tampak seperti robot dan jawaban yang diberikan sepertinya sangat diperhitungkan karena tidak mau mengambil risiko.

Berkaitan dengan itu, komentator harian itu juga mengkritik sistem debat, di mana para calon sudah mendapatkan kisi-kisi semua pertanyaan seminggu sebelum debat, sehingga sudah dapat mempersiapkan diri. Namun demikian, rakyat yang menonton debat tidak mendapat informasi lebih banyak dari jawaban para calon.

Sydney Morning Herald menyimpulkan, Debat berakhir tanpa adanya gagasan besar yang baru dari para calon, dan hanya ada sedikit informasi baru tentang kebijakan yang mungkin akan mereka tempuh, jika menang.

Oleh sebab itu juga, kedua calon presiden tidak mendapat inspirasi untuk memberikan komentar positif tentang saingannya, ketika diberi kesempatan. Harian Australia itu juga menyinggung, ini mungkin kesempatan terakhir bagi Prabowo Subianto untuk bisa meraih kursi presiden.

Media Singapura, The Straits Times menilai, isu-isu yang jadi topik utama debat adalah isu-isu penting yang tepat untuk diangkat. Tetapi sayangnya kedua kubu tidak memberikan rincian lebih banyak ketika menjawab pertanyaan, sebaliknya hanya memberikan jawaban secara umum.

Sydney Morning Heral juga mengomentari Ma'ruf Amin yang katanya perlu waktu hampir satu jam sebelum mulai berbicara untuk menjawab pertanyaan dari panelis.

Namun, Komisioner KPU Wahyu Setiawan mengklaim, debat Pilpres putaran pertama lebih hidup dibanding pada Pilpres 2014 lalu. ‎Menurut Wahyu, dalam debat perdana kemarin sudah ada dialektika antar dua paslon capres-cawapres.

"Dalam beberapa pencapaian, kita merasa dibandingkan dengan debat 2014 ‎yang lalu, ini lebih hidup. Ini diakui oleh banyak pihak. Karena debatnya itu di ronde awal sudah debat," kata Wahyu di D'Hotel, Setia Budi, Jakarta Selatan, Minggu (20/1).

Kendati demikian, Wahyu mengakui masih banyak kekurangan pada debat perdana Pilpres 2019. Itu diakuinya setelah KPU melakukan evaluasi serta adanya kritik pasca-debat perdana digelar.

"Hasil evaluasi kami, kami menyadari bahwa debat pertama belum sepenuhnya, artinya sudah ada yang terpenuhi tapi tidak sepenuhnya harapan publik itu terpenuhi," ucapnya.

Wahyu mengatakan, pihaknya terbuka jika ada kritikan-kritikan pada proses debat perdana. ‎Sejauh ini, pihaknya telah menerima berbagai masukan untuk nantinya dijadikan acuan pada debat kedua.

"Kami KPU akan melakukan evaluasi dan ini sudah kami lakukan setiap debat. Jadi debat pertama kita evaluasi untuk ebat kedua, debat kedua pun kita evaluasi untuk debat ketiga. ‎Demikian seterusnya," jelasnya.

Debat Pilpres 2019 putaran kedua sendiri rencananya akan digelar pada 17 Februari 2019, mendatang. Debat kedua yang mengangkat temaenergi, pangan, sumber daya alam dan lingkungan hidup hanya akan diikuti dua pasang capres yakni Jokowi dan Prabowo.

Wahyu juga menuturkan, ada perubahan dalam debat pilpres 2019 putaran kedua dengan tidak lagi memberikan kisi-kisi. Hal ini dilakukan agar kedua pasangan calon menjawab secara spontan.

"Kisi-kisi tidak akan kami berikan dalam debat kandidat selanjutnya," kata Wahyu.

Karena itu, Wahyu meminta masyarakat dalam menilai debat harus bisa membedakan soal pelaksanaan terkait penyelenggara dan performa pasangan calon.

Jika debat perdana disebut tidak menarik karena kisi-kisi dari KPU, dikatakan Wahyu, maka dalam debat selanjutnya diharapkan ada perubahan.

"Jika ternyata setelah seperti itu (tanpa kisi-kisi) paslon tidak dapat menjelaskan gagasan-gagasan untuk lima tahun ke depan, maka kritiknya harus berbeda," ucapnya.

Dia berharap, jika debat selanjutnya masih belum maksimal apa yang disampaikan paslon tentu yang bermasalah bukanlah KPU sebagai penggelenggara. "Kalau paslon yang performanya kurang baik, maka kritiknya jangan kepada KPU," jelasnya.

Sementara itu, bagi Cawapres nomor urut 2 Sandiaga Uno, debat memang tidak harus panas. Dia menganggap, debat perdana itu adalah ajang saling memahami visi misi masing-masing paslon.

"Enggak perlu panas. Yang penting, debatnya berjalan lancar dan perlu ada evaluasi untuk perbaikan kedepan," kata Sandiaga di Kenjeran, Surabaya, Sabtu (19/1).

Sandiaga ingin debat Capres Cawapres berikutnya yang didesain lebih sederhana. Misalnya, tidak perlu mengundang banyak orang. Apalagi mengundang banyak pendukung.

Untuk itu, dirinya berharap debat berikutnya, lebih mendorong masyarakat untuk menonton di rumah. Bukan malah mengundang para pendukung, menonton langsung acara debat di lokasi.

"Dibikin senyaman mungkin dan difokuskan (bagi penonton) untuk menonton di rumah. Karena debat kemarin itu, bukan di studio, tapi di auditorium. Nanti kami sampaikan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU)," kata Sandiaga.

Ditanya soal materi debat, Sandiaga menyatakan, dirinya setuju jika KPU tidak memberikan kisi-kisi. Menurutnya, pembahasan materi debat yang lebih mendalam akan dapat dihadirkan jika tanpa kisi-kisi.

"Saya sangat setuju. Karena akan membuat pembahasan, lebih mendalam atas tiap topik. Sehingga, tiap paslon akan bicara apa yang di hati dan pikiran mereka," katanya.

Debat perdana pun usai, giliran timses dan pengamat yang berdebat membicarakan jagonya, namun tiba-tiba publik dikejutkan dengan pembebasan tahanan teroris Ustad Abu Bakar Ba'asyir dari tahanan. 

Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Ujang Komarudin mengatakan, ‎pemberian grasi kepada Pimpinan Jamaah Ansharut Tauhid Abu Bakar Baasyir‎ merupakan kewenangan seorang kepala negara. Meski begitu, Ujang menilai, pemberian grasi tersebut bakal memberikan keuntungan untuk Joko Widodo (Jokowi) yang saat ini tengah bertarung di pilpres 2019.

Hal itu dikarenakan, selama ini Jokowi diserang dengan stigma anti-Islam. Terlebih lagi, kata Ujang, Jokowi terlihat kerap berseberangan dengan kelompok Islam garis keras. Maka dari itu, secara politik, pembebasan Ba'asyir akan membangun citra baik bagi Jokowi.

"Kalau disebut pencitraan itu hal wajar. ‎Ini menguntungkan Pak Jokowi. Karena stigma anti-Islam harus hilang. Ini keputusan yang tepat dalam politik yang dilakukan Jokowi‎," ujar Ujang kepada JawaPos.com, Sabtu (19/1).

Ujang menambahkan, keuntungan yang didapatkan Jokowi ini lantaran pembebasan Ba'asyir berdekatan dengan pilpres 2019. "Nah, dalam kontes ini, yang menguntungkan Jokowi karena di saat yang sama sedang terjadi pertarungan pilpres," katanya.

Namun demikian, kata Ujang, Jokowi juga harus menyadari ada pihak-pihak yang tidak setuju dengan keputusannya ini. Karena di satu sisi ada keluarga korban terorisme yang menentang langkah yang dilakukan pria asal Surakarta ini.

"Pasti akan ada yang tidak setuju dan pro-kontra. Setiap kebijakan Jokowi kemungkinan berdampak politik. Jika ada korban tidak sepakat, itu hak korban, dan bisa gugat Jokowi," katanya.

Meski begitu, Ujang memahami bahwa keputusan Jokowi ini atas dasar faktor kemanusiaan. Ba'asyir sudah tua dan di dalam bui ia sering keluar masuk rumah sakit karena penyakit yang dideritanya.

"Pertimbangannya mungkin usianya tua, dan sakit-sakitan. Artinya sebagai manusia masa mau dipenjara terus‎," katanya.

Di sisi lain ‎Ba'asyir juga telah menjalani dua pertiga dari masa kurungan. Hal ini merujuk pada Undang-undang Nomor 12/1995 tentang Pemasyarakatan, yang isinya adalah pembebasan bersyarat bisa diberikan kepada narapidana yang telah menjalani masa hukuman sekurang-kurangnya dua pertiga dari masa pidananya.

Sementara Ba'asyir sendiri divonis 15 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada bulan Juni 2011. Sekadar informasi, Pimpinan Jamaah Ansharut Tauhid Abu Bakar Ba'asyir dikabarkan akan bebas pada Kamis, 24 Januari 2019. Narapidana tindak pidana terorisme yang sebelumnya divonis 15 tahun penjara ini dibebaskan oleh Presiden Jokowi, dengan alasan kemanusiaan.

Kabar ini disampaikan oleh penasihat hukum Jokowi-Ma'ruf Amin, Yusril Izha Mahendra, ketika mengunjungi Lapas Gunung Sindur, tempat Ba'asyir ditahan. "Hari ini saya ingin menyampaikan maksud dari Presiden Jokowi yang ingin membebaskan Abu Bakar Ba'asyir," kata Yusril.

Ba'asyir yang kini berusia 80 tahun divonis 15 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dalam sidang yang digelar Juni 2011. Ba'asyir dinyatakan terbukti merencanakan dan menggalang dana untuk pembiayaan pelatihan militer kelompok teroris yang mengadakan latihan bersenjata di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.

Jelang pembebasan tanpa Syarat Ustad Abu Bakar Ba'asyir tersiar kabar bahwa terpidana kasus terorisme itu disebut tidak mau menandatangani janji setia kepada Pancasila. Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto pun angkat bicara soal kabar tersebut.

Anak buah Megawati itu menegaskan, Pancasila dan NKRI merupakan harga mati bagi seluruh warga Indonesia. Tidak boleh ada satupun yang lepas dari ideologi negara tersebut.

"Setiap wagra negara Indonesia wajib untuk setia pada Pancasila dan NKRI. Jadi kami sangat kokoh di dalam menjalankan perintah konstitusi itu," ujar Hasto di kantor DPC PDIP Jakarta Timur, Minggu (20/1).

Karena itu, Hasto meminta siapapun yang tidak berkomitmen dengan Pancasila untuk mencari status warga negara baru di luar Indonesia.  "Sekiranya tidak mau punya komitmen yang kuat tehadap NKRI sebagai kewajiban warga negara, ya dipersilakan untuk jadi warga negara lain," imbuhnya.

Oleh karena itu, Hasto meminta agar Ba'asyir mau menandatangi janji setia kepada Pancasila. Selain itu PDI Perjuangan tetap komitmen mendukung keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) membebaskan terpidana terorisme itu. 

"Mereka yang tidak setia berarti tidak mengikatkan diri kepada bangsa Indonesia, maka dipersilakan untuk menjadi warga negara lain," tegas Hasto.

Di sisi lain, anak buah Megawati Soekarnoputri itu menekankan, jika keputusan pembebasan Ba'asyir tidak berhubungan dengan politik. Sepenuhnya murni atas pertimbangan kemanusiaan.

"Tetapi prinsip kemanusian tidak boleh melanggar konstitusi, karena itulah terkait dengan Pancasila juga NKRI dan itu tidak bisa ditawar," pungkas Hasto.

Diketahui, Ba'asyir dijebloskan ke penjara di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Jaksa penuntut umum kala itu mengatakan Ba'asyir memberikan dukungan penting bagi kamp pelatihan jihad yang ditemukan pada awal 2010 di Aceh. 

Tepat pada 16 Juni 2011, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pun memvonis Ba'asyir 15 tahun penjara karena terbukti mendukung kelompok terorisme di Aceh. Berdasarkan putusan tersebut, Ba'asyir seharusnya bebas pada 24 Desember 2023 mendatang. 

Tak hanya di Era SBY ia ditahan. Pada 1983 pada saat orde baru masih berkuasa Abu Bakar Ba’asyir juga pernah ditangkap bersama dengan Abdullah Sungkar. Keduanya ditangkap karena menolak asas Pancasila. Bahkan, dikabarkan melakukan pelarangan pada santrinya untuk hormat pada bendera tiap kali upacara bendera. Sebab, menurut Ba’asyir hormat pada bendera termasuk dalam perbuatan syirik.

Selain dijatuhi tuduhan sebagai penghasut, Ba'asyir juga dianggap sebagai tokoh gerakan Hispran (Haji Ismail Pranoto). Di pengadilan, Abu Bakar Ba'asyir dan Abdullah Sungkar divonis dengan hukuman penjara selama sembilan tahun. Namun, ia berhasil kabur ke Malaysia.

Ia kembali ke Indonesia pada 1999. Namun, di era pemerintahan Megawati Soekarnoputri, Ba'asyir kembali terlibat aksi terorisme. Kala itu, ia dituduh terlibat Bom Bali 2002 yang menewaskan 202 orang termasuk puluhan warga asing.

Meski oleh Kepolisian, Abu Bakar Ba’asyir resmi ditetapkan menjadi tersangka pada 18 Oktober 2002 yakni di era Megawati, tetapi baru pada era SBY, yakni pada 3 Maret 2005, berhasil dihukum penjara dengan vonis hukuman hanya selama 2,6 tahun penjara.

Namun, Ketua DPP Partai Gerindra Sodik Mudjahid, pembebasan Ba'asyir dinilai tidak sesuai dengan ucapan Presiden Jokowi mengenai terorisme. Sodik juga mengaku tidak mengerti dengan sikap Jokowi. Semestinya, kata dia, Ba'asyir telah memenuhi syarat bebas sejak Desember 2018 lalu.

"Akan tetapi, dirinya mempertanyakan kenapa baru sekarang pembebasan tersebut dilakukan oleh pemerintah. Karena Abu Bakar Ba'asyir sejak Desember 2018 sudah memenuhi syarat dibebaskan," kata Sodik saat dihubungi, Minggu (20/1).

Kendati demikian, Sodik  enggan menghubung-hubungkan pembebasan Ba'asyir dengan kepentingan Jokowi di pilpres 2019 mendatang. Dia berharap, mantan Gubernur DKI Jakarta itu konsisten dalam keputusannya membebaskan Ba'asyir

"Mudah-mudahan setelah tanggal 17 April Abu Bakar Baasyir tidak ditangkap dan dimasukan lagi ke dalam penjara dengan berbagai alasan," pungkasnya.

Diketahui, Ba'asyir dijebloskan ke penjara di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Jaksa penuntut umum kala itu mengatakan Ba'asyir memberikan dukungan penting bagi kamp pelatihan jihad di Ace padah 2010.

Tepat pada 16 Juni 2011, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pun memvonis Ba'asyir 15 tahun penjara karena terbukti mendukung kelompok terorisme di Aceh. Berdasarkan putusan tersebut, Ba'asyir seharusnya bebas pada 24 Desember 2023 mendatang. [JP]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita