Reuni 212 Tanpa Tokoh Sentral, Tokoh Sentralnya adalah Rakyat Itu Sendiri

Reuni 212 Tanpa Tokoh Sentral, Tokoh Sentralnya adalah Rakyat Itu Sendiri

Gelora News
facebook twitter whatsapp


Oleh: Zainal Bintang*

SELAMAT pagi Bung Denny. Uraian dalam tulisan Anda (Seri Renungan Singkat Isu di Seputar Pilpres 2019: Kebebasan Pers di Media Sosial) sesungguhnya tidak ada masalah. Dalam negara demokrasi tiap orang bebas berpendapat. Itu hak yang dijamin konstitusi.

Terkait dengan masalah media (mainstream) mau memberitakan atau tidak memberitakan acara Reuni 212 itu sah-sah saja. Pada akhirnya yang akan menjadi wasit adalah rakyat itu sendiri yang berada di luar otoritas media.

Soal asumsi bahwa reuni itu adalah panggung penggagas NKRI bersyariah itupun pasti debatable. Terlalu pagi beranggapan bahwa yang berkumpul itu adalah seluruhnya massa pengikut tokoh sentral agama tertentu. (Anda menyebut nama tokoh ulama) padahal sesungguhnya, hari itu yang berkumpul adalah individu-individu independen yang datang untuk mencari oksigen penyegar dari polusi tekanan kegaduhan politik.

Buktinya yang hadir banyak juga dari mereka yang nonmuslim datang berbaur dan merasa nyaman.

Bahkan pada acara tersebut tidak terlihat tokoh-tokoh Islam berpengaruh seperti Arifin Ilham, Aa Gym atau UAS dan lain-lain tampil berorasi.

Itu pertanda yang hadir itu adalah insan-insan yang mampu mengendalikan diri. Independen dari pengaruh fanatisme terhadap tokoh tertentu.

Bahwa pada acara itu ada "interupsi" diksi dan narasi politis itu adalah hal yang wajar. Kecelakaan kecil yang manusiawi.

Buktinya sampai acara itu selesai tidak ada tingkah laku radikalsme. Namanya juga kumpulan manusia ya selalu ada saja yang luput.

Jadi peristiwa reuni itu sebaiknya juga dibaca sebagai rapat akbar rakyat Indonesia yang plural tanpa pemimpin sentral tunggal spiritual (tokoh agama) yang berorasi berapi-api memandu pengikutnya.

Karena, sekali lagi yang hadir bukanlah masaa pengikut yang terkonsentrasi sebagai binaan tokoh umat tertentu.

Ya yang ada, rakyat itu bergerak, berkumpul, berdialog dan bersuka ria di bawah bimbingan hati nurani mereka sendiri. Konsolidasi rakyat plural (Pacasilais) itu terjadi dari rakyat untuk rakyat! dipandu oleh rakyat itu sendiri dalam paduan silaturrahim yang khidmat. Ya itu dia.

Di sinilah, maka kesengajaan media mainstrem meniadakannya dalam halaman muka mereka peristiwa kolosal antar manusia itu, sangat disayangkan. Padahal perlunya ada berita tersebut justru disitulah peran media hadir untuk menegaskan diri sebagai mediator yang netral untuk melakukan klarifikasi dan netralisasi terhadap bias-bias yang destruktif yang berpotensi menjurus menjadi benih benih yang mengancam keperkasaan Pancasila.

Media (mainstream) memiliki peran penting untuk menetralisasi interpretasi-interpretasi liar tersebut. Itulah dimensi moral yang harus tetap dipegang di tengah derasnya pengaruh pragmatisme.

Seperti biasa, maka lihatlah sekarang berbagai ragam pelintiran berita yang menyajikan diksi dan narasi yang menjatuhan vonis menyalahkan acara tersebut. Vonis yang belum tentu benar.

Yaa.... Meskipun nasi sudah jadi bubur, jangan khawatir. Percayalah, bangsa ini justru akan semakin tegar, tangguh dan tidak akan terguncangkan dengan ujian-ujian semacam itu.

Tentunya disertai catatan bahwa kita semua harus selalu bersepakat memelihara dan memuliakan perbedaan. Salam Pancasila. [rmol]

*) Penulis adalah wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya.

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA