Parpol Dibiayai Negara, Tepatkah?

Parpol Dibiayai Negara, Tepatkah?

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Partai politik (Parpol) dibiayai negara tengah jadi perbincan­gan. Awalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) men­gusulkan 50 persen biaya partai politik ditanggung negara. Banyak yang setuju usulan ini. Banyak juga yang menolak.

Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Rizal Djalil yang kerap melakukan comparative study tentang dana parpol ke neg­ara lain, berada di pihak yang setuju parpol dibiayai Negara. Rizal yang saat pengukuhan sebagai Guru Besar di Univeristas Padjaja­ran (Unpad) bicara soal penataan dana partai politik, punya alasan kenapa parpol perlu dibiayai negara. Sementara itu, bekas Wakil Ketua KPK Haryono Umar menolak keras parpol dibiayi Negara. Seperti apa argument mereka? Berikut kontroversinya:

Rizal Djalil: Saya Mendukung KPK 100 Persen 

Bagaiman pendapat Anda mengenai partai politik dibiayai negara? 

Saya harus menjelaskan dulu kosa kata biaya dan partai politik. Biaya yang dimaksud adalah, pertama biaya operasional untuk menggerakkan par­tai politik seperti biaya gedung baik beli atau sewa, listrik, telepon, tenaga administrasi dan biaya perjalanan pengurus dalam rangka kerja-kerja politik.

Kedua, biaya kampanye. Nah ini terkait pemilihan legislatif (pileg), pemilihan kepala daerah (pilkada) seperti bupati, walikota dan gubernur, dan bahkan pemilihan presiden (pilpres). Semua biaya terkait mengkampanyekan kandidat partai politik supaya sukses pada pemilu legislatif maupun pemilu untuk menduduki jabatan eksekutif. Artinya semua komponen dibiayai Negara.

Jadi Anda setuju usul KPK agar partai politik dibiayai negara? 

Iya. 100 persen saya setuju. Tentang partai politik, sudah barang tentu parpol yang sudah punya wakil di parlemen. Khusus tentang kandidat, yang ditanggung biaya kampanye oleh partai politik yang dananya bersumber dari negara diserahkan ke mekanisme partai masing-masing.

Apakah kenaikan bantuan par­tai politik melalui SK Nomor 277/ MK.02 Tahun 2017 persuara Rp 1.000 tidak cukup? 

Berdasarkan pengalaman saya sebagai politisi selama 10 tahun dan merangkap bendahara partai, bantuan Rp 1.000 persuara, jauh dari cukup.

Bagaimana menjaga akuntabili­tas biaya yang diberikan negara kepada partai politik?

Saya kira teman-teman di partai politik juga akan komitmen menegak­kan Sistem Integritas Partai Politik (SIPP) jika semua komponen biaya partai politik sudah dibiayai negara. Kemudian BPK selaku auditor neg­ara harus melakukan audit laporan keuangan bahkan audit dengan tujuan tertentu secara periodik dan hasilnya diumumkan ke publik.

Bagaimana dengan partai politik yang tidak setuju? 

Biarin saja bila ada partai politik yang tidak setuju. Ini negara demokrasi. Saya yakin sebagian besar partai politik setuju semua biaya parpol ditanggung negara. Soal jum­lahnya berapa? Apakah Rp 10.000 persuara, itu bisa didiskusikan ber­dasarkan data empiris.

Apakah anda dapat menjamin dengan dibiayai Negara, partai politik dalam setiap event pemilu, pendanaan partai politik akan 100 persen clear dan clean

Terus terang saja di dunia ini tidak ada yang 100 persen sempurna, kesempurnaan milik Tuhan Yang Maha Esa. Berdasarkan study saya di berbagai negara, tetap saja 0,00001 persen tetap ada 'ruang gelap' yang kita secara kasat mata tidak bisa mengetahuinya.

Kurang demokratis apa negara sep­erti Perancis? Kita tahu ada Sarkozy case! Artinya saya ingin mengatakan, kita harus melakukan upaya kom­prehensif, di samping memperbaiki soal pendananaan, sistem pemilunya sendiri harus direview. Misalnya, saya mendukung pendapat Ketua DPR Bambang Soesatyo yang me­nyatakan, pemilihan kepala daerah sebaiknya dikembalikan ke DPRD. Mudaratnya jauh lebih kecil.

Haryono Umar: APBN Untuk Rakyat Bukan Untuk Parpol

Apa tanggapan Anda soal usulan KPK agar dana parpol berasal dari APBN? 

Nggak tepat. Karena kan APBN itu dipakai untuk pelayanan publik bukan pelayanan kepada partai.

Tapi banyak pihak yang mendu­kung usulan itu karena dianggap salah satu cara untuk mengurangi potensi korupsi. Bagaimana menu­rut Anda? 

Sekarang ini kan sudah ada Rp 1.000 per suara, angkanya itu dibe­sarkan saja. Tetapi jangan sampai ada dana khusus untuk operasional mer­eka. Kalau dulu itu kan nominalnya dibatasi, hanya Rp 100 juta, sekarang kalau enggak salah itu sekitar Rp 2 miliar. Nah ternyata jumlah itu pun juga tidak memadai karena kebutuhan mereka besar sekali. Karena mereka menggunakan dana parpol itu dari Sabang sampai Merauke bahkan hingga kecamatan dan desa. Memang Rp 1.000 per suara untuk parpol itu tidak memadai, karena memang biaya untuk operasional partai itu besar. Karena besar itulah mereka mem­butuhkan sumber-sumber income juga. Sementara hingga kini undang-undang melarang mereka berbisnis. Akibatnya kan mereka ini hanya mendapatkan semacam sumbangan dari anggota atau sumbangan-sum­bangan dari pihak lain dan jumlahnya juga dibatasi.

Nah Anda mengetahui persis ke­butuhan partai seperti itu. Lantas kalau tidak dibantu negara lewat APBN, bagaimana cara partai menutupi kebutuhannya? 

Kalau di luar negeri itu ada income generating unit.

Konkretnya seperti apa itu kon­sep income generating unit? 

Ya semacam mereka itu bisa ber­bisnis. Jadi parpol ini tidak mem­bebani negara. Karena uang APBN itu kan untuk rakyat bukan untuk parpol. Sedangkan parpol itu kan salah satu tugasnya mengamankan APBN itu betul-betul dinikmati oleh rakyat. Misalnya untuk pembangunan agar bisa membantu pemerintah da­lam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Jadi seharusnya APBN digunakan seperti itu. Justru agak aneh kalau misalnya parpol yang me­nikmati uang tersebut. Selain itu jum­lah parpol di Indonesia ini kan banyak banget. Akibatnya kalau dikasih uang operasional untuk parpol, habislah uang APBN kita untuk mereka. Jadi masyarakat terima apalagi dari APBN. Sementara sumber income untuk APBN saja agak tersendat, baik itu pajak dan lainnya. Makanya kita itu banyak berutang. Akibatnya kan kita bisa berutang lagi. Jadi itu yang harus dipikirkan.

Tapi bukankah tadi Anda sendiri mengatakan undang-undang kita masih belum membolehkan partai berbisnis. Bagaimana dong? 

Nah itu. Lebih baik undang-undan­gnya saja yang diubah sehingga men­gatakan bahwa mereka mempunyai income generating unit. Bentuknya apa dari unit tersebut, ya itulah yang perlu dibahas.

Nah payung hukum dari unit bisnis partai ini apa nantinya? 

Bentuknya bisa macam-macam, bisa mereka punya yayasan, bisnis dan lainnya. Saya yakin mereka bisa, karena kan rata-rata orang partai itu memiliki bisnis. Apakah itu dijadikan bagian dari bisnis partai, sehingga bisa legal itu. Karena kan kalau seka­rang bisa saja bisnis partai itu diakui bisnis pribadi. Tetapi kan bagaimana pengalaman-pengalaman mereka dibisnis itu bisa membangun income generating unit.

Ketika partai dibolehkan berbisnis seperti itu nanti bukannya malah jus­tru menimbulkan polemik baru? 

Memang kalau parpol berbisnis itu dikhawatirkan akan ada conflict of interest. Tetapi kan ternyata di luar bisa digunakan sistem tersebut. Agar partai itu dibiarkan mandiri, mereka bisa memiliki income dari tim unit. Jadi biarkan masyarakat yang memikirkan income untuk parpol. Selain itu yang menjadi sebabnya juga yakni seakan-akan partai itu miliknya pengurus saja. Padahal kan partai itu miliknya masyarakat, jadi seharusnya segala aktivitas partai itu melibatkan publik. Kalau saat ini kan hanya pengurus saja dan seperti memilikinya. Padahal kan pengurus hanya orang-orang yang di­tunjuk untuk mengelolanya, dan pemi­liknya itu tetap masyarakat. Jadi, harus ditanya kepada publik, kira-kira mau bagaimana ini? Kalau saya sebagai masyarakat, lebih setuju kalau parpol memiliki income generating unit.

Terus dari segi transparansinya bagaimana? 

Nanti kan kita ada kantor akuntan publik, kita punya juga lembaga penga­wasan yang lain. Dan yang terpenting mereka harus juga transparan kepada publik, jadi harus ada akuntabilitasnya, uangnya didapat dari mana, disalur­kan kemana terus saldonya berapa. Sehingga kita bisa mengetahuinya.

Selain berbisnis, apakah ada cara lain? 

Ya memungkinkan mereka men­erima hibah-hibah. Namun yang terpenting hibah-hibah yang parpol terima itu harus dibuka kepada publik. Baik itu dari dalam maupun luar negeri. Jangan alergi juga den­gan dana hibah. Kalau pun mereka korupsi, kan mereka bisa dijadikan tersangka. [rmol]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita