Lingkaran Setan Aplikasi Utang Online

Lingkaran Setan Aplikasi Utang Online

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Minggu lalu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengumumkan ada 1.330 laporan masuk dari korban layanan financial technology (fintech) peer to peer lending atau yang lebih tenar dengan nama kredit online atau 'rentenir online'. 

Seperti lingkaran setan, pelapor menyampaikan mereka menggunakan 1 sampai 5 aplikasi, bahkan ada yang menggunakan 36 sampai 40 aplikasi. Ini karena utangan yang didapatkan dari aplikasi berikutnya digunakan untuk membayar cicilan, bunga dan denda akibat keterlambatan bayar yang mereka lakukan. Jadi istilahnya, gali lubang tutup lubang lah.

Data OJK menyebutkan hingga Desember 2018 fintech kredit online yang sudah terdaftar di OJK sebanyak 78 penyelenggara mereka tunduk pada aturan yang dibuat oleh regulator. OJK dan Satgas Waspada Investasi sudah berhasil memblokir 404 fintech abal-abal hingga Oktober. Ini artinya jumlah fintech ilegal memang jauh lebih banyak dibandingkan yang benar-benar aman dan terdaftar di OJK.

Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech OJK, Hendrikus Passagi menjelaskan fintech legal terdaftar tidak mudah dalam menyalurkan kredit. Ada tahapan yang harus dilalui untuk menganalisa calon peminjam. Misalnya, melampirkan surat keterangan bekerja, slip gaji, kartu identitas hingga pengecekan ke kantor tempat calon peminjam bekerja. 

Beda dengan fintech abal-abal yang sangat mudah menyalurkan dana. Begitu calon nasabah mengisi formulir, maka dana bisa langsung cair.

"Tujuannya memang begitu, gampang kan? Jadi kalau anda tidak bayar anda diteror nanti. Sangat mudah memberi pinjaman, ini menggiurkan, fintech legal tidak seperti itu," jelas dia. 

Fintech peer to peer lending ini tak hanya berkembang di Indonesia. Memang, layanan ini menyasar segmen underserved yakni masyarakat yang membutuhkan dana dalam jumlah kecil dalam waktu singkat. Di Indonesia fintech diharapkan melayani masyarakat underserved dan unbanked yakni masyarakat yang tidak bisa mengakses layanan perbankan karena tidak memiliki jaminan. 

Bahkan di Indonesia dari sebuah hasil kajian INDEF periode 2017-2018, peer to peer lending sudah berkontribusi Rp 25 triliun dari produk domestik bruto (PDB) dan menciptakan 215.000 lapangan kerja.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) Sunu Widyatmoko mengatakan fintech yang berada di bawah naungan asosiasi memiliki larangan untuk anggotanya. Misalnya melarang penagihan dengan cara intimidasi, kekerasan fisik dan mental atau cara lain yang menyinggung SARA atau merendahkan harkat, martabat serta harga diri peminjam. Sangat berbeda dengan yang dilaporkan ke LBH Jakarta.

Sunu menyayangkan, fintech-fintech ilegal itu memang merusak industri layanan keuangan berbasis teknologi ini. Mereka dinilai tidak punya perlindungan konsumen, tak patuh pada aturan dan mereka melakukan semaunya. 

"Mereka mempermalukan orang dengan bikin grup whatsapp yang isinya meneror dalam penagihan. Bukan industri seperti itu yang ingin kita bangun," kata Sunu.

Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan banyaknya laporan soal fintech karena rendahnya literasi keuangan masyarakat Indonesia. Nah, celah inilah yang dimanfaatkan oleh fintech abal-abal yang tidak bertanggungjawab. 

Memang, masalah keuangan dan teknologi tidak bisa menyalahkan masyarakat sepenuhnya. Dia mencontohkan di China, negara yang literasi keuangannya relatif tinggi, masih tetap menjadi sasaran praktik fintech ilegal. 

"Tanggung jawab terbesar ada pada OJK yang seharusnya bisa melakukan deteksi dini fintech ilegal," ujar Bhima.

Dari data OJK tingkat inklusi keuangan di Indonesia sudah mencapai 67,8% namun literasi keuangan atau pemahaman produk jasa keuangan baru mencapai 29,62% dari jumlah penduduk.

Rendahnya literasi keuangan rasanya seperti didukung dengan sulitnya memberantas fintech ilegal ini. Sehingga aplikasi abal-abal tersebut masih ada di Google Playstore.

"Kami sudah diskusi dengan Google, agar aplikasi (fintech abal-abal) ini tidak muncul di Playstore. Mereka bilang ini akan sulit, karena opensource siapa saja bisa memasang di sana. Bisa saja si fintech ini memasang kategori lain untuk mengelabui," kata ketua Satgas Waspada Investasi, Tongam L Tobing.

Untuk menghindari pemblokiran dari Google, fintech abal itu biasanya mengganti kategori finansial dengan education, charity hingga games.

"Jadi tugas kita ini memang harus mengedukasi, masyarakat jangan masuk ke fintech ilegal itu, jangan digunakan. Karena kalau tidak ada pengguna, mereka akan mati sendiri. Tapi kita juga mengupayakan untuk rutin memeriksa aplikasi di Playstore untuk diajukan pemblokiran," jelas dia.

Tongam menyampaikan, masyarakat harus lebih aktif untuk mengetahui status fintech yang akan digunakan. Bisa menghubungi layanan call center OJK di nomor 157. Hal ini agar masyarakat tidak terjebak dengan fintech ilegal tersebut.

Pasalnya, ketika masyarakat melakukan perjanjian dengan perusahaan maka sudah terikat dan harus menyelesaikan kewajiban seperti pembayaran cicilan, bunga hingga denda keterlambatan pembayaran. [dtk]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita