Suami Nuril tak Bisa Membayangkan Istrinya Dijemput Aparat

Suami Nuril tak Bisa Membayangkan Istrinya Dijemput Aparat

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Baiq Nuril Maknun, korban pelecehan seksual yang kini menunggu eksekusi putusan MA yang menghukumnya enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta.

SIRTUPILLAILI, Lombok Barat

Jumat sore itu, ponsel genggam Lalu Muhammad Isnaeni, 40, terus berbunyi. Pesan di grup WhatsApp #SaveNuril tidak berhenti bersautan. Para penghuni grup diributkan dengan berita putusan MA yang memvonis Nuril bersalah.

Isnaeni, tukang ojek online, suami Nuril saat itu tengah antre menunggu pesanan pelanggan di salah satu rumah makan di Mataram. Jemarinya pun tergoda untuk membuka percakapan grup dengan perasaan penuh curiga.

Dan benar saja, Isnaeni sangat terkejut ketika membaca isi grup. Istrinya yang sedang duduk manis di rumah divonis bersalah. Putusan kasasi MA itu menghukum sang istri dengan kurungan enam bulan dan denda Rp 500 juta.

Pesan itu benar-benar membuyarkan konsentrasi Isnaeni, semangatnya langsung down. Apalagi setelah mendapat telpon dari Hendro Purbo, salah satu tim kuasa hukum Nuril. Dia membenarkan berita putusan MA itu benar adanya.

Dengan perasaan tidak tenang, sore itu ia menyelesaikan tugas mengantar pesanan bebek geprek pelanggan di Ampenan. Setelah itu, bapak tiga anak itu bergegas pulang menemui sang istri. ”Itu terakhir kali saya antar pesanan online, sampai sekarang belum online lagi,” tutur Isnaeni.

Sembari mengendarai motor, perasaan Isnaeni bercampur aduk. Kaget, kecewa, dan sesak terasa di dadanya. Ribuan pertanyaan menumpuk di benaknya. Bagaimana mungkin sang istri yang sudah divonis bebas di Pengandilan Negeri (PN) Mataram, tiba-tiba divonis bersalah lagi.

Belum habis rasa lelahnya menghadapi persidangan tahun lalu, kini masalah itu kembali mengusik ketenangan keluarganya.

”Saya tidak menyangka, karena sudah tenang-tenang, tiba-tiba dapat kabar seperti itu,” tuturnya dengan nada penuh sesal.

Malam-mlama keluarga Isnaeni kini kembali dihinggapi ketidaktenangan. Sang istri kembali menghiasi jagat media, foto dan kisah sang istri termuat di media online, koran dan televisi. Doa dan dukungan moril mengalir dari banyak kalangan, mulai dari keluarga besar, para aktivis yang peduli, dan tentu saja netizen.

Ia bersyukur, meski sang istri divonis bersalah, namun dukungan moril dari masyarakat membuatnya merasa lebih tegar. Kendati demikian, bayang-bayang eksekusi terus menghantui perasaanya.

Ia tidak bisa membayangkan istrinya dijemput aparat dan dijebloskan lagi ke dalam jeruji besi. Lalu bagaimana dengan tiga anaknya yang masih sekolah, mereka masih sangat butuh kasih sayang ibunya.

Kasus yang menimpa Nuril benar-benar sangat berat bagi keluarga. Selain lelah secara mental, mereka juga tidak bisa bekerja dan hidup dengan tenang. Pada saat menghadapi gugatan pertama tahun sebelumnya, saat itu Isnaeni terpaksa berhenti bekerja di salah satu hotel di Gili Trawangan.

Dia harus konsentrasi mendampingi istri dan anak-anaknya. ”Capek saya menghadapi kasus ini, kami sudah sangat lelah,” keluhnya lirih.

Sejak kasus itu muncul, lulusan D-III Akademi Pariwisata (Akpar) Mataram berhenti bekerja di hotel. Dia banting stir menjadi teknisi di perusahaan rekanan PT Telkom, di samping itu ia juga menjadi ojek online. Penghasilannya pun tidak menentu, tapi sebulan ia bisa mendapatkan upah sesuai UMP Rp 1,8 juta.

Dengan penghasilan pas-pasan, Isnaeni harus membiayai tiga anaknya yang masih sekolah, yakni Baiq RA, 17 tahun sekolah di SMAN 1 Praya, kemudian Baiq RE, 13 tahun sekolah di SMPN 1 Labuapi, dan paling kecil Lalu RF, 7 tahun baru masuk kelas 1 SDN 1 Bagek Polak, Lombok Barat. ”Saya yang menanggung semuanya,” kata Isnaeni.

Kini Nuril sang istri harus membayar denda Rp 500 juta, ditambang kurungan enam bulan. Baginya hukuman seperti itu sangat tidak masuk akal. Baginya, para koruptor saja tidak mendapat hukuman seberat itu.”Saya tidak pernah melihat uang sebanyak itu, apalagi memegangnya,” katanya.

Sebagai suami, ia akan berusaha membantu sang istri semampunya. Meskipun akan sangat berat, namun dia yakin bisa keluar dari cobaan maha berat itu. Bersama tim kuasa hukumnya, keluarga kini tengah mengajukan upaya peninjauan kembali (PK) atas putusan MA tersebut. ”Ini betul-betul tidak adil bagi kami,” sesalnya.

Nuril menjelaskan, yang dimaksud “Sekolah” dalam surat anaknya itu adalah penjara. Sebab selama dikurung, dia memberi tahu kalau sang ibu pergi sekolah.

Tidak kalah kaget dengan suaminya, Nuril pun benar-benar terpukul dengan keputusan MA itu. Begitu mendengar berita itu, perasaannya bercampur aduk, antara sedih, kesal dan menyesal. Jumat sore itu, perasaannya benar-benar kacau begitu mendapat kabar dari sang suami.

”Kayak kaki tidak berpijak di bumi lagi. Karena saya berpikir ke anak-anak. Bagaimana nasib mereka, siapa yang mengurus mereka. Itu terus yang terpikirkan,” tutur Nuril sambil mengusap air matanya.

Ia juga bingung bagaimana harus menjelaskan ke anaknya bila nanti dieksekusi. Bila mengingat wajah anaknya, Nuril hanya bisa menangis. Sehari setelah mengetahui putusan MA, Nuril pergi ke Praya menemui anaknya yang paling besar.

Di sana Ia memeluk sang anak erat-erat dan menumpahkan air mata. ”Ibu kenapa…kenapa bisa …?? kata anak saya karena dia yang paling paham,” tutur Nuril.

Meski bayang-bayang jeruji besi di depan mata, namun Nuril mengaku sudah memaafkan H Muslim, Kepala SMAN 7 Mataram yang telah melaporkan dan menuding menyebarkan percakapan asusilanya.

Awalnya memang ia ingin agar H Muslim mendapat hukuman seperti yang dirasakan, tapi seiring berjalan waktu ia introspeksi diri dan memaafkan adalah jalan yang baik. ”Biar Tuhan saja yang membalasnya. Allah saja Maha Pengampun apalagi kita sebagai manusia,” ujarnya tegar. [jpnn]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita