Setelah Sontoloyo dan Genderuwo, Kini Kubu Jokowi Mulai Memainkan 'Politik Pembenaran'

Setelah Sontoloyo dan Genderuwo, Kini Kubu Jokowi Mulai Memainkan 'Politik Pembenaran'

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Setelah publik disuguhi tentang istilah politik 'sontoloyo' dan 'genderuwo', kini muncul politik pembenaran yang dilakukan oleh pasangan petahana Jokowi-Ma'ruf Amin.

Hal tersebut dianggap sebagai upaya paslon nomor urut 01 untuk mengelabuhi publik jelang Pilpres 2019.

Anggota Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Anthony Leong menilai, politik pembenaran adalah cara-cara politik yang tidak jujur. Mereka tidak mau mengakui kegagalan dan pencapaian yang tidak sesuai target.

"Misalkan kegagalan dalam mengelola ekonomi, ekonomi lesu tapi dibilang baik-baik saja, harga bahan pokok tidak stabil dan memberatkan masyarakat tidak diakui juga. Inilah contoh politik pembenaran yang terus diaplikasikan oleh kubu sebelah," kata Anthony di Jakarta, Minggu (18/11/2018).

Koordinator Prabowo-Sandi ini mengungkapkan, bahwa para pendukung capres petahana ini mengkapitalisasikan isu soal kemiskinan yang memang dibawah satu digit dengan rekayasa digital.

Padahal, lanjut Anthony, sebenarnya jumlah penduduk miskin di Indonesia dari era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) hingga sekarang adalah kecepatan penurunan penduduk miskin paling lambat sejak dua dekade terakhir di era Jokowi.

"Presiden Gusdur sanggup menurunkan kemiskinan 5,05 juta jiwa per tahun, Bu Mega 0.57 jiwa per tahun, Pak SBY 0.72 juta jiwa per tahun dan 0.96 juta jiwa per tahun dalam dua periode kepemimpinannya," beber dia.

"Sedangkan Pak Jokowi hanya 0.51 juta jiwa per tahun. Ini data dari BPS tapi seakan-akan dibuat persepsinya Pak Jokowi paling berhasil padahal kecepatan penurunannya paling lambat. Inilah yang dimaksud politik pembenaran," tambahnya.

Fungsionaris Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) ini juga menyinggung pertumbuhan ekonomi yang sejak masa kampanye Jokowi dijanjikan tumbuh 7%. 

Bahkan, target tersebut masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019.

"Namun, selama empat tahun belum satu kali pun pemerintah berhasil merealisasikan pertumbuhan ekonomi di level 7%. Pertumbuhan ekonomi mentok di level 5%," ucap Anthony.

"Ini miris karena dalam mengukur keberhasilan seorang pemimpin itu dari Key Performance Indicator (KPI) nya tercapai atau tidak. Dari target pertumbuhan ekonomi jauh sekali," imbuhnya. [tsc]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita