Mungkinkah FPI Bernasib seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir?

Mungkinkah FPI Bernasib seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir?

Gelora News
facebook twitter whatsapp

Oleh: Alireza Alatas*

PAGI tanggal 12 Rabiul Awal yang tahun ini bertepatan dengan hari Selasa (20/11), banyak tokoh dan ulama yang berdatangan di Poltangan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Pasalnya, tokoh kharismatik Habib Idrus bin Hasyim Alatas menggelar acara tahunan Maulid Nabi Saw di Masjid Assa'adah

Para tokoh dan ulama serta tamu undangan khusus biasanya tidak masuk langsung ke masjid tapi terlebih dahulu masuk ke rumah Habib Idrus lewat pintu gerbang sebelah. Masuk pekarangan, maka tamu akan dikejutkan dengan puluhan lingkaran (baca halaqoh) yang terbentuk secara alami. Setiap halaqoh bisa jadi punya pembahasan tersendiri.

Tiba-tiba Ustadz Husein bin Hamid Alatas muncul memasuki pekarangan rumah Habib Idrus, maka sejumlah halaqoh membubarkan diri merapat ke Ustadz Husein bin Hamid Alatas, pendiri sekaligus pengasuh Televisi dan Radio Rasil. Ketika duduk, Ustadz Husein langsung membuka topik politik jelang pilpres 2019. Sempat terdengar desas-desus bahwa Ustadz Husein bin Hamid bersikap tidak mendukung siapa pun dalam Pilpres mendatang meski sudah ada jaminan Pakta Integritas yang saat ini menjadi alasan ulama mendukung Prabowo.

Ternyata maksud Ustadz Husein bin Hamid Alatas bukan tidak mendukung, tapi ingin mengajak para ulama, politisi dan aktivis pro kekuatan umat di bawah kendali Habib Rizieq Shahab untuk berpikir lebih serius lagi terkait pengawalan komitmen. Benar bahwa ada jangka pendek dalam pergerakan ummat ini. Jangka pendek untuk saat ini adalah memenangkan Prabowo Subianto. Tapi tidak cukup jangka pendek saja, tapi juga harus ada jangka panjang.

Maksud jangka panjang menurut Ustadz Husein Alatas adalah bagaimana mengawal komitmen paslon, khususnya hal-hal yang terkait dengan keummatan dan kebangsaan, pasca kemenangan. Hal ini harus dipikirkan dari sekarang karena sejarah membuktikan bahwa banyak pemimpin yang pada awalnya mendapat dukungan dari ulama, tapi setelah berkuasa, mereka mengabaikannnya karena benturan -benturan kepentingan.

Antisipasi inkonsistensi atas komitmen harus dipikirkan mulai sekarang. Jangan sampai apa yang pernah terjadi di Mesir pada era Gamal Abdul Nasir yang menjabat sebagai Presiden Mesir dari 22 Februari 1958 hingga 28 September 1970, terulang kembali. Menurut Ustadz Husein, Gamal mencapai pucuk kepemimpinan di Mesir di antaranya karena dukungan ulama dan aktivis Ikhwanul Muslimin.

Akan tetapi apa yang terjadi setelah Gamal Abdul Naser menjabat sebagai pemimpin tertinggi di Negeri Piramida? Komitmen pun diabaikan, bahkan di era kepresidenan Gamal Abdul Nasir, ulama dan aktivis Ikhwanul Muslimin paling banyak dijebloskan ke penjara.

Modus yang dikembangkan Gamal Abdul Nasir saat itu membangun pencitraan di tengah masyarakat dengan mengurangi harga bahan makanan pokok seperti gandum bahkan minuman sehat seperti susu. Secara tidak langsung, Gamal Abdul Nasir menyogok masyarakat sehingga ia bisa menekan idealisme ulama dan aktivis politik. Upaya Gamal Abdul Nasir saat itu pun berhasil mendapat apresiasi dan tempat di tengah masyarakat awam.

Satu sisi, Abdul Nasir menyejahterakan rakyat, tapi dari sisi lain dia mempersempit ruang independensi ulama dan aktivis. Dengan cara inilah Gamal Abdul Nasir melakukan tarik-ulur kekuasaan.

Karena itu, jangan sampai sejarah yang pernah terjadi di Mesir terulang kembali di Indonesia? Bangsa ini harus belajar dari sejarah meski dari negeri lain. Menurut Ustadz Husein, ulama harus terus menguatkan barisan dan membentuk bangunan yang kokoh guna mengawasi komitmen paslon yang didukung.

Sejauh ini memang belum ada sistem yang mengatur bahwa komitmen mendapat perlindungan penuh dari hukum atau konstitusi sehingga presiden terpilih harus dimakzulkan ketika tak menepati janjinya. Fenomena ini pada dasarnya adalah dilematis dukungan ulama pada Prabowo. Murni percaya pada komitmen paslon, dan mentok bila dikhianati lagi. Ujung-ujungnya, ummat kembali melawan.

Apakah kondisi seperti ini harus terulang terus? Inilah yang harus dipikirkan bagaimana kekuatan ummat bisa mengawal pemerintah dengan baik. Sejauh ini, pengawalan hanya melalui jalur kepartaian yang pemimpinnya punya program dan kepentingan tersendiri.

Partai tidak lebih seperti wadah yang mana baik dan buruknya tergantung pada isi. Bila partai itu diisi oleh orang-orang yag berkomitmen pada bangsa, maka partai itu sehat. Apakah mungkin Front Pembela Islam (FPI) yang saat ini menjadi penggerak ummat, akan melakukan terobosan pergerakan politik seperti Ikhawanul Muslimin di Mesir, Hamas di Palestina, Hizbullah di Lebanon, Sadrist Movement di Irak dan lain-lain yang pada akhirnya membentuk partai karena terbentur dengan  aspirasi yang tak terdistribusi dengan baik?

Sejauh ini secara aturan internal organisasi, FPI tak boleh menjadi partai. Tapi seiring dengan perjalanan perjuangan, FPI terus dihadapkan pada kebimbangan karena tatanan sosial (baca pemerintahan) berlandaskan konsep amar ma'ruf dan nahi mungkar, terus dihadapkan pada kebuntuan.

Apalagi menurut sistem negeri ini, hanya melalui partai, pergerakan apapun baru mendapatkan legitimasi di tingkat legislatif yang kemudian berhak memantau kinerja eksekutif. [rmol]


*) Pembela ulama dan NKRI, aktivis Silaturrahmi Anak Bangsa Nusantara (SILABNA).
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita