Kemah Pemuda Islam, Mobilisasi Kelompok Sipil yang Berbahaya

Kemah Pemuda Islam, Mobilisasi Kelompok Sipil yang Berbahaya

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Kemah dan Apel Pemuda Islam Indonesia 2017 yang diinisiasi Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) memunculkan kegaduhan baru dalam perpolitikan Indonesia, termasuk pemeriksaan Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak.

Dahnil sekarang menjadi salah satu tokoh penting dalam tim pemenangan capres-cawapres Prabowo-Sandi .

Ketua Umum Perkumpulan SwingVoters (PSV) Adhie M Massardi yang terus memantau gejolak kampanye pilpres 2019 ini mengaku terkejut mendengar kegaduhan masalah kemah pemuda Islam yang baru mencuat sekarang ini.

“Saya terkejut bukan soal tudingan polisi ke Dahnil. Tapi melihat ada tiga persoalan politik besar yang muncul dari balik acara kemah dan apel pemuda Islam yang diinisiasi Kemenpora itu,” kata Adhie, siang ini (Selasa, 27/11) di Jakarta.

Pertama, kata koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) ini, polisi harus hati-hati dan proporsional masuk ke kasus ini. Kalau hanya Pemuda Muhammadiyah yang dicecar, sementara kepada GP Ansor yang konon memakai dana Rp 3,5 miliar tutup mata, ini akan menimbulkan kecurigaan besar.

“Saya jamin, akan menimbulkan kecurigaan dan kecemburuan di kalangan anggota Pemuda Muhammadiyah terhadap GP Ansor, mulai dari pusat sampai daerah. Karena ini ormas kepemudaan besar dengan jaringan luas, situasi ini lebih banyak mudharatnya bagi kehidupan kita berbangsa dan bernegara.”

Kedua, kemah dan apel pemuda Islam antara GP Ansor dan Pemuda Muhammadiyah itu adalah kegiatan kontra-produktif bagi bangsa Indonesia, karena alasannya untuk menetralisir isu-isu (politik) yang menerpa pemerintahan Joko Widodo. Secara substansial, ini bukan urusan negara-bangsa yang harus dihadapi bersama oleh seluruh warga bangsa, melainkan isu personal.

“Itu sebabnya memobilisasi kelompok sipil untuk menghadapi isu parsial, yang mungkin dihembuskan oleh kelompok politik (sipil) lain, berpotensi membenturkan kelompok (elemen) sipil yang satu dengan lainnya. Ini sangat berbahaya. Bangsa ini punya pengalaman sangat getir akibat politik mengadu-adu kelompok sipil di masyarakat pada pertengahan tahun 1960-an. Memang berdarah-darah. Zaman PKI," jelas Adhie.

Ketiga, ujar jubir presiden era KH Abdurrahman Wahid ini, memobilisasi kelompok sipil untuk kepentingan yang bukan urusan negara, tapi menggunakan uang dari APBN, ini kesalahan besar. BPK bisa mengaudit peruntukannya yang salah.

“Setiap rupiah uang dari APBN itu harus demi kepentingan negara atau kepentingan umum. Tidak bisa hanya karena pemerintah diterpa isu negatif, lalu menggunakan APBN untuk menanggulanginya. Ini abuse of power.”

Menurut Adhie, kalau memang ada bahaya mengancam keutuhan negara-banga, gunakan saja aparatus negara. Ada TNI, ada Polri, dan lain-lain. "Koordinasinya jelas. Kalau ada penyimpangan dalam pelaksanaannya, ada komandan yang mudah dimintai pertanggungjawabannya," sergah Adhie.

Adhie juga menegaskan, kalau ingin menciptakan (citra) kebersamaan GP Ansor dan Pemuda Muhammadiyah agar suasana politik adem-ayem, bukan memobilisasi dengan acara terpapar politik praktis seperti kemah dan apel semacam itu.

“Dulu (tahun 2000-an) saat Ansor dipimpin Syaifullah Yusuf dan komando Pemuda Muhammadiyah dipegang Imam Addaruqutni, saya dan Franky Sahilatua (mendiang) sering bantu mereka dalam menggelar acara kesenian bersama. Dananya panitia mencari sponsor sendiri. Bukan dari APBN,” kenang Adhie.

“Pernah bikin konser musik rock di alun-alun Jogjakarta dan hasil rekaman audio-visualnya saya tawarkan ke stasiun TV. Panitia dapat uang tambahan. Tapi yang penting, bukan untuk acara politik. Padahal waktu itu suhu politik jauh lebih panas dari sekarang,” demikian Adhie Massardi. [rmol]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita