Sedekah Laut Dibubarkan, Ini Kata MK Soal Keyakinan-Agama-Negara

Sedekah Laut Dibubarkan, Ini Kata MK Soal Keyakinan-Agama-Negara

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Pembubaran persiapan sedekah laut di Pantai Baru, Kabupaten Bantul, Yogyakarta menuai kontroversi. Hubungan agama-keyakinan-negara kembali terkoyak. Bagaimana sebenarnya hubungan ketiga hal di atas?

Kedudukan agama-keyakinan-negara dapat dibaca dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 97/PUU-XIV/2016. Putusan ini untuk mengadili hak-hak penghayat kepercayaan untuk mendapatkan status di kolom agama KTP. Dalam pertimbangannya, MK menjelaskan dengan lugas hubungan negara-keyakinan-agama.

"Hak untuk menganut agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan hak konstitusional (constitutional rights) warga negara, bukan pemberian negara," demikian pertimbangan MK dalam halaman 137 yang dikutip detikcom, Minggi (14/10/2018). 

"Dalam gagasan negara demokrasi yang berdasar atas hukum atau negara hukum yang demokratis, yang juga dianut oleh UUD 1945, negara hadir atau dibentuk justru untuk melindungi (yang di dalamnya juga berarti menghormati dan menjamin pemenuhan) hak-hak tersebut," sambung MK menegaskan. 

Dalam hal ini, Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 antara lain menyatakan:

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia..., maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia ...

Pernyataan mendasar/elementer yang secara eksplisit tertuang di dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, Pemerintah Negara Indonesia yang dibentuk salah satu tugasnya adalah melindungi segenap bangsa Indonesia. Salah satunya yaitu hak dasar untuk menganut agama, yang di dalamnya mencakup hak untuk menganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, adalah bagian dari hak asasi manusia dalam kelompok hak-hak sipil dan politik. 

"Artinya, hak untuk menganut agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan salah satu hak dalam kelompok hak-hak sipil dan politik yang diturunkan dari atau bersumber pada konsepsi hak-hak alamiah (natural rights). Sebagai hak asasi yang bersumber pada hak alamiah, hak ini melekat pada setiap orang karena ia adalah manusia, bukan pemberian negara," ujar 9 hakim konstitusi dengan bulat.

Dalam konteks Indonesia, pernyataan ini, bukan lagi sekadar sesuatu yang bernilai doktriner melainkan telah menjadi norma dalam hukum dasar (konstitusi) dan oleh karena itu mengikat seluruh cabang kekuasaan negara dan warga negara, sebab hal itu dituangkan secara normatif dalam Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. 

Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 menyatakan:

Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali

Pasal 28E ayat (2) ditegaskan pula:

Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. 

Adapun Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menegaskan:

Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

"Dengan demikian, istilah 'agama' dan 'kepercayaan' memang dipahami sebagai dua hal berbeda yang disetarakan," ujar majelis yang terdiri dari Arief Hidayat, Anwar Usman, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Saldi Isra, I Dewa Gede Palguna, Aswanto, Maria Farida Indrati, dan Manahan M.P Sitompul. [dtk]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita