Polemik Bendera, Jimly: HTI itu Obyek Dakwah Bukan Persekusi

Polemik Bendera, Jimly: HTI itu Obyek Dakwah Bukan Persekusi

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie angkat bicara terkiat insiden pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid yang identik dengan bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) saat peringatan Hari Santri Nasional (HSN) di Garut, Senin (22/10) oleh oknum Banser.

Menurut Jimly, meski bertujuan baik, tindakan oknum Banser itu jelas menimbulkan masalah. Karena itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) harus memberi klarifikasi terkait kejadian itu.

Dia menjelaskan, HTI sebagai organisasi sudah dibubarkan pemerintah. Dia pun mendukung pembubaran itu, lantaran pemerintah tak boleh membiarkan pikiran yang sesat dan menyesatkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

"Tapi, persekusi itu harus dicegah. Ini kan sama waktu PKI (Partai Komunis Indonesia). Organisasi dibubarkan, warga PKI dipersekusi. Itu kan tidak baik," kata dia saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (23/10) malam.

Dia mengakui, meski organisasi telah dilarang, pengikut dan pemikirannya tak serta merta dapat dihilangkan. Justu, organisasi Islam harus menjadikan para pengikut HTI sebagai obyek berdakwah, sehingga pemikiran yang dianut tidak berkembang luas.

Walaupun beda pendapat, kata dia, tidak ada manfaatnya membangun hubungan saling membenci dan permusuhan. "Saya rasa lebih baik PBNU memberi klarifikasi, karena ini berkaitan dengan jaringan organisasi NU. Supaya jangan dipecah belah oleh keadaan," ujar dia.

Dia menegaskan, anjuran membangun persaudaraan bukan hanya untuk Banser, melainkan juga organisasi masyarakat (ormas) Islam lainnya seperti FPI. Menurut dia, tugas ormas Islam mengajarkan kepada umat agar tidak memancing permusuhan.

"Semua kita luruskan, supaya jangan mengambil tugas negara," kata dia menegaskan.

Jika hal itu tidak dilakukan, dia menilai, para pengikut HTI akan bernasib sama dengan orang-orang yang dicurigai sebagai anggota maupun simpatisan PKI semasa Orde Baru. Meski organisasinya bubar, orang-orang itu terus dipersekusi.

Padahal, kata dia, Islam tak mengajarkan hal itu. Justru, Islam harus memberikan dakwah, supaya orang-orang yang pikirannya tidak sepakat dalam berbangsa bisa dididik.

Jimly menegaskan, sikap itu juga mesti dicontohkan para pemimpin, baik pimpinan negara maupun ormas. Para pemimpin dinilai harus membangun hubungan yang saling percaya, mencegah permusuhan, serta menghentikan kebencian.

"Karena kalau kita lihat anak-anak itu (pada saat pembakaran) dengan penuh kebencian membakar, itu kan tidak baik. Harus diarahkan. Jangan malah diberi pembenaran, jangan juga berlebihan," kata dia.

Karena itu, kata dia, peran kepemimpinan penting untuk mengarahkan umat untuk berbangsa dengan baik. Jangan karena ada kepentingan politik, tugas itu justru dilupakan.

Dia melihat hingga sekarang masyarakat Indonesia masih terus memelihara kebencian pada eks PKI, ini cermin dari suasana yang terberntuk dari permusuhan dan kebencian yang tidak sehat.

“Hentikan pendekatan kekerasan, mari kita melakukan pendekatan kasih sayang," ujar dia.

Menurut Jimly, masyarakat tak perlu paranoid dengan simbol-simbol organisasi yang sudah jelas dilarang. Meski begitu, ia mengingatkan, masyarakat juga tak perlu mengumbar simbol-simbol itu yang akan memancing emosi.

"Gak usah juga kita terlalu paranoid dengan palu arit, apalagi dengan kalimat tauhid. Masa itu kita harus kaitkan dengan HTI terus. Biarkan Islam membangun rasionalitas berbangsa," tegas dia [rol]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita