Pak Jokowi, Faktanya Konsumsi BBM Premium Makin Turun Loh..

Pak Jokowi, Faktanya Konsumsi BBM Premium Makin Turun Loh..

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Drama kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Premium menjadi topik hangat sejak kemarin. Dalam jeda satu jam kebijakan sepenting menaikkan harga BBM, tiba-tiba diumumkan dibatalkan.

Pengumuman batal naiknya harga BBM Premium disampaikan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

"Sesuai arahan bapak Presiden rencana kenaikan harga premium di Jamali menjadi Rp 7.000 dan di luar Jamali menjadi Rp 6.900, secepatnya pukul 18.00 hari ini, agar ditunda dan dibahas ulang sambil menunggu kesiapan PT Pertamina," ujar Menteri ESDM Ignasius Jonan dalam keterangan tertulisnya, Kamis (10/10/2018).

Sebelumnya, di lobi hotel Sofitel Bali Menteri Jonan mengumumkan rencana menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium, dari Rp 6.550 per liter jadi Rp 7.000 per liter.

Apabila ditelusuri lebih lanjut, kegamangan pemerintah dalam menaikkan harga Premium bisa dibilang berlebihan. Pasalnya, konsumsi Premium sendiri terus menerus turun dalam beberapa tahun terakhir.

Merujuk pada data Pertamina yang diterima oleh CNBC Indonesia, penyaluran BBM jenis Premium diestimasikan hanya tinggal 10,5 juta Kiloliter (KL) hingga akhir tahun 2018. Jumlah turun sekitar 15% dari realisasi tahun 2017 yang sebesar 12,3 juta KL.

Apabila dibandingkan dengan realisasi tahun 2015 yang sebesar 27,6 juta KL, estimasi penyaluran Premium di tahun ini bahkan anjlok hingga 62%. Penurunan yang amat signifikan sebenarnya, hanya dalam waktu 3 tahun. 

Hal ini nampaknya tidak lepas dari kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mencabut subsidi untuk Premium di awal kepemimpinannya, sekaligus memerintahkan agar Premium hanya disalurkan di luar wilayah Jawa-Madura-Bali (Jamali).

Baru pada April 2018, presiden ke-7 RI itu memutuskan untuk membuka kembali keran pasokan Premium ke Jamali. Tapi, itupun nampaknya tidak serta merta menambah volume penyaluran Premium nasional. Buktinya, tahun ini penyaluran Premium malah diestimasikan menurun oleh Pertamina.

Atau mungkin sebagian besar dari Anda yang tinggal di Jabodetabek seringkali menemui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang tidak menyediakan Premium. Artinya, pasokan premium di Jamali juga sebenarnya masih lumayan terbatas, meski Jokowi sudah memandatkan pasokan Premium dapat sampai ke Jamali. 

Jika diperhatikan lebih lanjut, peningkatan konsumsi BBM jenis lainnya justru lebih signifikan. Pada tahun 2018, penyaluran BBM Perta Series diestimasikan mencapai 22,6 juta kiloliter, atau naik 10,24% secara tahunan (year-on-year/YoY). Dibandingkan dengan tahun 2015, kenaikannya bahkan mencapai 679%.

Sedangkan, penyaluran Bio Solar/Solar PSO dan Dex Series diproyeksikan mencapai 15,4 juta KL hingga akhir tahun ini, atau tumbuh tipis sekitar 3,5% YoY. 

Oleh karena itu, seharusnya kenaikan harga Premium tidak perlu dirangkai menjadi sebuah gimmick. Jika misalnya harganya dinaikkan, toh dampaknya tidak akan terlalu signifikan bagi perbaikan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD), mengingat tingkat konsumsi yang terbatas. 

Justru menurut hemat kami, jika tujuannya ingin menjawab harapan pasar untuk menyelamatkan CAD dan rupiah, kenaikan harga BBM jenis Pertalite dan Solar lah yang perlu dikaji pemerintah lebih lanjut. Pasalnya, konsumsinya masih terus tumbuh positif dari tahun ke tahun. 

Sikap plin-plan pemerintah dalam menaikkan harga Premium justru akan mengundang petaka yang bernama spekulasi. Masyarakat kini sudah terlanjur berekspektasi bahwa harga BBM jenis Premium pasti dikerek naik ke depannya, baik cepat maupun lambat. 

Dengan ditundanya kenaikan harga Premium, kini masyarakat seolah-olah diberi waktu untuk melakukan aksi penimbunan. Konsumen akan ramai-ramai membeli dalam jumlah banyak pada saat ini, sebelum harganya melonjak tinggi di masa depan. Hukum pasar akan berlaku.

Sepanjang sejarah RI berdiri, belum pernah ada kebijakan kenaikan harga BBM yang tiba-tiba dibatalkan seperti saat ini. Tujuannya mungkin memang untuk mencegah aksi spekulasi massal yang dijelaskan di atas.

Lantas, apa bahayanya aksi spekulasi massal? Tentu saja, dampaknya adalah kelangkaan BBM jenis Premium di masa depan. Bukan tidak mungkin ada oknum penimbun yang nantinya menjual Premium dengan harga yang jauh lebih tinggi. Akibatnya, daya beli masyarakat akan lebih tertekan dari perkiraan semula.

Belum lagi ekspektasi kenaikan harga Premium bisa berpotensi mengerek naik harga-harga sejak awal. Contohnya, biaya angkutan transportasi atau bahan-bahan pokok yang bisa segera menanjak, dalam rangka mengantisipasi kenaikan harga Premium di masa depan. 

Jangan-jangan, inflasi malah sudah meningkat sebelum harga Premium benar-benar dinaikkan. Semoga tidak.. [cnbc]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita