Mahfud MD Tegaskan Tak Ada Larangan Anut Ideologi HTI atau Komunis, Asalkan Penuhi Syarat Ini

Mahfud MD Tegaskan Tak Ada Larangan Anut Ideologi HTI atau Komunis, Asalkan Penuhi Syarat Ini

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO -  Pakar Hukum Tata Negara Mahfud MD menegaskan, tidak ada satu pihak pun yang bisa melarang seseorang menganut ideologi HTI atau komunis.

Syaratnya, kata Mahfud MD, orang tersebut tidak diorganisasi atau mengorganisasi secara massal.

Di samping itu, tambah Ketua Mahkamah Konstitusi Periode 2008-2013 Mahfud MD, orang-orang yang berideologi HTI atau komunis itu tidak digerakkan untuk melawan ideologi negara.

Pernyataan itu disampaikan Mahfud MD melalui akun twitternya untuk menjawab pertanyaan netizen (warganet).

Pemilik akun ‏ @Prie0512 mengirim mention kepada Mahfud MD yang berbunyi:  Berdasarkan hkm administrasi negara HTI memang sudah bubar. Namun ideologinya masih bertebaran. Adakah hukum yg juga menangkal ideologi?

Atas pertanyaan tersebut, mahfud menjawab melalui akun twitternya.

@mohmahfudmd: Tidak ada hukum yg bisa melarang orang menganut paham atau ideologi termasuk HTI atau Komunis sekali pun ASAL tdk diorganisir utk menggerakkan orang2 untuk ikut dan melawan ideologi negara.

Menurut Mahfud MD, organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah dibubarkan oleh pemerintah Indonesia. 

Mengingat organisasinya sudah dibubarkan, kata Mahfud MD, secara hukum berarti sudah tidak memiliki anggota.

Karena itu, ketika ada seorang menteri yang meminta pegawai negeri sipil (PNS) di kantornya mundur dari HTI, menurut Mahfud MD, itu pernyataan genit.

"Memang mundur dari mana? Kan HTI sudah tidak ada, dibubarkan? HTI itu bubar berdasar hukum administrasi negara, bukan hukum pidana," ujar Mahfud MD.

Mahfud MD juga tidak setuju adanya usulan yang menyebutkan bahwa anggota HTI yang melamar PNS atau menjadi Caleg ditolak. 

"Keliru, tuh. HTI sudah dibubarkan, tak ada lagi yang masih jadi anggotanya," kata Mahfud MD.

Mahfud MD: Sistem Khilafah di Indonesia Sudah Ada

Sebelumnya diberitakan, Prof Mohammad Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi 2008-2013, mengatakan Indonesia saat ini sejatinya telah menganut sistem khilafah.

Khilafah yang diberlakukan di Indonesia, kata Mahfud MD, adalah hasil kajian atau musyawarah para ulama pendiri negara ini sebelum memerdekakan Indonesia.

Karena itu, menurut guru besar hukum tata negara Mahfud MD, khilafah yang berlaku di Indonesia bisa jadi berbeda dengan model khilafah yang dijalankan oleh negara-negara Islam di dunia ini. 

"Saya pastikan bahwa Indonesia dengan sistem Pancasila ini adalah juga khilafah. Khilafah dalam arti sistem pemerintahan yang khas bagi Indonesia. Al Khilafah al Indonesia, kira-kira," ujar Mahfud MDdalam sebuah video yang ia share Selasa (2/10/2018) pagi ini.

Dalam video yang berisi potongan acara ILC itu, Mahfud MD tengah menjawab pernyataan ustaz Felix Siawu yang mengungkap sejarah khilafah.

Menurut Mahfud MD, berbicara khilafah bisa didekati dari dua perspektif, yaitu sebagai sistem atau sebagai sebutan kepemimpinan.

Khilafah sebagai sebuah sistem ketatanegaraan, kata Mahfud MD, tidak ada dalam Al Quran dan Hadists nabi Muhammad SAW.

Karena itu, kata Mahfud MD, sesudah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW kemudian lahir berbagai macam khilafah.

"Yang sekarang pun ada 57 jenis negara Islam yang tergabungd alam Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Ada 22 negara arab. Itu beda-beda lagi khilafahnya," ujar Mahfud MD.

Indonesia pun telah menganut sistem khilafah, tetapi model khilafah yang khas Indonesia yang didasarkan kepada Pancasila. 

"Khilafah yang khas Indonesia. Al Khilafah al Indonesia, kira-kira. Ini produk itjihad para ulama. Seperti ulama-ulama di negara lain," kata Mahfud MD.

Berdasarkan kajiannya terhadap hukum tata negara di sejumlah negara Islam dan juga hakum Islam, kata Mahfud MD, tidak ada model khilafah baku yang harus diikuti. 

"Sewaktu saya kuliah, guru saya pimpinan Muhammadiyah mengatakan, tidak ada khilafah yang harus diikuti. Boleh bikin sendiri-sendiri. Bahkan beliau mengatakan indonesia ini sudah negara yang sangat sesuai dengan syariat Islam," katanya.

Karena itu, Mahfud tidak sependapat dengan model khilafah yang disampaikan oleh ustaz Felix Siauw.

"Khilafah dalam konsep FPI dan HTI itu adalah sistem pemerintahan. Dan itu jelas-jelas ideologi yang bertentanngan dengan Pancasila. Kalau khilafah sebutan sebagai pemimpin, itu tidak menjadi soal. Tidak apa-apa. Tapi khilafah gerakan ideologi untuk mengganti sistem yang sudah disepakati yang bernama Pancasila itu jelas-jelas gerakan terlarang." kata Mahfud MD.

Mahfud MD mengaku sudah mendengar langsung penjelasan konsep khilafah dari para petinggi Hizbut Thahrir Indonesia (HTI) sehingga ia berkesimpulan khilafah yang diusung HTI terkait dengan sistem pemerintahan.

"Oleh sebab itu mereka (HTI) menolak demokrasi. Menganggap demokrasi itu thogut. Menolak negara kebangsaan, mereka maunya transnasional. Satu negara yang berdasarkan Islam yang  meliputi berbagai bangsa menjadi satu negara," ujar Mahfud MD.

Jika khilafah dalam pengertian sistem tata pemerintahan yang terus diperjuangkan, maka itu sangat berbahaga bagi Indonesia.

"Oleh sebab itu tetap berbahaya gerakan khilafah itu sebagai sebuah gerakan alternatif ideologi," ujar Mahfud MD.

MUI: Khilafah Tak Relevan Lagi dengan Indonesia

Sebelumnya diberitakan Wartakotalive.com,   Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai sistem khilafah tidak bisa lagi digunakan dalam sistem pemerintahan negara mana pun.

Wakil Ketua Komisi Hukum MUI Ikhsan Abdullah mengatakan, kerangka politik khilafah bertolak belakang dengan sistem demokrasi negara modern saat ini.

Menurutnya, kekhalifahan sudah kehilangan legitimasinya di dunia.

Juga, tidak ada negara modern yang menggunakan sistem tersebut, bahkan di Timur Tengah.

"Kekhalifahan di dunia juga telah kehilangan legitimasi. Hilang sejak masa Ottoman terakhir di Turki. Jadi kita tidak relevan lagi bicara khilafah," kata Ikhsan saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin (15/5/2017).

Pada zaman Kesultanan Ottoman berakhir, sistem khalifah juga sudah tidak digunakan lagi.

Kesultanan ini pun pecahannya memisahkan diri dan membentuk negara-negara bagian.

"Mereka membentuk negara yang mempunyai batas teritori. Sudah kehilangan legitimasi internasional. Bahkan kalau dihidupkan, ya amat sulit. Jangankan di Indonesia, di suku saja sulit. Sudah enggak ada lagi," katanya.

Begitu juga di Indonesia, Ikhsan menjelaskan, sistem khilafah tentu bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Namun, jika hanya sebagai wadah pembelajaran dan sejarah, hal tersebut tentu tidak perlu dikhawatirkan oleh pemerintah.

"Kalau khilafah itu berkaitan dengan sistem negara berkebangsaan kita sudah final, tidak ada lagi gagasan yang di luar NKRI. Jadi sebagai negara, kita sudah selesai, jangan lagi ada pemikiran atau ide yang ingin mengubah NKRI," tuturnya.

Ikhsan menambahkan, dari pengamatan sementara MUI, sebenarnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) belum menunjukkan ancaman dalam perspektif syiar agama dan dakwah.

Hanya, yang patut dikhawatirkan adalah apakah ada agenda mendirikan sistem khilafah di Indonesia.

Oleh karenanya, lanjut dia, MUI tengah membuka kajian khusus membahas HTI dengan menghadirkan sejumlah ahli dari luar, seperti pakar organisasi dan ahli sosiologi.

"Yang kita curigai dan waspadai, apakah yang dimaksud dengan khilafah di HTI itu hendak membangun negara yang di luar NKRI," katanya.

Langkah pembubaran HTI harus melewati proses peradilan. Sebelum ada keputusan, lanjut dia, pemerintah tidak boleh membubarpaksakan HTI, karena akan berdampak buruk pada sistem demokrasi.

"Kalau namanya pembubaran organisasi, juga harus ada terapinya, ada ketentuannya. Yaitu UU Ormas No 17 Tahun 2013. Kan itu menyangkut hak berserikat, berkumpul, dan berorganisasi yang legal. Jadi kalau pemerintah membubarkan HTI, yang harus dilakukan adalah dengan cara yang baik," paparnya.

Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Dalam Negeri tengah melakukan kajian untuk menggugat HTI ke pengadilan. HTI dianggap menyebarkan sistem khilafah yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. [tribun]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita