Fadli Zon Nilai Deretan Kegagalan Mewujudkan Janji Merupakan Jalan Terang Ganti Presiden 2019

Fadli Zon Nilai Deretan Kegagalan Mewujudkan Janji Merupakan Jalan Terang Ganti Presiden 2019

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Pada akhir Oktober 2018, Presiden Joko Widodo genap empat tahun memerintah.

Agar tidak bias dalam menilai, kata Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon, maka salah satu cara mengukur prestasi pemerintah adalah membandingkan antara capaian kerja dengan target awal yang ditetapkan sendiri oleh pemerintah.

"Secara umum, menurut penilaian saya, kinerja pemerintah sangat jauh panggang dari api. Pemerintah tak disiplin dengan target-target yang ditetapkannya sendiri, sehingga capaian selama empat tahun memerintah jadi tak ada yang mengesankan. Nilainya di bawah rata-rata. Kalau anak sekolah, dengan nilai tersebut pasti tidak naik kelas," katanya di Jakarta, Selasa (23/10/2018).

Kata Fadli Zon, dalam bidang hukum dan HAM, misalnya, pada Januari lalu, Majalah The Economist merilis Indeks Demokrasi Dunia Tahun 2017.

Indeks itu memaparkan penilaian tentang keberlangsungan demokrasi di setiap negara yang diukur dengan menggunakan lima variabel penilaian, yaitu:

(1) proses elektoral dan pluralisme,

(2) keberfungsian pemerintahan,

(3) partisipasi politik,

(4) kultur politik,

(5) kebebasan sipil.

The Economist menyebut bahwa posisi Indonesia dalam indeks tersebut merosot tajam 20 puluh peringkat dari penghitungan tahun 2016.

Selain itu, kata Fadli Zon, menurut hasil penelitian Freedom House, indeks kebebasan HAM dan demokrasi di Indonesia juga mengalami kemerosotan.

"Indonesia semula sudah masuk pada kategori negara dengan demokrasi bebas, namun, kini, kembali menjadi separuh bebas. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan data BPS yang menyebutkan skor demokrasi di Indonesia turun, dari angka 72 menjadi 70," katanya.

Menurut dia, semua itu menunjukkan capaian buruk sekaligus menandai kemunduran dalam kehidupan berdemokrasi kita.

“Sementara, dari sudut ekonomi-politik, dalam catatan saya ada sekitar 8 indikator penting yang bisa dan biasa digunakan untuk mengukur kinerja ekonomi pemerintah, seperti pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, nilai tukar Rupiah, cadangan devisa, defisit anggaran, rasio utang pemerintah, tingkat pengangguran, dan tingkat kemiskinan," kata Fadli Zon.

Jika kita menggunakan target yang ditetapkan oleh pemerintah sendiri, dari 8 indikator tadi, hampir semuanya tak mencapai target.

Kata Fadli Zon, hanya satu indikator saja yang targetnya tercapai, yaitu tingkat inflasi. Itupun dengan satu catatan penting: inflasi kita rendah bukan karena keberhasilan pemerintah mengatur perekonomian, melainkan karena terjadinya pelemahan daya beli masyarakat.

"Terkait pertumbuhan ekonomi, misalnya, sejak 2014 pemerintah tak pernah menembus target yang ditetapkannya sendiri, baik target dalam RPJMN maupun target APBN. Capaian pemerintah selalu berada di bawah target," katanya.

Pada 2015, kata Fadli Zon, target pertumbuhan ekonomi dalam RPJMN adalah 5,8%, dan target APBN 5,7%, tapi realisasinya hanya 4,8%. Pada 2016, target RPJMN 6,6%, lalu target APBN 5,1%, tetapi capaian hanya 5,02%.

Begitu juga pada 2017, target RPJMN-nya 7,1%, target APBN 5,2%, namun capaian hanya 5,07%.

Hal yang sama saya kira juga akan terjadi pada 2018 ini, di mana target RPJMN mencapai 7,5%, target APBN 5,4%, namun realisasi hingga bulan September kemarin baru 5,1%.

"Capaian itu sebenarnya menyedihkan, karena sangat jauh di bawah janji kampanye Presiden Joko Widodo yang mengatakan ekonomi akan meroket hingga 7 persen. Jika kita membaca kembali RPJMN 2015-2019 yang disusun pemerintah, yang menargetkan pertumbuhan 8% pada tahun 2019 nanti, maka berkaca pada situasi hari ini, cukup jelas perhitungan ekonomi pemerintah memang tak pernah akurat," katanya.

Rendahnya angka pertumbuhan ekonomi ini, menurut Fadli Zon, berbanding terbalik dengan melesatnya jumlah utang pemerintah dalam empat tahun terakhir. Berdasarkan data Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan, selama empat tahun jumlah utang kita melesat hingga 69,75 persen.

"Pada kuartal ketiga 2014, sebelum Presiden Joko Widodo dilantik, posisi utang pemerintah mencapai Rp2.601,71 triliun. Namun pada kuartal ketiga tahun ini, posisi utang tersebut telah menembus angka Rp4.416,37 triliun," katanya.

Dengan angka pertumbuhan utang yang mencapai 13 hingga 14 persen per tahun, sementara angka pertumbuhan ekonomi stagnan di kisaran 5 persen, jelas menunjukkan kinerja ekonomi pemerintah sangatlah tak efisien.

Selain tidak efisien, kata Fadli Zon, angka-angka itu juga menunjukkan pembangunan infrastruktur tak punya dampak kemajuan ekonomi.

"Kita semua tentu sepakat pembangunan infrastruktur itu penting. Tapi, pembangunan infrastruktur yang ditopang oleh utang sebenarnya sangat berbahaya. Apalagi, infrastruktur yang dibangun pemerintah ternyata bukan public services yang bisa dinikmati gratis oleh masyarakat, tapi infrastruktur privat berbayar, seperti jalan tol dan sejenisnya," katanya.

Terkait defisit anggaran, menurut Fadli Zon, RPJMN jelas menargetkan defisit anggaran hingga tahun 2019 harus ditekan hingga 1 persen PDB. Dalam kenyataannya, defisit anggaran kita masih terus berada di atas angka 2 persen.

Tahun lalu, angkanya bahkan pernah hampir menyentuh 3 persen.

"Sekali lagi, selain tak akurat, pemerintah tidak disiplin dengan target yang telah dibuatnya," katanya.

Hal yang sama, kata Fadli Zon, juga terjadi untuk soal kemiskinan. Pada Juli lalu, kita dihebohkan oleh data BPS yang menunjukkan angka kemiskinan turun menjadi 9,82 persen, atau jumlahnya menjadi 25,95 juta orang.

"Angka itu kemudian segera diklaim pemerintah sebagai angka kemiskinan terendah sejak Indonesia merdeka. Masalahnya adalah, dalam RPJMN tingkat kemiskinan yang ditargetkan pemerintah adalah 7 hingga 8 persen. Sehingga, angka 9,82 persen itu jelas masih sangat jauh dari target. Selain itu kita perlu kritisi ukuran kemiskinan yang standarnya bukan standar internasional," katanya.

Klaim pemerintah ini, kata dia, bisa sangat menyesatkan.

Kalau dilihat dari persentasenya, angkanya memang turun, tapi kenyataan faktualnya tidaklah seperti itu.

Pada tahun 1996, angka kemiskinan adalah 11,3 persen.

Tetapi, jumlah penduduk miskin kala itu adalah sebesar 22,5 juta orang.

Pada Februari 2018, angka kemiskinan memang turun menjadi 9,82 persen, tapi jumlah penduduk miskin saat itu adalah 25,98 juta orang.

Jadi, selama 22 tahun, jumlah penduduk miskin sebenarnya justru bertambah. Klaim pemerintah seringkali tak substantif.

"Kegagalan yang paling mencolok adalah terkait nilai tukar Rupiah. Dalam RPJMN 2015-2019, target nilai tukar nominal (Rp/USD) disebutkan berada di kisaran Rp12.000 per USD hingga tahun 2019. Namun, realisasinya pada awal Oktober 2018 nilai tukar Rupiah justru rontok di atas kisaran Rp15.000," katanya.

Pelemahan nilai tukar rupiah, kata Fadli Zon, memang tak hanya dialami Rupiah.

Sejumlah mata uang negara lain, khususnya emerging market juga turut melemah.

Namun, jika dibandingkan dengan sejumlah negara ASEAN lainnya, pelemahan rupiah terbilang paling dalam sepanjang tahun ini.

Thailand, misalnya, hanya melemah 0,02%; Malaysia melemah 2,74%, dan Vietnam hanya melemah 2,85%.

"Sementara, kita melemah hingga 12,1% sepanjang tahun ini. Itu menunjukkan fundamental ekonomi kita tidak baik-baik saja sebagaimana yang sering diklaim pemerintah," katanya.

Jadi, kata Fadli Zon, kalau pemerintah tidak bisa mencapai hampir seluruh indikator kinerja yang telah ditetapkannya sendiri, bisakah pemerintahan ini mengklaim keberhasilan?

"Saya kira, tidak. Kegagalan pemerintah mencapai hampir seluruh target yang telah ditetapkannya dalam empat tahun terakhir, merupakan alasan yang cukup bagi masyarakat untuk meminta ganti presiden tahun depan," katanya.

"Masak sudah gagal malah minta dua periode," kata Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, yang merupakan alumnus London School of Economics (LSE) Inggris ini. [tribun]

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA