Bali Dijual Murah ke Wisatawan China, Ada Dugaan Permainan Mafia

Bali Dijual Murah ke Wisatawan China, Ada Dugaan Permainan Mafia

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO -  Tokoh Pariwisata Bali Chandra Salim, Herman, Elsye Deliana, Hery Sudiarto dan Bambang Putra mengeluhkan praktek travel agent yang merugikan pariwisata Bali.

Sebagai destinasi wisata unggulan dunia, Pemerintah Daerah di Bali dan segenap komponen pariwisata mendorong konsep pariwisata Quality Tourism, bukan lagi Mass Tourism. Namun, cita-cita tersebut masih jauh panggang dari api. Hal ini disebabkan ulah travel agent yang menjual murah pariwisata Bali ke wisatawan asal Tiongkok (China).

Ada dugaan permainan mafia yang menyebabkan pariwisata Bali diobral murah ke wisatawan asal China tersebut. Akibatnya, kendati kunjungan wisatawan China ke Bali tertinggi dibandingkan negara lain, namun tidak berkontribusi signifikan bagi perekonomian Bali. 

Menjual murah pariwisata Bali justru merusak citra Bali sebagai destinasi wisata unggulan. Bali bahkan disebut hanya mendapat sampah dari kunjungan wisatawan China.

Keluhan itu disampaikan sejumlah tokoh pariwisata di Bali yang selama ini menangani wisatawan China. Mereka adalah Ketua Bali Liang (Komite Tiongkok Asita Daerah Bali) Elsye Deliana, Wakil Ketua Bali Liang Bambang Putra, Sekretaris Bali Liang Herman, Komite Tingkok Nasional Chandra Salim dan Ketua Komite Tiongkok DPP Asita Nasional Hery Sudiarto.

Elsye Deliana menjelaskan, ulah travel agent yang menjual murah pariwisata Bali merupakan masalah serius bagi Bali. Fenomena ini sudah berlangsung sekitar 2 hingga 3 tahun terakhir. Tahun ini bahkan semakin parah karena dijual dengan paket harga yang semakin murah. 

“Bali itu dijual sangat murah di Tiongkok oleh agent-gent tertentu. Sangat murah, bahkan semakin berlomba untuk lebih murah. Yang menjadi pertanyaan saat ini, kenapa sampai bisa dengan harga seperti ini? Istilah kami zero tour fee (perjalanan biaya murah),” sodok perempuan yang akrab disapa Meylan, di Denpasar, Minggu (14/10).

Sebelumnyanya, paket wisata ke Bali dijual 999 RMB (Renin Bi) atau sekitar Rp 2 juta. Belakangan ini, travel agent bahkan menjual lebih murah lagi. Mulai 777 RMB atau sekitar Rp 1,5 juta, turun lagi menjadi 499 RMB atau sekitar Rp 1 juta, bahkan sudah sampai 299 RMB sekitar Rp 600 ribu. Harga tersebut sudah termasuk tiket pesawat pulang pergi, makan dan hotel untuk 5 hari 4 malam. 

“Coba bayangkan, dengan Rp 600 ribu bisa dapat tiket ke Bali dan balik lagi ke Tiongkok. Dapat makan dan hotel selama 5 hari 4 malam. Jadi kualitasnya seperti apa,” kata perempuan yang kerap disapa Meylan ini.

Lantas mengapa pariwisata Bali dijual murah? Meylan mengungkap ada permainan mafia yang dilakukan pengusaha asal Tiongkok. Bagaimana pola permainannya? Ia menjelaskan, pengusaha tersebut membangun usaha artshop di Bali yang jumlahnya cukup banyak. 

Pengusaha artshop inilah yang menyubsidi kedatangan wisatawan ke Bali dengan biaya murah tersebut. Kendati memberi subsidi, mereka tetap akan meraup keuntungan. Sebab, wisatawan asal Tiongkok yang jumlahnya banyak tersebut, wajib berbelanja di artshop milik pengusaha asal Tiongkok tersebut.

Travel Agent yang menangani mereka yang mengarahkan wisatawan tersebut untuk berbelanja di Arshop milik pengusaha Tiongkok tersebut “Jadi ada subsidi dari beberapa artshop besar milik Pengusaha asal Tiongkok di Bali. Subsidi ini yang bisa membuat harga murah paket wisata jadi murah. Mereka sudah seperti beli kepala, wisatawan itu wajib belanha di toko (Artshop) itu,” jelasnya. 

Jadi selama lima hari empat malam di Bali, wisatawan itu diarahkan untuk belanja di artshop milik pengusaha Tiongkok. Ia menduga pembayarannya juga dengan wechat (pola Tiongkok) dengan system barcode.

“Jadi transaksinya berputar saja, datang ke Bali dari Tiongkok, belanja ke Toko Tiongkok, kemudian system pembayaran masih ala Tiongkok,” jelas Meylan.

Bambang Putra menambahkan, di Artshop tersebut, wisatawan membeli barang – barang berbahan Latex, seperti kasur, sofa, bantal dan lainnya. “Dengan alasan bahwa Indonesia penghasil karet, sehingga barangnya jauh lebih murah. Padahal barang itu sebenarnya barang buatan Tiongkok juga. Kemudian juga ada toko sutra dan lainnya. Mereka belanja di situ,” kata Bambang. 

Bagaimana dengan tour wisatwan tersebut ke obyek wisata di Bali? Menurut Meylan, selama lima hari ini di Bali, hanya satu hari saja wisatwan itu menjalani tour ke Objek Wisata di Bali. Dulunya Tanah Lot, namun ketika harga naik hanya diajak ke Uluwatu karena lebih murah.

“Waktunya banyak dihabiskan untuk datang ke artshop milik pengusaha Tiongkok itu,” katanya.

Permainan ini banyak merugikan pariwisata Bali. Menurut dia, Bali tidak mendapat keuntungan dari kunjungan wisatawan Tiongkok.

“Kasarnya Bali hanya dapat sampahnya,” kata Meylan.

Ia melanjutkan dengan pola tour yang hanya mengunjungi satu obyek wisata, wisatawan merasa ditipu. Sebab, mereka ke Bali untuk mengunjungi sejumlah obyek wisata, namun hanya satu obyek wisata yang didatangi. 

Hal ini juga merugikan citra pariwisata Bali. “Jadinya mereka berpandangan Bali itu tidak menarik, mereka tidak akan kembali lagi. Bali itu bagi mereka isinya hanya toko-toko yang jual latex karena Indonesia penghasil karet,” kata Meylan.

Persoalan lain terkait wisatawan Tiongkok diungkapkan Herman. Menurut dia, saat ini ada banyak guide illegal asal Tiongkok. Demikian juga travel agent illegal.

“Ada juga fotografer preweding di Bali menggunakan visa wisata namun bekerja, termasuk juga toko – toko jaringan yang mensubsidi wisatwan murah itu, juga banyak warga Negara Tiongkok yang tidak memegang visa kerja. Ini yang harus dituntaskan oleh pemerintah. Mesti dipastikan mana legal mana illegal,” katanya.

Menurut dia, pemerintah harus menuntaskan masalah ini. “Seba ini akan sangat merugikan Bali ke depan. Bahkan Bali yang begitu hebat di mata dunia, menjadi sangat tidak menarik bagi wisatawan Tiongkok yang merasakan permainan ini. Fenomena ini juga terjadi di Thailand dan Vietnam, namun saat ini pemerintah di sana sudah mulai tegas. Di sana, jika wisatawan Tiongkok tidak membawa uang sekitar Rp 5 juta dalam rekening, mereka tidak diberikan masuk Thailand. Pemerintah di sini juga bisa mengambil tindakan tegas,” katanya.

Hal senada ditegaskan Herry Sudiarto. Menurut dia, pemerintah harus menindak tegas praktek yang merugikan pariwisata Bali, khususnya terhadap wisatwan Tiongkok. 

“Jika dibiarkan seperti ini, jelas akan semakin parah ke depannya. Mesti dibuatkan regulasi yang kuat, untuk bisa melindungi yang legal dan menertibkan yang illegal. Pemerintah harus berani tegas menindaknya agar ke depan tidak rusak citra pariwisata Bali,” tegas Herry. [posbali]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita