Rupiah Tertekan Karena Pemerintah Salah Kebijakan

Rupiah Tertekan Karena Pemerintah Salah Kebijakan

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kian tertekan. Terakhir rupiah sudah menembus angka Rp 14.914 per dollar AS.

Anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan mengatakan kondisi rupiah yang semakin tertekan karena kebijakan pemerintahan Joko Widodo yang salah.

"Rupiah tertekan salah kebijakan," tegasnya dalam keterangan pers yang diterima Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (4/9).

Nilai tukar rupiah memang tengah jatuh ke level nyaris Rp 15 ribu terhadap dolar AS. Kondisi ini menurut Heri merupakan yang terendah sejak krisis 1998. 

Ketua DPP Partai Gerindra ini mengaku memiliki beberapa catatan yang menyebabkan itu terjadi. Pertama, karena Indonesia mengalami defisit ganda. Yakni defisit neraca berjalan sebesar 8 miliar dolar AS sampai bulan Juli 2018 ini. Sementara utang negara telah mencapai 34 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto).

"Nilai tukar rupiah telah turun sebesar 8,7 persen sejak awal tahun 2018 Padahal BI telah menaikkan suku bunga sebesar 125 basis points sejak bulan Mei," ungkapnya.

Adapun intervensi BI, tambah Heri, membuat cadangan devisa turun 10,5 persen menjadi 111,9 miliar dolar AS.

Heri menduga, penguatan dolar AS ini akan menimbulkan kekhawatiran terhadap kemampuan Indonesia membayar utang dalam dolar. Sementara di lain pihak ekspor barang dari dalam negeri kian melemah dan pemerintah terus menaikkan pertumbuhan utang untuk membiayai defisit. 

Menurut Heri, BI telah melakukan intervensi dengan membeli obligasi (bond) pemerintah sebesar Rp 80 triliun minggu lalu untuk menurunkan 10-year yield yang telah mencapai 8,094 persen. 

Namun nilai tukar yang kian terpuruk lebih disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang kurang realistis. Kebijakan tersebut malah menimbulkan double deficit, yakni trade deficit dan financial deficit. 

"Penyebabnya adalah subsidi BBM semakin tinggi, membanjirnya impor, pembiayaan infrastruktur dalam mata uang asing, dan dan defisit APBN yang dibiayai utang, termasuk dalam mata uang asing," jelasnya.

Pemerintah, tambah Heri, harus mengambil kebijakan yang tepat untuk memperbaiki kondisi itu. Di antaranya dengan memotong anggaran belanja secara signifikan, dan menurunkan defisit anggaran agar secara signifikan menurunkan prospek CA deficit dan memberikan imunitas pada ekonomi.

"Kedua, fiskal defisit pernah mencapai level tertinggi pada kwartal III 2015 atau 6 persen dan kwartal I 2016 4,3 persen. Namun saat itu private sector masih surplus. Sementara saat ini private sector balance belum bisa kembali ke level sebelum 2011, ketiga pemerintah perlu menyesuaikan belanja negara secara lebih tepat sasaran, bila perlu di kwartal III atau IV Fiscal balance bisa surplus untuk menjaga CA defisit terkendali," pungkasnya.[rmol
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita