Parodi Dipolisikan, Djoko Edhi: Konyol, Pasal Penghinaan Presiden Sudah Dihapus MK

Parodi Dipolisikan, Djoko Edhi: Konyol, Pasal Penghinaan Presiden Sudah Dihapus MK

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Langkah Koordinator Gardu Banteng Marhaen, Sulaksono Wibowo melaporkan pemuda yang memparodikan Presiden Jokowi ke Polisi dianggap konyol oleh Mantan Anggota Komisi Hukum DPR, Djoko Edhi Abdurrahman.

Wakil Sekretaris Pemimpin Pusat Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama, PBNU itu menilai laporan dari Sulaksono tidak memenuhi unsur delik pidana.

“Mem-BAP parodi sebagai tindak pidana itu yg konyol. Kalau bikin laporan polisi, bisa saja. Hak lapor adalah hak semua orang. Hanya saja, laporan yang tidak memenuhi unsur delik, bisa berbalik, misalnya bukti palsu,” kata Djoko kepada SWARARAKYAT.COM, Kamis (20/9/2018).

Menurutnya, parodi adalah rumpun satire. Satire tak bisa dipidana. Tak masuk pula ke hate speech. Apalagi, lanjut Djoko, parodi itu adalah Presiden Jokowi yang memang tingkah lakunya mengandung banyak parodi dan meme.

“Apakah saya bisa dipidana karena memparodikan Presiden? Tak bisa. Kritik ya kritik saja. Tak ada keharusan memberi jalan keluar. Kok enak,” ujar Djoko.

Terlebih, Djoko mengaku sebagai penganut Michel Focault yang hanya bertanggung jawab kepada pertanyaan, dan tidak bertanggung jawab kepada jawaban.

“Bertanya dengan benar, sudah menjadi aliran filsafat foucaltian. Yang mau lapor itu suruh belajar filsafat dulu ke Rocky Gerung agar cerdas dikit,” sarannya.

Secara hukum, kata dia, mempidanakan satire sebagai perbuatan menghina presiden, bisa saja. Jika perlu sebagai PHM (perbuatan melawan hukum).

“Jangan lupa, pasal penghinaan kepada presiden itu sudah dihapus oleh MK dalam kasus Eggi Sudjana di zaman SBY,” pesan Djoko.

Djoko pun mempertanyakan pasal yang akan menjerat pemuda tersebut.

“Sebagai apa presiden jadi terhina? Pasal 4 UUD 1945 presiden sebagai Kepala Negara harus dgn lambang Garuda. Pasal 5, presiden sebagai Kepala Pemerintahan dgn lambang Padi Kapas. Yang mana yang mau dituntut?,” tanyanya.

Kemudian, Djoko membandingkan kasus yang menimpa Bambang Tri, penulis buku “Jokowi Undercover”. Bambang dituduh menghina dan tidak ilmiah dalam karya tulisnya.

“Lho. Padahal, untuk produk buku, uji tidak ilmiahnya di forum perguruan tinggi, bukan di kantor polisi. Tidak ilmiah itu disebut disitu sebagai menghina,” ungkap Djoko.

“Repot memang ketika Polri memihak dan menjadi alat kekuasaan presiden untuk menghadapi rakyatnya. Aje gile. Presiden cocok saja diparodi jadi Mukidi. Menurut Yudi Latief, Jokowi anti intelektualisme. Saya setuju itu. Bahkan saya tak yakin Jokowi sarjana UGM, insinyur pula. Sejumlah responnya tak menunjukkan ia sarjana,” tandasnya. [swr]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita