Membedah Makna 'Matamu', Pesan Tak Langsung Buwas untuk Mendag

Membedah Makna 'Matamu', Pesan Tak Langsung Buwas untuk Mendag

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Direktur Utama Badan Urusan Logistik (Bulog) Budi Waseso melontarkan kata 'matamu' untuk menanggapi pernyataan Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita. Kata 'matamu' yang diucapkan pria yang karib disapa Buwas itu memang terkesan mengungkapkan ketidaksenangan, tapi apa artinya?

"Itu artinya negatif, kenapa negatif? Karena, ketika digunakan pada konteks 'matamu', mata itu kan identik dengan indra penglihatan atau visual, sehingga secara tersirat dia menanyakan berarti pihak lawannya itu 'tidak bisa melihat'," ujar dosen Prodi Sastra Jawa FIB UI Dr Ari Prasetiyo saat berbincang dengan detikcom, Rabu (19/9/2018) malam.

Selain 'matamu', dalam bahasa Jawa ada makian 'ndasmu' yang menurut Ari bermakna lebih kasar. (E)ndas berarti kepala, yang di dalamnya terdapat otak untuk berpikir. Ketika seseorang, misalnya, mengucapkan kata 'ndasmu', secara tak langsung berarti menganggap lawan bicaranya perlu berpikir.

"Umpatan hanya ada di ranah ngoko (bahasa Jawa kasar) saja, ranah kromo (bahasa Jawa halus) tidak mungkin. Orang yang sudah menggunakan kromo sudah di tahapan berbudi halus itu, orang yang sudah bahasa kromo tidak mungkin mengeluarkan umpatan," tutur Ari.

Dalam kehidupan sehari-hari, kata 'matamu' tak melulu diucapkan karena emosi. Ari juga menggambarkan situasi saat kata 'matamu' diucapkan sebagai candaan sesama teman (peer group) yang tak jarang juga diungkapkan oleh pelawak dalam pertunjukannya.

Kembali pada pernyataan Buwas, Ari menilai ungkapan itu bisa ditujukan ke tiga sasaran. Menurut Ari, belum tentu ucapan itu secara khusus ditujukan kepada Enggar.

"Karena kata 'mu' itu kan pengganti orang kedua tunggal. Ini bisa saja diartikan untuk orang yang saat itu berbicara langsung dengan Pak Buwas, misalkan para wartawan yang bertanya kepada Buwas. Tapi bisa juga ditujukan ke Pak Enggar karena sebelum kata 'matamu', Pak Buwas bilang 'kita'. Nah, kita di sini bisa bermakna antara Pak Buwas dan Pak Enggar. Kemudian makna yang lebih makro, 'mu' di situ bisa bermakna berarti untuk 'kita semua'. Jadi bisa saja ini dianggap sebagai masalah kebangsaan, sehingga (Buwas) menyampaikan untuk kita semua," papar Ari.

Ari mengakui sering kali orang Indonesia menyamakan makna 'kita' dengan 'kami'. Tetapi, sebagai akademisi, Ari mengartikan pengucapan Buwas secara objektif sesuai dengan apa yang diucapkan.

"Sebagai pribadi, saya sangat menyayangkan Pak Budi memakai kata 'matamu', sebuah kata yang punya tendesi makna negatif bagi kelompok budaya tertentu (Jawa). Kesantunan berbahasa sebaiknya dicontohkan, utamanya oleh pimpinan/pejabat," tutur Ari.

Diwawancarai terpisah, guru besar linguistik UI Prof Rahayu Surtiati Hidayat menilai sebuah kata makian biasanya bermakna berbeda dengan secara harfiahnya. 'Matamu' yang diucapkan Buwas, kata Rahayu, bisa saja bukan bermakna 'mata' dalam pengertian sehari-hari.

"Kalau mau dibandingkan kan orang Betawi pakai 'palelu', kadang 'mata' (pada kata 'matamu') tak ada artinya lagi, sudah jadi idiom jadi kan. Ketika dia omong 'neneklu' juga bukan berarti 'nenek', memang ada yang tersinggung nenek dibawa-bawa, tapi artinya sudah bukan 'neneklu bodoh' atau bagaimana, tapi makna 'nenek'-nya hilang," tutur Rahayu.

Selain itu, Buwas, yang memang berasal dari suku Jawa, mengucapkan kata 'matamu' ke Enggar, yang kelahiran Cirebon dan keturunan Tionghoa. Bagi Rahayu, sebuah kata makian atau umpatan biasanya diucapkan tanpa memikirkan apakah lawan bicaranya mengerti artinya atau tidak.

"Dia gunakan 'matamu' nggak sengaja, ya nemunya kata itu. Kita kalau spontan mengeluarkan kata yang pertama, saya yakin kalau dia orang Betawi pasti omong 'palelu'," ungkap Rahayu.

Sebelumnya diberitakan, Buwas menolak impor beras lagi. Soalnya, tak ada lagi ruang di gudang untuk menampung beras. Respons Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita kemudian membuat Buwas mengumpat.

Buwas menjelaskan, pihaknya harus menyewa gudang Rp 45 miliar demi menampung beras, termasuk menampung gelontoran beras impor. Bila ada lagi beras impor yang datang, entah harus ditaruh di mana lagi.

"Saya bingung ini berpikir negara atau bukan. Coba kita berkoordinasi itu samakan pendapat, jadi kalau keluhkan fakta gudang saya bahkan menyewa gudang itu kan cost tambahan. Kalau ada yang jawab soal Bulog sewa gudang bukan urusan kita, matamu! Itu kita kan sama-sama negara," papar dia di Perum Bulog, Jakarta Selatan, Rabu (19/9).[dtk]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita