Ferdinand: Saya Curiga Asia Sentinel Dibayar Tutupi Skandal Megawati dalam Kasus BLBI

Ferdinand: Saya Curiga Asia Sentinel Dibayar Tutupi Skandal Megawati dalam Kasus BLBI

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Artikel dari media asing Asia Sentinel sempat membuat heboh publik.

Betapa tidak, artikel tersebut secara jelas memaparkan soal adanya konspirasi keuangan di era kepemimpinan SBY.

Pembahasan dalam artikel itu pun diawali dengan membahas perihal kasus Bank Century.

Dalam artikel Asia Sentinel tersebut, Bank Century yang telah berganti nama menjadi Bank Mutiara itu disebut sebagai "Bank SBY," karena diyakini berisi dana gelap untuk menunjang Partai Demokrat, yang dipimpin oleh SBY.

Tak hanya itu, tulisan mengenai sumber dana Bank Century hingga adanya rekayasa laporan di era SBY juga diulas dalam artikel tersebut.

Sebagai subyek dari bahasan tersebut, pihak SBY pun telah memberikan pernyataannya.

Bahwa ia akan memperkarakan pencatutan namanya serta Partai Demokrat yang seolah sudah tercemar nama baiknya.

Setali tiga uang dengan sang ketua, salah satu politisi Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean pun memberikan pembelaan.

Dilansir dari laman Twitternya, Ferdinand Hutahaean menyebut bahwa artikel dari Asia Sentinel hanyalah berisi halusinasi.

Halusinasi yang dikedepankan demi mendapatkan bukti-bukti tulisan.

Tak hanya itu, Ferdinand pun mengutarakan kecurigaannya perihal artikel yang dimuat oleh media asing tersebut.

Ia menyebut bahwa bisa saja Asia Sentinel nyatanya dibayar untuk menutupi kasus BLBI yang pernah menyeret nama Megawati di dalamnya.

Ya, nama Megawati memang sempat disebut-sebut dalam persidangan skandal BLBI pada bulan Mei 2018.

"Saya jadi curiga, Asia Sentinel itu dibayar untuk menutupi skandal ini yang memang nama Ibu Megawati disebut sebut di dalam persidangan BLBI dgn terdakwa Syafrudin Tumenggung," tulis Ferdinand Hutahaean.

Tak hanya kembali membawa nama Megawati, Ferdinand Hutahaean juga menuliskan cuitan yang berisi asal muasal kasus BLBI tersebut menyeret nama Megawati.

Yakni dengan menyertakan artikel dari Tribunnews.com mengenai kebijakan Megawati di era kepemimpinannya.

"Inilah asal mula utang pr obligor konglomerat beralih menjadi beban APBN.

Setiap tahun APBN harus membayar kewajiban utang swasta yg menjadi beban APBN krn kebijakan SKL BLBI Rejim megawati.

Ratusan Trilliun (bkn trilliun fiktif sprt tulisan Asia Sentinel) negara dirugikan," tulisnya.

Megawati dan Kasus BLBI

Diberitakan sebelumnya, nama mantan presiden Indonesia sempat disebut dalam dakwaan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung.

Nama Megawati muncul terkait skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (14/5/2018) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

Megawati dikatakan menerima laporan dari Syafruddin pada 11 Januari 2014 silam, dalam Sidang Kabinet Terbatas (Ratas) yang juga dihadiri oleh Ketua Komite Sektor Keuangan (KKSK) Dorodjatun Kuntjoro Jakti.

Dalam laporannya, Syafruddin melaporkan utang petambak PT Dipasena Citra Darmadja sebesar Rp 3,9 triliun, yang dapat dibayar senilai Rp 1,1 triliun.

Sedangkan sisanya diusulkan untuk dihapus buku (write off).

Syafruddin tak melaporkan adanya kondisi utang-utang yang macet.

"Bahwa atas laporan Terdakwa tersebut, kesimpulan ratas tidak memberikan keputusan dan tidak mengeluarkan penetapan terkait dengan hutang petambak," tulis KPK dalam dakwaannya, dikutip Tribunnews.

Meski nama Megawati disebut, KPK menilai belum menemukan peran yang signifikan dari sang mantan presiden.

Mereka pun menganggap belum terlalu relevan untuk menyeret Megawati.

"Sementara ini, saya melihat belum relevan. Namun relevan atau tidak nanti kita lihat seperti apa," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang saat dihubungi KONTAN, Selasa (15/5/2018).

Dalam persidangan, KPK menduga Syafrudin telah menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, yang telah menyebabkan kerugian keuangan negara.

Audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan tertanggal 25 Agustus 2017, terkait kasus ini menyebutkan, kerugian keuangan negara adalah Rp 4,58 triliun.

Nilai kerugian negara itu lebih tinggi daripada yang sebelumnya diperkirakan KPK, yakni sebesar Rp 3,7 triliun. [tribun]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita