"The New Prabowo", Strategi Gaet Kaum Milenial

"The New Prabowo", Strategi Gaet Kaum Milenial

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Kubu oposisi terus berupaya untuk merebut hati rakyat. Salah satunya mengubah penampilan dan kebiasaan dari calon presiden Prabowo Subianto yang selama ini terkesan kaku, meledak-ledak, dan elitis. Mereka menyebutnya, The New Prabowo. Istilah ini diungkapkan pertama kali oleh cawapres Sandiaga Uno dalam sebuah wawancara. Dia menyinggung konsep The New Prabowo sebagai sebuah proses mem-branding ulang (rebranding) mantan Danjen Kopassus itu.

Istilah ini memang berhubungan dengan bagaimana sebuah brand atau merek dipersepsikan oleh masyarakat. Dalam konteks politik, branding adalah upaya untuk mengubah citra dan penampilannya agar lebih bisa diterima masyarakat (pemilih). Di titik ini, Sandi menyebut sosok sang jenderal itu tengah di-framing oleh kubunya untuk memunculkan Prabowo yang baru guna merebut hati pemilih, lebih khusus kaum muda (milenial).

“Pak Prabowo itu orangnya asyik, The New Prabowo sekarang orangnya sangat cair, sangat mendengar, menghormati,” kata Sandiaga, Rabu (22/8) lalu.

Konsep The New Prabowo, tambah Sandiaga, perlu dilakukan agar Ketua Umum Partai Gerindra itu bisa diterima oleh kelompok pemilih muda yang menganggap penampilan Prabowo cenderung “membosankan”. Sandi menyebut gaya junjungannya yang kerap mengenakan baju berwarna putih dengan empat kantong misalnya, sebagai hal yang membuat pemilih zaman now bosan.

Ditilik dari sejarah, baju ikonik yang biasa dikenakan Prabowo termasuk saat mencalonkan diri sebagai Capres 2014 lalu merupakan gaya peninggalan militer Inggris yang bertugas di daerah tropis pada medio abad ke-19. Ciri khasnya adalah empat kantong di bagian depan dan epaulet, elemen dekoratif pakaian di bahu yang menjadi tempat penyematan tanda pangkat. Masalahnya, kemeja ini bagi beberapa kalangan terlalu bernuansa militeristik dan kaku, apalagi bagi pemilih generasi milenial yang tak lagi lahir di tengah agresi militer.

Sebab itu, Sandi pun menyebut telah berdiskusi dengan Didit Prabowo yang merupakan putra Prabowo untuk mengubah gaya ayahnya itu. Putra semata wayang Prabowo yang juga desainer busana terkemuka tersebut ikut gemas melihat penampilan sang ayah yang begitu-begitu saja. Kurang fashionable dan tak nyambung dengan generasi milenial.

Mengapa harus menyasar milenial? Alasannya sudah cukup jelas. Porsi pemilih milenial merupakan porsi terbesar untuk Pemilu 2019. Poltracking Indonesia mencatat, pada Pemilu 2019 setidaknya terdapat 40% pemilih berusia 17-35 tahun yang notabene kaum milenial. Sementara Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) menyebut data pemilh milenial mencapai 55% dari jumlah total pemilih pada Pemilu 2019.

Senada, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memprediksi populasi pemilih dari kalangan milenial pada 2019 mencapai lebih dari 50%. Karena itu, peneliti Senior LIPI Syamsuddin Haris mengingatkan, partai politik harus memperhitungkan betul-betul keberadaan generasi millenial di pemilu mendatang. Ia memprediksi salah satu kunci kemenangan partai politik dalam meningkatkan elektabilitas adalah bagaimana menarik simpati pemilih pemula (milenial). Kategori milenial atau generasi “Y” sendiri menurut banyak ahli adalah mereka yang lahir tahun 1980 – 2000.

Jangan Meninggalkan Substansi

Memang, citra diri Prabowo selama ini didominasi oleh gagasan politiknya dan karakter yang keras dan berapi-api. Kalau dilihat dari cara Prabowo berpidato, mungkin personal branding yang ditunjukkan oleh putra begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo itu adalah orator keras menggelegar, katakanlah seperti Soekarno. Prabowo adalah sosok populis klasik, tipikal pemimpin berkarakter kuat atau strong man. Namun, tampilan karakter itu justru terlihat “agak kuno” dalam konteks dinamika politik dan sosial saat ini.

Bandingkan dengan gaya rivalnya, Joko Widodo (Jokowi) yang lebih luwes berpenampilan dalam berbagai kesempatan. Kadang formal, kadang tampil sporty, atau malah bak bintang rok dengan jaket denim. Strategi berganti-ganti gaya ini nyatanya sukses membuat penampilannya berkali-kali jadi perbincangan khalayak.

Pada Pilpres 2014 lalu, Jokowi juga mengambil ceruk masyarakat kelas menengah ke bawah lewat political branding kesederhanaannya, blusukannya, serta baju kotak-kotak yang “eye-catching”, sementara Prabowo menampilkan citra diri sebagai seorang aristokrat nan mewah dan bagian dari elite. Akhirnya kekuatan citra Jokowi menumbangkan Prabowo. Pun demikian jelang Pilpres 2019, personal branding Jokowi menyesuaikan dengan konteks demografi pemilih: kerap bergaya milenial serta melancarkan gimmick-gimmick politik.

Kembali ke konsep The New Prabowo, tampilan ini sebetulnya sudah mulai terlihat beberapa waktu terakhir ketika Prabowo mulai meninggalkan baju empat kantongnya, utamanya sejak pendaftaran capres-cawapres ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Saat itu, kita menyaksikan Prabowo berdiri lewat atap mobil yang dibuka, mengenakan kaca mata hitam dan ikat kepala merah.

Ia juga kemudian membentangkan bendera merah putih di punggungnya dan menariknya, ada satu momen ketika menantu Soeharto itu “berjoget” saat lagu “Lagi Syantik” yang dipopulerkan oleh Siti Badriah diputarkan pendukungnya. Pemandangan tersebut tentu saja sangat langka, mengingat kemasan politik Prabowo selama ini terkesan aritokratis, serius, dan kaku.

Prabowo dengan tampilan baru (tak lagi menggunakan baju berkantong empat) diapit dua sosok muda: Agus Harimurti Yudhoyono (kiri) dan Cawapres Sandiaga Uno (kanan) usai mendaftar sebagai pasangan kandidat pada Pilpres 2019 di KPU Jakarta
Pertanyaannya, apakah rebranding The New Prabowo hanya akan mengubah tampilan Prabowo, atau juga sampai ke hal-hal yang prinsipil dan berhubungan dengan pembawaan kampanye serta gagasan politiknya? Apakah mungkin kita akan menyaksikan Prabowo mengenakan sneakers, naik motor seperti Presiden Jokowi dan terus bergoyang seperti “goyang dayung” Jokowi di Pembukaan Asian Games beberapa hari lalu?

Tentu saja, jika The New Prabowo hanya untuk “mendandani” tampilan luar Prabowo, bisa dipastikan kontestasi Pilpres 2019 akan miskin gagasan dan defisit substansi. Sebab, di kubu Jokowi sejak Pilgub DKI Jakarta 2012, lalu Pilpres 2014 hingga jelang Pilpres 2019, juga jualan citra: mantan Walikota Solo itu seolah-olah merakyat, sederhana, dan dari wong ndeso. Namun bisa jadi, ‘politik seolah-olah’ Jokowi di Pilpres 2019 tak laku lagi.

Di sisi yang lain, kecenderungan Jokowi dan pendukungnya yang gemar mengkapitalisasi citra yang terlihat di permukaan (seperti pakaian, tampang, dan atribut), tak bernilai apa pun jika tak tercermin dari cara kerja dan keberpihakan pemerintah terhadap persoalan rakyat. Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, tarif, pajak, pencabutan subsidi, serta watak ekonomi yang berkiblat pada konglemerat dan asing, menjadi penanda bahwa simbol-simbol ‘merakyat’ Jokowi hanyalah polesan dan komoditas politik.

Betul, sejak pemilihan langsung (pertama) digelar pada 2004, citra diri kandidat memang sangat menentukan dalam menggaet pemilih. Di titik ini, citra tetap diperlukan namun dalam batas-batas kewajaran serta tanpa menegasikan politik substantif. Jika rebranding Prabowo dilakukan tanpa menyentuh gagasan kampanye dan hanya mementingkan tampilan luar, kita hanya akan menyaksikan seorang penantang yang tidak menjawab kebutuhan.

Karena itu, sebaiknya konteks rebranding Prabowo bukan sekadar mengganti apa yang dikenakannya saja, tetapi juga bagaimana strategi kampanye dan pendekatan politiknya dikonsep ulang sesuai dengan situasi sosial politik saat ini. Konsep The New Prabowo haruslah diaplikasikan bukan semata memakaikan sneakers, tetapi bagaimana pendekatan politik sang jenderal terhadap pemilihnya pun harus disesuaikan.

Dalam konteks pemilih muda misalnya, apakah gagasan kebocoran kekayaan negara yang dijual Prabowo adalah hal yang dianggap bisa dekat dengan hati pemilih usia tersebut jika dibandingkan dengan jaminan “kamu mau jadi gamers profesional, youtuber profesional, atau pengusaha start-up, akan saya berikan sepenuhnya kemudahan dan kebebasan”? Jika tidak, maka sudah saatnya gagasan kampanye itu diganti. [swa]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita