Membaca Strategi Jokowi, Berlindung Dibalik Pesona Ulama?

Membaca Strategi Jokowi, Berlindung Dibalik Pesona Ulama?

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Terpilihnya Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sebagai calon wakil presiden (Cawapres) mendampingi Jokowi Widodo (Jokowi) selaku calon presiden (Capres) petahana di pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 terus mengundang perhatian publik.

Terutama, membaca strategi Jokowi dan koalisinya memasang ulama untuk memenangkan Pemilu serentak nanti?.

Bila menengok pada sejarah Pemilu di 2004 lalu, apa yang dilakukan Jokowi dan koalisinya serupa dengan yang dilakukan Megawati Soekarnoputri saat kembali berlaga dalam pesta demokrasi tersebut.

Ketika itu, juga ada dua kandidat dari unsur tokoh agama yang dipandang tepat untuk mendampingi putri proklamator menjabat kembali RI 1 yang sempat dirasakannya meski sangat singkat, ketika lengsernya KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden RI.

Padahal, dalam perjalanan komunikasi politik yang dilakukan Megawati ketika itu, sejumlah calon melamar untuk dipasangkan dengan Megawati, sebagai wakil presiden seperti, Hamzah Haz, Nurcholis Madjid, Hidayat Nur Wahid, Aburizal Bakrie. Bahkan, Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto.

Pilpres 2004, Pesona Sang Ulama

Di tengah gempuran calon yang ingin mendampingi Megawati Soekarnoputri saat itu, tepatnya menjelang Pilpres 2004 itu Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan memutuskan calon pendamping Ketua Umum Megawati sebagai Capres adalah tokoh yang lebih agamis

Namun saat itu, pilihan Megawati sudah mengerucut pada dua tokoh, yaitu Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan Hamzah Haz dan Hasyim Muzadi.

Meski ada dua kandidat tokoh agamis, tapi Megawati sangat memperlihatkan keinginannya untuk menggaet Hasyim sebagai pendamping. Bahkan, Megawati mengutus petinggi PDIP untuk sowan (silaturahmi) kepada Kiai Langitan di Tuban, Jawa Timur, yakni KH Abdullah Faqih (almarhum).

Ketika itu juga Hasyim didekati tokoh Partai Golkar agar mau menjadi Cawapres.  Bahkan, Hasyim juga didekati Partai Hanura agar mau dipasangkan dengan Wiranto.

Seperti diketahui, Pilpres 2004 diikuti lima pasangan calon pada nomor urut 1 Wiranto-Salahudin Wahid, urutan 2 Megawati – Hasyim Muzadi, urutan nomor 3 Amien Rais- Siswono Yudo Husodo, urutan nomor 4 SBY- JK, urutan terakhir atau 5 Hamzah Haz- Agum Gumelar.

Dari hasil pemungutan suara kala itu alias di putaran pertama, yakni Pasangan Wiranto-Salahuddin sebesar 22,15 persen. Megawati- Hasyim 26,61 persen, pasangan Amien Rais- Siswono 14,66 persen, pasangan nomor urut 4 SBY- JK sebesar 33,57 persen. Pasangan terakhir, yakni Hamzah Haz- Agum Gumelar sebesar 3,01 persen.

Sehingga, dari perolehan hasil penghitungan resmi yang dilakukan KPU ketika itu, pasangan Megawati-Hasyim Muzadi dan SBY-JK lolos ke putaran kedua dengan perolehan suara masing-masing 31.569.104 (26,61%) dan 39.838.184 (33,57%).

Hasil penghitungan suara yang cenderung petahana jauh dari pasangan penantang seperti SBY- JK. Alhasil, membuat partai politik (Parpol) yang pasangan calonnya tidak masuk di putaran kedua pun menentukan koalisi baru untuk mendukung pasangan Capres-Cawapres di putaran kedua tersebut.

Pada putaran kedua, pasangan Megawati- Hasyim didukung PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Bintang Reformasi, Partai Damai Sejahtera. Sementara, SBY- JK mendapat dukungan penuh dari partai pada putaran kedua, yakni Partai Demokrat, PAN, PKB, PPP, PKS, PBB, dan PKPI.

Hingga pada 4 Oktober 2004, hasil pemungutan suara resmi yang disampaikan KPU atas putaran kedua Pilpres dari 150.644.184 orang pemilih terdaftar, 116.662.705 orang (77,44%) menggunakan hak pilihnya. Dari total jumlah suara, 114.257.054 suara (97,94%) dinyatakan sah, pasangan Megawati – Hasyim pun tumbang.

Pasangan Capres-Cawapres SBY- JK memperoleh hasil suara sebesar 60,62 persen. Sementara , Megawati – Hasyim atau Koalisi Nasional Kebangsaan hanya mengantongi 39,38 persen saja. Artinya, pasangan SBY- JK keluar menjadi pemenang ketika itu.

Duet maut yang diajukan Megawati dengan menunjuk Hasyim Muzadi sebagai pendamping bukan tanpa alasan. Selang beberapa waktu lamanya, pasca Pilpres berakhir dan ketika sang Kiai meninggal dunia, putri kedua sang proklamator itu pun menyampaikan kekagumannya kepada kiayi kharismatik tersebut.

“Beliau sosok yang mampu menciptakan suasana damai di tengah berbagai perbedaan. Selain dikenal pandangannya yang moderat, toleran, dan penuh welas asih. Kiai Hasyim juga mampu menjadikan diri beliau sebagai jembatan persaudaraan umat beriman. Bahkan, berbagai tokoh agama dan kepercayaan merasakaan kebijakasanaan beliau,”kata  Megawati sebagaimana disampaikan Sekertaris Jenderal (Sekjen) DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Kamis (16/3/2017).

Masih dikatakan dia, beberapa kesan dan pesan dari Presiden RI kelima tersebut atas Kiai Hasyim Muzadi. Megawati Soekarnoputri mengungkapkan bahwa Kiai Hasyim adalah sosok sahabat sejati dan mereka bersama menjadi mitra berjuang pada saat Pilpres 2004.

“Kami terus menjaga persahabatan dan sering menghadiri acara yang digagas beliau. Bahkan, ketika saya diminta oleh PM Thailand Thaksin, agar membantu menyelesaikan ketegangan di Thailand Selatan akibat masalah agama, saya meminta bantuan KH Hasyim Muzadi bersama Bapak Hasan Wirayuda untuk membentuk International Conference of Islamic Scholars (ICIS),” sebut Megawati.

Terbukti, kemudian ICIS mampu menjadi wahana untuk mewujudkan dialog yang konprehensif guna memperkuat wajah Islam yang moderat, toleran dan penuh dengan semangat perdamaian. Untuk diketahui, KH A Hasyim Muzadi wafat di Rumah Sakit Lavalette, Kota Malang, Jawa Timur, pada Kamis (16/3/2017) pukul 06.15 WIB.

“Selamat jalan Kyai Hasyim Muzadi menemui Sang Khalik. Semoga Allah SWT memberikan tempat terbaik di sisi-Nya dan semoga khusnul khotimah. Amin,” tutur Megawati.

Upaya Tangkal Stigma, Tameng Ulama

Sepanjang masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak terlepas dari bayang bayang isu agama dengan nasionalisme yang berbenturan sangat hebat.

Dari persoalan penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama alias Ahok, kriminalisasi terhadap sejumlah ulama, dan sebagainya hingga sikap aparatur pemerintah yang dinilai ‘alergi’ bila bersentuhan dengan para ulama maupun aktifis muslim lainnya.

Benturan antara Jokowi dengan tokoh tokoh umat Islam, termasuk para ulama kian kencang setelah aksi bela Islam berakhir atau ketika Ahok kalah di Pilkada DKI Jakarta kemarin hingga polemik Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas.

Saat itulah, singgungan dengan para tokoh umat Islam, ulama, terus terjadi baik oleh pihak-pihak lingkaran kekuasaan sang presiden, maupun para pendukung pemerintah.

Dipilihnya Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden pada Pemilu 2019 tidak lain untuk menangkal stigma anti- Islam yang dilekatkan kepada calon presiden Jokowi selaku petahana selama ini.

Pengamat Politik UIN Syarif Hidayatullah Adi Prayitno mengatakan, Ma’ruf dipilih untuk mengantisipasi isu anti-islam yang menyerang Jokowi.

“Sejauh ini nama dia enggak pernah muncul di survei. Disebut juga enggak pernah. Sehingga kontribusi elektoral Ma’ruf Amin enggak signifikan ke Jokowi,” kata Adi, di Jakarta, Jumat (10/8).

Dikatakan dia, satu-satunya kelemahan Jokowi saat ini adalah serangan soal isu anti-Islam. Sementara soal elektabilitas, Jokowi sudah mengantonginya. Sehingga, dipilihnya Ma’ruf merupakan jalan keluar bagi mantan gubernur DKI Jakarta itu untuk menangkis isu SARA tersebut.

“Teman-teman parpol koalisi confident bahwa elektabilitas Jokowi sudah aman. Maka tidak terlalu perlu cawapres yang elektabilitas tinggi, cukup Jokowi saja deh. Yang penting Ustaz Ma’ruf dijadikan untuk antisipasi serangan yang berbau SARA dan agama,” sebutnya.

Akan tetapi, nada berbeda justru dikeluarkan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menilai langkah Jokowi percuma mengambil pihak ulama sebagai Cawapres dengan tujuan untuk menangkis stigma Anti Islam. Padahal, fakitanya penguasa sekarang memiliki lingkaran anti Islam dan Islamophobia di sekitarnya.

“Dari mulut mereka keluar kebencian, tapi dalam hati mereka kebencian itu lebih dalam. Waktu akan menceritakan,” kata Fahri dalam pesan singkatnya yang diterima wartawan, Senin (23/7).

Fahri menyebutkan, di antara dosa-dosa Jokowi yang besar adalah karena membiarkan berkembangbiaknya elemen anti Islam dan Islamophobia melalui medium konflik ideologi.

“Beda dengan presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono. 10 tahun presiden SBY tidak pernah kita terseret dalam narasi seperti ini. Ingat, radikalisasi ini berbahaya bagi NKRI,” sebutnya.

Politisi PKS juga membeberkan kebenaran ucapannya, soal elemen anti Islam dan Islamophobia tersebut. Dia mempersilahkan didebat kalau apa yang disampaikan bukan kebenaran.

“Silahkan bantah. Tapi jika ada 7 juta orang datang dari seluruh wilayah republik, melakukan protes atas ketidakadilan yang dirasakan oleh umat Islam akibat nuansa anti Islam dan Islamophobia dalam kebijakan negara, maka itu bukan isapan jempol. Itu fakta,” ketusnya lagi.

Lanjut Fahri, meski banyak tokoh Islam yang berubah pikiran tentang presiden Jokowi, tetapi jika lingkar dalamnya terlalu militan dengan nuansa anti Islam dan Islamophobia, maka semua upaya ini akan sia-sia.

“Saya memakai terminologi Taubat Nasuha. Mengapa? Karena belum nampak taubat nasuha dari pemerintahan ini atas konflik ideologi yang mereka buat di awal kekuasaan mereka,” katanya.

Menurut anggota DPR dari Nusa Tenggara Barat (NTB) itu, pencitraan dengan merekrut tokoh Islam dan ulama, tidak mengobati luka yang sudah terlalu dalam. HRS masih di luar, ulama masih tersangka, dan lain-lain.

“Adilkah kita kalau menuduh pemerintah berkuasa sebagai pemicu konflik ideologi dan tumbuhnya paham anti Islam dan Islamophobia? Tentu adil karena tugas kekuasaan adalah bertanggungjawab atas perkembangan masyarakat. 10 tahun masa SBY tidak pernah begini,” papar Fahri.

Fahri mengaku menulis kecemasan ini agar seluruh anak bangsa ini antisipatif terhadap kemungkinan meruncingnya lapangan menjelang Pemilu 2019. Apalagi pemerintah ini telah mendorong capres semakin sedikit.

“Jika calonnya hanya dua dapat dibayangkan runcingnya perbedaan. Jadi, mari kita waspada dengan upaya pemecahbelahan bangsa. Mari lawan semangat Anti Islam dan Islamophobia yang pernah tumbuh dan belum sirna. Semoga bangsa kita bersatu melawan upaya pecah-belah. Wallahu a’lam,” pungkas dia.

2019, Ulang Sejarah 2004?

Langkah yang dilakukan Jokowi sebagai Capres petahana Pemilu 2019 ini banyak yang menilai tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan Megawati ketika itu sebagai Capres petahana yang menggandeng ulama (Hasyim Muzadi, red) sebagai upaya mengkoptasi suara pemilih umat Islam di Pemilu 2004.

Sebab, sudah menjadi keniscayaan bahwa suara pemilih umat Islam sangat besar, sebagai penduduk Indonesia mayoritas, sudah barang tentu suara muslim menjadi rebutan.

Sehingga, suara umat Islam selalu menjadi rebutan para kandidat, baik dalam pertarungan di level kepala daerah (Pilkada) hingga pada pertarungan nasional seperti Pilpres yang akan berlangsung 2019 nanti.

Aktivis 212 Eggi Sudjana menilai keputusan kubu Joko Widodo memilih KH Ma’ruf Amin sebagai cawapresnya tidak akan mendongkrak suara ulama pada Pilpres 2019. Eggi membandingkan nasib Megawati Sukarnoputri di Pilpres 2004 yang kandas meski menggandeng Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi.

“Kita tidak boleh sok tahu, saling melecehkan. Tapi berdasarkan fakta, jangankan Ma’ruf Amin, dulu, Ketua PBNU saja dengan Megawati kalah. Solahudin juga kalah pas wakil Wiranto,” kata Eggi di kawasan Silang Monas, Jakarta, Jumat (10/8/2018).

Eggi memprediksi Jokowi-Ma’ruf akan bernasib sama dengan Mega-Hasyim. “Kurang-lebih begitu. Ini analisa, bisa salah juga,” sebut dia.

Menurutnya, Jokowi latah karena memilih ulama sebagai pasangannya. “Mungkin Jokowi terpengaruh isu kita yang pakai ulama. Jadi dia pikir perlu sandingkan dengan ulama,” sambungnya.

Diakui dia, jelang Pilpres 2019 nanti, Jokowi memang kerap diterpa isu SARA hingga antek asing. Meski demikian, menurut Eggi, langkah kubu Jokowi memilih ulama tidak akan menghapus stigma itu.

“Itu sambil jalan. Isu itu kan tidak booming, biasa saja,” pungkasnya.

Sementara itu, Pengamat Politik dari Universitas Jayabaya Igor Dirgantara mengatakan nasib Jokowi yang menggandeng Ma’ruf Amin sebagai Cawapres masih sangat memungkinkan akan bernasib sama dengan Mega – Hasyim pada Pemilu 2004 lalu.

Menurut dia, peluang Jokowi – Ma’ruf Amin bernasib seperti Mega-Hasyim saat ini masih fifty-fifty.

“Peluangnya 50:50. Bisa iya, bisa juga tidak (bernasib sama Mega-Hasyim, red). Artinya, Jokowi bisa menang, bisa juga di kalahkan,”kata Igor saat dihubungi aktual.com, Rabu (22/8).

Akan tetapi, sambung dia, peluang pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin mengalami nasib seperti Megawati-Hasyim sangat peluang untuk terjadi.

Ia mengatakan, setidaknya ada kesamaan yang bukan hanya pada pasangan calon saja. Menurut dia, kesamaan lain, dimana antara Jokowi dengan Megawati ketika itu sama-sama baru berkuasa 1 periode.

Yang kedua, sama-sama berhadapan dengan calon dari figure militer. Diketahui, saat Pemilu 2004 dalam putaran kedua, Mega-Hasyim head to head dengan mantan Kepala Staf Teritorial (Kaster) ABRI 1998-1999 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Hal itu, tentu saja tidak jauh berbeda dengan kondisi jelang Pilpres 2019 nanti, dimana Jokowi berhadapan dengan Prabowo Subianto yang merupakan mantan Danjen Kopassus.

“Sama halnya Megawati (PDIP) yang hanya berkuasa 1 periode, dikalahkan oleh figur militer saat itu (SBY). Saat ini masyarakat sudah bisa menilai dan merasakan kinerja inncumbent. Ada persoalan beban ekonomi yang dirasakan masyarakat saat ini,” ujarnya.

“Akan tetapi, masyarakat pemilih bisa saja memberikan kesempatan kedua kepada Jokowi atau kesempatan baru kepada calon lainnya (Prabowo-Sandiaga Uno),” pungkas Igor.

Dilema Warga Nahdliyin Jelang Pilpres

Dalam aturan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) Nahdlatul Ulama (NU) pada BAB XVI mengatur tentang tidak bolehnya pengurus struktural untuk melakukan rangkap jabatan.

Hal itu seperti termaktub dalam Pasal 51 ayat 4,5 dan 6, yang berbunyi ;

(4) Rais ‘Aam, Wakil Rais ‘Aam, Ketua Umum, dan Wakil Ketua Umum Pengurus Besar; Rais dan Ketua Pengurus Wilayah, Rais dan Ketua Pengurus Cabang tidak diperkenankan mencalonkan diri atau dicalonkan dalam pemilihan jabatan politik.

(5) Yang disebut dengan Jabatan Politik dalam Anggaran Rumah Tangga ini adalah Jabatan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, Wakil Walikota, DPR RI, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

(6) Apabila Rais ‘Aam, Wakil Rais ‘Aam, Ketua Umum, dan Wakil Ketua Umum Pengurus Besar mencalonkan diri atau dicalonkan, maka yang bersangkutan harus mengundurkan diri atau diberhentikan.

Politikus Gerindra asal Bangkalan, Moh. Nizar Zahro mengatakan NU hingga saat ini masih dalam garis khittahnya sebagai organisasi yang tidak terlibat dalam politik praktis. Sehingga, tidak tepat bila kemudian menjadikan NU untuk memberikan dukungan dalam tatanan politik praktis. Hal itu sama saja mempertentangkan dengan khittah NU itu sendiri.

“Jika NU tetap ingin mempertahankan khittahnya, maka hendaknya siapa pun pengurus NU yang terlibat dalam politik praktis diminta untuk mengundurkan diri,”tegas Nizar, di Jakarta, (19/8/2018).

“Jangan sampai nama besar NU dipertaruhkan dalam ajang kontestasi yang akan melahirkan kalah atau menang. Karena jika sampai kalah, maka seluruh NU lah yang dipermalukan,” tambahnya.

Ia juga mengingatkan, jangan sampai kasus Pilpres 2004 terulang kembali, dimana waktu itu KH Hasyim Muzadi sebagai Cawapres Megawati kalah dalam kontestasi Pilpres pada putaran kedua dengan SBY-JK.

Dan kasus tersebut, sambung Nizar, masih menjadi beban NU, dimana setiap ada kontestasi Pilpres yang melibatkan tokoh NU, maka kasus tersebut akan kembali diungkiti.

“Sudah tepat kiranya, NU kembali ke khittah. Tidak lagi bertarung dalam kontestasi politik. Kader NU dapat berkiprah dari kelompok politik manapun, tetapi tidak membawa nama besar NU,” ujarnya

“Saat ini mayoritas warga nahdiyin lebih memilih tetap berada dalam khittah. Maka sebaiknya KH Ma’ruf Amin tidak mengklaim dukungan NU secara organisatoris,” pungkasnya.

Sementara itu, Pengamat Politik sekaligus Direktur Survei dan Polling Indonesia (SPIN) Igor Dirgantara mengatakan Ma’ruf Amin memang dikenal sebagai salah satu tokoh NU yang punya pengaruh, tetapi bukan satu-satunya. Sebab, khittah NU sejak awal adalah non-politis atau tidak melibatkan diri dalam politik, apalagi soal dukung mendukung.

“Artinya, dengan terpilihnya Ma’ruf Amin sebagai Cawapres Jokowi di 2019 tidak akan seluruhnya bisa menguasai suara Nahdliyin. Apalagi Ma’ruf Amin juga sudah seharusnya mundur sebagai Rais ‘Aam PBNU dan ketua MUI, karena tuntutan netralitas dan independensi politik,” paparnya.

Ditambah lagi, sambung Igor, dengan terjadinya peristiwa gagalnya Mahfud MD menjadi Cawapres Jokowi berikut pengakuannya –  yang juga kader NU – krn adanya ‘intrik politik’ di menit terakhir jelang deklarasi. Sehingga, besar kemungkinan, massa NU akan masih sangat cair.

“Terlebih, dengan kunjungan Prabowo-Sandiaga Uno ke Markas PBNU beberapa hari lalu dengan Ketum PBNU Aqil Siradj bisa dijadikan indikasi. Kartu anggota NU yang di dapat Prabowo bisa jadi sinyalemen komunikasi politik akan hal ini,” tukasnya.

Tidak hanya itu, Presidium Persatuan Pergerakan, Andrianto menilai meski Ma’ruf Amin sebagai Cawapres Jokowi di Pilpres 2019 belum tentu seluruh warga Nahdliyin akan memilih pasangan calon tersebut.

Hal itu saat menanggapi pernyataan yang bernada ancaman dari salah satu elit di PBNU kepada Jokowi, jika kader NU tidak menjadi Cawapres. Maka NU akan ‘tidur’ dan meninggalkan pemerintahan Jokowi. Seperti yang diucapkan Mahfud MD menirukan pernyataan Ketua PBNU bidang Hukum Robikin.

Andrianto memprediksi, dari 9 juta warga Nahdliyin, yang kemungkinan akan memilih Jokowi-Ma’ruf Amin, jumlahnya paling hanya ribuan saja.

“Nu struktural (pengurus) dukung MA (Ma’ruf Amin) yang jumlahnya paling 1000-an,” kata Andrianto, Kamis (16/8/2018).

Sedangkan sisanya, sambung dia, biasanya akan memiliki pilihan yang berbeda dan tidak segaris lurus dengan NU struktural atau dalam hal ini PBNU dan seluruh struktur di bawahnya.

“NU kultural yang jutaaan biasanya beda lagi. NU punya otonom dalam soal ginian (pilihan politik),” ucapnya.

Langkah Jokowi Gandeng Ma’ruf Amin Sudah Benar?

Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Reseacrch and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago (Ipang) mengatakan dipilihnya nama Ma’ruf Amin sebagai Cawapres Jokowi bukan tanpa alasan.

Bahkan, sambung dia, menyandingkan figur Ma’ruf Amin setidaknya memberikan Jokowi dan koalisi keuntungan politik tersendiri dalam memenangkan Pilpres 2019 nanti.

“Pertama sosok Ma’ruf non partisan, beliau bukanlah kader salah satu partai koalisi pengusung Jokowi, tingkat penerimaan (akseptabel) anggota koalisi cukup tinggi dan solid, sementara itu resistensi partai koalisi menjadi sangat rendah,” kata Ipang menjawab pertanyaan aktual.com, di Jakarta, Kamis (23/8).

Selain itu,tambah Ipang, menjawab isu SARA terhadap Jokowi. Tidak diragukan lagi, sambung dia, sosok Ma’ruf Amin adalah ulama kharismatik yang disegani dikalangan NU dan saat ini beliau masih menjabat sebagai Ketua MUI, sebuah lembaga tempat bernaungnya para ulama dari pelbagai macam organisasi dari seluruh pelosok Indonesia.

Bahkan, beliau juga menjadi salah satu aktor sentral di balik keluarnya fatwa MUI tentang penistaan agama yang dilakukan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama (Ahok) yang berujung pada rangkaian gelombang aksi umat Islam.

“Dengan demikian, Ma’ruf memainkan peran meng-counter isu politik entitas agama yang di-alamatkan ke Jokowi terkait ketidak- berpihakan pada umat Islam, kriminalisasi terhadap ulama dan berbagai macam isu SARA lainnya,” paparnya.

“Berikutnya, figure ulama ahli ekonomi. Selain ulama Ma’ruf Amin juga punya kapasitas yang mumpuni dalam bidang ekonomi, terutama ekonomi syariah. Kemampuan dan kapasitas beliau dalam bidang ekonomi kerakyatan, tentu menjadi salah satu poin penting untuk menjawab persoalan terkini bangsa Indonesia yang sedang bergelut dengan persoalan ekonomi liberal,” sebut Ipang.

“Dukungan basis massa NU. Sebagai tokoh senior NU, dicalonkannya Ma’ruf tentu sangat mempertimbangkan peran sentralnya diorganisasi terbesar umat Islam ini. Dukungan dari basis massa grassroot NU, akan berdampak signifikan terhadap insentif elektoral mendongkrak elektabilitas Jokowi, dan juga berdampak pada posisi sentimen dan citra politik yang selama ini terkesan negatif terutama bersentuhan dengan isu sintimen umat Islam dan ulama.” Ia juga berpandangan, dengan digandengnya Ma’ruf bagian dari strategi mengunci PKB agar tidak meninggalkan koalisi dan menghidupkan poros ketiga.

“Ma’ruf Amin adalah pilihan Parpol koalisi, sementara Mafud MD adalah pilihan Jokowi. Parpol koalisi tak setuju dengan Mahfud karena punya potensi menjadi matahari terang di Pilpres 2024. Namun tetap rumusnya Parpol punya bergaining position tinggi menentukan Cawapres ketimbang Jokowi,” pungkasnya.

Lebih lanjut, ketika ditanyakan bagaimana kalkulasi kemenangan bila kemudian Ma’ruf Amin mundur dari jabatannya sebagai Rais ‘Aam dan Ketua MUI?. Ipang mengatakan bila itu yang terjadi tentu sedikit banyak akan mempengaruhi warga Nahdliyin dalam menentukan pilihannya di Pilpres nanti.

“Sedikit  banyak tentu berpengaruh, sekarang Maruf Amin menjabat sebagai ketua MUI dan Rais Aam NU, secara struktural bisa mengkondisikan dan memobilisasi grassroot NU dan MUI,” ungkapnya.

“Saya pikir Maruf Amin akan ngotot dan bertahan (pada jabatannya, red). Tidak ada cerita mundur dalam kamus Maruf Amin. Artinya dugaan saya Maruf Amin tidak bakal mundur dari posisi jabatan strategis seperti ketua MUI dan jabatan sebagai Rais Aam,” tambahnya.

Jika Ma’ruf mundur, maka jejaring grasroot struktural bisa tidak all out memenangkan Maruf Amin. “Jadi jabatan strategis sekarang menjadi faktor penentu kemenangan Maruf Amin, dan jejaring serta kekuatan infrastruktur politik sangat lah penting. Saya pikir Maruf memahami ini,” tandas Ipang. [aktual]

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA