Kans Jokowi-Ma'ruf Vs Prabowo-Sandi

Kans Jokowi-Ma'ruf Vs Prabowo-Sandi

Gelora News
facebook twitter whatsapp

Oleh: Pangi Syarwi Chaniago*

DRAMA  panjang penentuan cawapres telah mencapai klimaks, pasca Joko Widodo mendeklarasikan pasangannya untuk berlaga pada pilres 2019 nanti, nama Ketua MUI KH. Ma'ruf Amin menjadi pilihan Jokowi dan poros ini dinamakan Koalisi Indonesia Kerja (KIK).

Tidak mau ketinggalan kubu Prabowo Subianto menjawab keraguan publik dengan mendeklarasikan pasangannya, nama Sandiaga Salahuddin Uno dipilih.

Jatuhnya pilihan terhadap Sandiaga Uno, di luar prediksi (efek kejut). Asumsi nama yang berkembang selama ini, Prabowo santer akan berpasangan dengan sosok ulama sesuai hasil rekomendasi dari Ijtima Ulama GNPF.

Pasangan Ma’ruf Amin-Sandiaga Uno mempunyai plus-minus bagi capres Jokowi dan Prabowo. Oleh karena itu, cawapres menjadi faktor kunci penentu kemenangan pada kontestasi pilpres 2019 nanti.

Ma’ruf Amin sebetulnya bukan lah nama baru dipentas politik nasional, beliau adalah tokoh sentral MUI dan NU dan sangat berpengaruh.

Setidaknya ada beberapa kelebihan beliau yang membuat Jokowi jatuh hati pada nama ini. Pertama; non partisan, beliau bukan lah kader salah satu partai koalisi pengusung Jokowi, tingkat penerimaan (akseptabel) anggota koalisi cukup tinggi dan solid, sementara itu resistensi partai koalisi rendah.

Kedua; menjawab isu SARA. Tidak diragukan lagi sosok Ma’ruf Amin adalah Ulama kharismatik yang disegani dikalangan NU dan saat ini beliau masih menjabat sebagai Ketua MUI, sebuah lembaga tempat bernaungnya para ulama dari pelbagai macam organisasi dari seluruh pelosok Indonesia.

Selain itu, beliau juga menjadi salah satu aktor sentral di balik keluarnya fatwa MUI tentang penistaan agama yang dilakukan Ahok yang berujung pada gelombang aksi 212 umat Islam.

Dengan demikian, Ma'ruf memainkan peran meng-counter isu politik entitas agama yang di-alamatkan ke Jokowi terkait ketidak- berpihakan pada umat Islam, kriminalisasi terhadap ulama dan berbagai macam isu SARA lainnya.

Ketiga; ulama ahli ekonomi. Selain ulama Ma’ruf Amin juga punya kapasitas yang mumpuni dalam bidang ekonomi, terutama ekonomi syariah.

Kemampuan dan kapasitas beliau dalam bidang ekonomi kerakyatan, tentu menjadi salah satu poin penting untuk menjawab persoalan terkini bangsa Indonesia yang sedang bergelut dengan persoalan ekonomi liberal.

Keempat; dukungan basis massa NU. Sebagai tokoh senior NU, dicalonkannya Ma’ruf tentu sangat mempertimbangkan peran sentralnya diorganisasi terbesar umat Islam ini.

Dukungan dari basis massa grassroot NU, akan berdampak signifikan terhadap insentif elektoral mendongkrak elektabilitas Jokowi.

Bukan hanya dukungan elektoral namun juga berdampak pada posisi sentimen dan citra politik yang selama ini terkesan negatif terhadap Jokowi, terutama bersentuhan dengan isu sintimen umat Islam dan ulama.

Kelima; Ma'ruf Amin digandeng Jokowi bagian strategi mengunci PKB agar tidak banting stir meninggalkan koalisi Jokowi. Ketika Mahfud MD yang dipilih Jokowi, kita hakul yakin PKB bakal hengkang dan berpotensi menghidupkan poros ketiga, hal tersebut tentu ditakuti Jokowi.

Ma'ruf Amin adalah pilihan parpol koalisi, sementara Mafud MD adalah pilihan Jokowi. Parpol koalisi tak setuju dengan Mahfud karena punya potensi menjadi matahari terang di pilpres 2024. Namun tetap rumusnya parpol punya bergaining position tinggi menentukan cawapres ketimbang Jokowi.

Sementara itu, nama Sandiaga Uno sebagai pilihan wakil Prabowo juga patut/layak untuk diperhitungkan, tak bisa dinggap enteng dan punya banyak kelebihan.

Pertama; efek kejut, munculnya nama Sandiaga Salahuddin Uno di luar dugaan dan prediksi yang selama ini berkembang termasuk dalam pantauan radar beberapa lembaga survei.

Nama Sandi muncul dari labirin politik (kebuntuan), sebelum nama AHY, Abdul Somad, Salim Segaf Al-Jufri menguat, namun takdir sejarah menjemput nama Sandiaga Uno menjadi cawapres pendamping Prabowo. Akibatnya ekspektasi publik terhadap Prabowo makin naik.

Dengan demikian, munculnya nama Sandiaga Uno, mengubah peta lama menjadi peta baru. Masuknya nama Sandi ke gelanggang pilpres, membuat persaingan politik kian ketat dan sengit.

Kedua; soal logistik. Pertimbangan Logistik sepertinya menjadi salah satu alasan kuat dipilihnya Sandi. Tidak dapat dipungkiri perhelatan politik pemilihan presiden memakan biaya yang cukup fantastis (high cost) dan Sandi siap menanggung sebagian pembiayaan politik tersebut.

Dibutuhkan nafas panjang dengan dukungan logistik yang cukup memadai. Kelebihan ini yang dimiliki Sandiaga Uno, dinobatkan sebagai salah satu anak muda terkaya di Indonesia. Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) ke KPK yang terbaru, total kekayaan Sandiaga mencapai Rp 5 triliun.

Ketiga; muda, cerdas, kaya, ganteng dan energik (good looking). Bukan bermaksud membuat dikotomi antara muda dan tua, namun stamina dan fisik yang prima sangat dibutuhkan menopang kegiatan politik berkampanye ke seluruh pelosok negeri.

Menjangkau luasnya wilayah Indonesia untuk dikunjungi dalam rangka menyapa dan memenangkan hati rakyat. Sandiaga Uno pernah mencatat rekor Muri dengan mencatat blusukan terbanyak sepanjang Pilkada DKI 2017 lalu.

Keempat; kemampuan beradaptasi dengan pemilih milenial. Kemampuan untuk menjangkau dan mengambil ceruk simpati pemilih melenial tentu menjadi poin penting.

Proporsi dari pemilih disegmen melenial menyentuh angka 40 %, sekitar 75 juta pemilih melenial dari usia memasuki 17-38 tahun. Sehingga dibutuhkan cara dan strategi jitu merebut empati segmen pemilih melenial.

Sandi anak muda punya potensi masuk ke dunia yang disenangi kaum milenial dan mak-mak, cara berpakaian, cara berkomunikasi dan mapping elektoral terhadap apa yang menjadi hobi anak muda melenial alay mulai dari musik, olah raga dan teknologi.

Kelima; penguasaan dan kapasitas di bidang ekonomi. Sebagai seorang pengusaha yang sukses tentu menjadi nilai jual bagi Sandiaga Uno untuk menjawab tantangan melemahnya ekonomi Indonesia.

Program ekonomi akan menjadi poin penting dan prioritas pasangan ini untuk mempengaruhi pemilih di tengah komplikasinya persoalan fundamental ekonomi yang belum bisa diselesaikan dan diurai pemerintahan Jokowi dari level hulu sampai hilir. Kampanye politik identitas agama dipastikan sudah selesai.

Keenam; harus kita akui pemilih sosioligis dan primordialisme masih tinggi di Indonesia, memilih berbasiskan agama, suku, etnis, daerah. Prabowo-Sandiaga adalah kombinasi ideal yakni Jawa-luar Jawa, Prabowo representasi suara Jawa, Sandi bisa berkonsentrasi mengambil ceruk segmen pemilih di luar Jawa.

Kelemahan Capres Cawapres

Komposisi pasangan capres-cawapres selain punya nilai positif tentu pada saat yang sama juga punya beberapa kelemahan dan kekurangan.

Untuk pasangan Jokowi-Ma'ruf ada beberapa kelemahan. Pertama; resistensi cukup tinggi baik dari pendukung Mahfud MD maupun Ahok.

Nama Mahfud MD sangat kencang disuarakan sebagai bakal calon wakil presiden mendampingi Jokowi. Namun namanya dicoret dimenit-menit terahir.

Dicoretnya nama Mahfud tentu menyisakan “luka dalam” dikalangan pendukung fanatik beliau yang berujung pada kekecewaan dan menurunnya loyalitas dalam memperjuangkan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin.

Hal yang sama juga terjadi pada elemen pendukung Ahok, nama Ma’ruf Amin tentu bukan nama baru dalam pergulatan politik Ahok di DKI Jakarta yang berujung pada “jeruji besi” dalam pusaran kasus Al-Maidah, fatwa fenomenal MUI yang mem-vonis Ahok sebagai penista agama.

Kekecewaan ini harus dikelola dengan baik untuk memantapkan kembali sehingga tetap memilih Jokowi (strong voter) dan tidak mengalihkan dukungan pada kandidat lain serta tidak golput.

Kedua; memainkan politik identitas. Isu politik identidas sebelumnya selalu dialamatkan kepada koalisi PKS dan Gerindra.

Namun keputusan Jokowi memilih Ma’ruf Amin untuk membendung (counter) gelombang politik identitas ini justru Jokowi  sedikit terjebak pada posisi yang kurang menguntungkan.

Poros Jokowi akan mendapat tuduhan baru, menjadikan politik identitas sebagai tameng dan memanfaatkan ghirah populisme Islam dalam tanda petik hanya sebagai upaya mendulang suara pemilih kanan sehingga Jokowi berpotensi kembali dilirik suara umat.

Argumen dan narasi yang sebelumnya dibagun terkait Agama, Ulama yang harus dijauhkan dari politik. Pernyataan Presiden Jokowi bahwa agama dan politik harus dipisahkan, justru kini menjadi strategi jualan politik beliau, Jokowi seakan menjilat kembali air liurnya sendiri.

Ketiga, keterbatasan fisik (usia). Diusianya yang sudah mulai sepuh, Ma’ruf Amin tentu punya keterbatasan ruang gerak mobilisasi dan adaptasi terhadap tantangan politik.

Jadwal kampanye yang padat dan luasnya wilayah akan dikunjungi (blusukan) menyulitkan beliau dalam melalui masa kampanye yang panjang dan melelahkan.

Di sisi lain, beliau juga akan kesulitan menyesuaikan diri dengan pemilih melenial. Jokowi harus habis-habisan mengantikan posisi dan peran tersebut dalam rangka merebut dan memenangkan hati kaum melenial.

Keempat; dukungan yang tidak sepenuhnya dari NU. Sebagi ormas terbesar di Indonesia pada hakikatnya bukan lah sesuatu yang tunggal, di dalamnya terdapat banyak elemen dan kepentingan.

Di kalangan NU sendiri dikenal sebutan NU Struktural dan NU Kultural, kedua segmen ini butuh pendekatan dan sentuhan berbeda (finishing toch).

Fakta politik menunjukkan NU Kultural dan NU Struktural bukanlah entitas politik yang dengan mudah dimobilisasi untuk mendukung atau tidak terhadap kandidat tertentu. NU juga tidak mudah dikapitalisasi rumah atau milik satu partai tertentu, namun kader NU milik dan ada di semua partai politik.

Contoh pengalaman (bentangan emperis) dalam Pilpres 2004 menunjukkan pasangan Megawati yaitu KH Hasyim Muzadi yang merupakan kader NU justru kalah dalam pilpres tersebut, begitu juga dalam beberapa pilkada kader NU justru menelan kekalahan di basisnya sendiri.

Di kubu Prabowo, pemilihan nama Sandiaga Uno juga tidak bisa dilepaskan dari beberapa kelemahan, Pertama; harus mengubah narasi kampanye-isu agama yang sudah tidak relevan. Politik identitas sepertinya akan mengalami kebuntuan dan ini tentunya positif untuk demokrasi kita.

Kubu Prabowo harus merubah narasi dan literasi kampanye ke arah yang lebih konstruktif seperti masalah ekonomi, keamanan, pembangunan dan pemerataan dan masuk ke isu kesejahteraan.

Menggeser narasi kampanye tentu membutuhkan kemampuan tersendiri, terutama soal data, mengigat kompetitornya adalah petahana yang tentu punya pengalaman, sudah berbuat, tidak lagi akan melakukan ini dan itu. Ini menjadi tantangan bagi sang penantang.

Yang jelas incambent punya modal dan kapsitas untuk menjawab setiap isu dalam bidang ini. Sehingga dibutuhkan upaya serius dari kubu Prabowo untuk menemukan narasi, formula, isu, tema yang tepat.

Kedua; basis sosial dan ideologi yang sama dengan Prabowo. Sandiaga Uno adalah orang dalam partai Gerindra sehingga dapat dipastikan ide dan gagasannya dengan Prabowo tidak jauh jauh berbeda.

Dari segi basis massa juga dapat dipastikan tidak akan terjadi perluasan basis massa dan akan kesulitan menjangkau segmen ceruk pemilih yang berbeda.

Berbeda dengan Jokowi-Maruf Amin, ceruk segmen pemilih keduanya tidak sama secara mainstream yakni kombinasi nasionalis-religius. Artinya Jokowi berpotensi dilirik umat ketimbang Prabowo.

Ketiga; jangkauan yang lemah terhadap segmen pemilih muslim. Pemilih Muslim relatif belum merepresentasikan dari sosok Sandiaga Uno, sehingga ada upaya dari partai koalisi terutama PKS untuk menyematkan gelar “Santri Pos-Islamisme” kepada Sandi.

Menyematkan gelar “santri” adalah upaya untuk meminimalisir kenyataan bahwa Sandiaga Uno memang agak kesulitan menjangkau pemilih umat.

Keempat; basis massa yang belum jelas. Basis pemilih adalah pertimbangan serius dan berkontribusi nyata dalam menyumbang insentif elektoral, menentukan kemenangan kandidat.

Sandiaga Uno secara basis belum teruji kecuali hanya di DKI Jakarta, dibutuhkan upaya serius untuk menutupi kekurangan ini sehingga pasangan Prabowo-Sandiaga Uno mendapatkan dukungan dari basis pemilih yang lebih luas dan nyata.

Oleh karena itu, berkaca dari kelebihan dan kekurangan dari masing masing pasangan capres-cawapres di atas, pada dasarnya pemilihan presiden 2019 nanti diprediksi akan berjalan cukup kompetitif, keras dan sangat dinamis.

Sudah saatnya kita meninggalkan politik yang berbasis pada SARA, narasi yang produktif dan konstruktif harus diprioritaskan, mari  adu gagasan, narasi, visi misi, adu program yang diutamakan untuk menyongsong masa depan Indonesia yang lebih baik. Semoga! [rmol]

*Pengamat politik, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita