Kapal Isap BeroperasI, Warga Rela Mati

Kapal Isap BeroperasI, Warga Rela Mati

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Perjuangan rakyat Desa Rambat Bangka Barat (Babar) dan sekitarnya menolak beroperasinya Kapal Isap Produksi (KIP), layak diapresiasi. Bertahun-tahun konflik berjalan, sosialisasi KIP pun diusahakan. Namun sikap warga yang mayoritas nelayan itu tak bergeming.

“Demi Menjaga Kelestarian Laut, Kami Rela Mati,” demikian yang tertulis dalam karton pamflet warga, kemarin (13/7).

Padahal saat itu, pihak KIP bermaksud mengadakan sosialisasi rencana beroperasinya mereka di laut tempat para nelayan mencari nafkah secara turun temurun.

Namun Kepala Desa Rambat, Ali Imron kepada Babel mengatakan, pertemuan itu bukan sosialisasi. Melainkan pertemuan dengan tim penyelesaian konflik. Warga sendiri tetap pada pendiriannya yakni menolak adanya KIP. Alasan itu karena 90 persen warga merupakan nelayan yang menggantungkan hidupnya di laut, salah satunya bagan.

“Kami tetap menolak karena mata pencarian kami di laut sebagai nelayan, warga tetap mempertahankan keasrian laut tanpa tambang,” tegas Ali Imron kepada Babel Pos (Jawa Pos Grup/pojoksatu.id) kemarin.

Ribuan warga bebondong-bondong menghadiri ‘sosialisasi’ rencana kerja Kapal Isap Produksi (KIP) milik PT. Jelajah Marindo Persada pada Jumat (13/7) kemarin.

Sosialisasi tersebut dilaksanakan di kantor Desa Rambat dan Kantor Desa Air Nyatoh. Namun ternyata warga datang bukan untuk mendengarkan sosialisasi dari pihak perusahaan, tapi menyampaikan penolakan terhadap aktifitas KIP yang akan beroperasi di perairan Rambat tersebut.

Ketua FPNP (Forum Persatuan Nelayan dan Pesisir), Asbaru yang kerap dipanggil Baba menyatakan bahwa rencana beroperasinya KIP milik PT. Jelajah Marindo Persada cacat prosedural, lantaran tidak adanya sosialisasi ke masyarakat dan nelayan yang terdampak pada saat proses penyusunan Dokumen Amdal. Ia pun mengaku aneh, pihak perusahaan baru niat sosialisasi setelah dokumen Amdal keluar.

“Tapi baru sekarang terjadi sosialisasi, hal ini bertentangan dengan UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam, PP No 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan dan Temuan Panja (Panitia Kerja) Tentang Kapal Isap Produksi DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung,” beber Baba.

Baba menambahkan bahwa izin PT. Jelajah Marindo Persada adalah izin lama yang dikeluarkan Bupati Kabupaten Bangka Barat sebelum pelimpahan kewenangan ke Provinsi sesuai UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, izin PT. Jelajah Marindo Persada terbit tahun 2016 melalui Surat Keputusan Gubernur No 188.44/1165.m/DPE/2016.

“Kok baru sekarang mau sosialisasi. Padahal selama ini tahapan-tahapan pembuatan dokument Amdal dan izin lingkungan tertutup dan tidak ada sosialisasi ke masyarakat,” tandasnya.

Masyarakat Tak Dilibatkan
Sementara, Direktur Eksekutif WALHI Bangka Belitung, Ratno Budi mengungkapkan bahwa mayoritas Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Konsesi Hutan Tanaman Industri dan Hak Guna Usaha perkebunan sawit yang terbit dan dikeluarkan di wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung banyak yang tidak sesuai dengan Undang Undang dan peraturan yang berlaku serta menyimpang.

Hal ini terlihat jelas dalam setiap penyusunan document Amdal masyarakat tidak dilibatkan sehingga kebijakan kebijakan yang terbit selalu bertentangan dengan kehendak masyarakat.

“Sebagai wilayah kepulauan, Provinsi Babel dihadapkan pada situasi krisis yang sulit terpulihkan, akibat dalam kurun waktu yang sangat panjang, sumber daya alamnya. Dengan luas Kepulauan Bangka Belitung 1,6 juta hektar, 3/4 dari luas wilayahnya masuk dalam Izin Usaha Pertambangan (IUP) skala besar maupun inkonvensional. Ruang hidup dan ruang kelola rakyat dikepung oleh industri timah, Ini belum termasuk dengan berbagai izin lainnya seperti HGU industri kehutanan,” ungkap Ratno Budi.

Menurut dia, aktivitas tambang timah di darat dan laut telah menimbulkan berbagai dampak signifikan. Tambang timah di darat telah mengakibatkan deforestasi dan degradasi hutan. Tambang di laut telah mengakibatkan kehancuran ekosistem pesisir dan perairan laut.

“Pada akhirnya berdampak pada sekitar 45 ribu nelayan tradisional yang mengandalkan hidupnya dari pesisir dan laut. Bahkan, yang ironi, menempatkan Provinsi Babel berada di urutan tertinggi dengan kondisi lahan rusak dan kondisi kritis atau sangat kritis, dibandingkan dengan provinsi lainnya, yakni mencapai 1.053.253,19 hektar atau 62 persen dari luas daratan Babel,” ujarnya.

Temuan KPK, 601 IUP Belum Cnc
Bukan hanya krisis lingkungan hidup dan keselamatan rakyat yang terancam, ekonomi masyarakat, khususnya nelayan juga terancam dengan semakin masifnya tambang timah beroperasi.

“Jika tambang timah selalu digembar-gemborkan sektor yang menghasilkan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi nasional atau daerah, faktanya kerugian negara juga begitu besar akibat dari tata kelola yang buruk,” imbuhnya.

“Ini terkonfirmasi dengan temuan Korsup Minerba KPK yang menemukan ada 601 IUP yang belum CnC atau sekitar 55 persen dari total 1085 IUP. Inilah yang nampaknya menjadi tali temali korupsi di sektor tambang timah. Dari tahun 2004-2014, ICW mencatat kerugian negara dari timah sebesar 68 trilyun rupiah dari pajak, biaya reklamasi, royalti, pajak ekspor dan penerimaan non pajak,” bebernya.

Oleh karenanya, Ia mendesak Gubernur Babel mengeluarkan Intruksi Gubernur tentang moratorium industri timah di Babel yang bertujuan untuk melindungi keselamatan rakyat dan memastikan perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup.

Menurut dia, kebijakan moratorium ini sebagai langkah untuk menghentikan aktivitas tambang timah dan beralih ke sumber ekonomi lain yang berkeadilan dan berkelanjutan seperti sektor pertanian dan perikanan.

“Kebijakan moratorium yang dikeluarkan harus berbasis capaian dengan indikator yang jelas dan dibarengi dengan langkah-langkah melakukan audit lingkungan hidup, melakukan review perizinan dan Melakukan penegakan hukum serta melakukan pemulihan lingkungan hidup, dan memastikan lubang-lubang tambang direklamasi sebagai salah satu kewajiban bagi perusahaan,” tutupnya.[psid]

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA