Dituding Menyesatkan Publik oleh Ali Ngabalin, Haris Azhar Balikkan Tuduhan: Anda Juga

Dituding Menyesatkan Publik oleh Ali Ngabalin, Haris Azhar Balikkan Tuduhan: Anda Juga

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Tenaga ahli utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin terlibat adu pendapat dengan pengacara 8.000 karyawan Freeport yang di PHK, Haris Azhar, dalam acara Indonesian Lawyer Club yang disiarkan oleh tvOnepada Selasa (17/7/2018).

Dalam video yang diunggah akun YouTube Indonesia Lawyer Club tvOne tampak Ali Ngabalin mengatakan jika keterangan yang disampaikan oleh Haris Azhar menyesatkan publik.

Sebelumnya, Haris Azhar mengatakan jika rezim saat ini sama saja dengan rezim terdahulu terkait Freeport.

Namun, Ali Ngabalin menyebut bahwa keterangan yang disampaikan Haris Azhar menyesatkan publik.

"Beberapa ketarangan-keterangan yang beliau sampaikan itu tidak saja sesat, tapi menyesatkan publik Indonesia. Karena itu saya harus klarifikasi, saya harus luruskan. Pertama begini, saya mencatat bahwa perlakukan hak-hak asasi yang tidak menjadi perhatian, PHK, dan sebagainya itu rezim Kontrak Karya Pak" kata Ali Ngabalin.

Menanggapi hal itu, Haris Azhar langsung memotong dan mengatakan jika Hak Asasi Manusia (HAM) tidak bergantung pada Kontrak Karya.

Pernyataan tersebut juga disetujui oleh Ali Ngabalin.

Ali Ngabalin lalu menjelaskan jika perjanjian Kontrak Karya antara Freeport Indonesia dengan Rio Tinto adalah kesepakatan dengan pemerintah terdahulu yang harus diselesaikan sekarang.

"Itu yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo," ujar Ngabalin.

Pernyataan tersebut kemudian dipotong oleh Haris Azhar yang menyebut jika Ngabalin juga menyesatkan publik.

"Saya mesti bilang juga, saya harus menjelaskan, anda menyesatkan publik juga, saya mau balikin. Kita punya undang-undang ketenagakerjaan, kita punya undang-undang serikat kerja, kita punya undang-undang Hak Asasi Manusia, banyak. Di dalam undang-undang itu tidak ada pengecualian untuk diberlakukan kepada Freeport," ujar Haris.

"Jadi Anda tidak bisa berlindung pada kontrak karya."

Perkataan Haris tersebut dibantah oleh Ali Ngabalin dengan mengatakan bahwa apa yang sedang mereka bicarakan adalah pergeseran Kontrak Karya kepada rezim Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Simak selengkapnya dalam video di bawah ini.


Kontrak Karya Freeport


Diberitakan Kontan, Kontrak Karya I terjadi pada tahun 1967.

Saat itu perekonomian Indonesia sedang kacau karena inflasi mencapai 600 persen hingga 700 persen yang membuat pembangunan infrastruktur terhenti.

Pemerintah kemudian menyepakati penandatanganan kontrak kerja dengan Freeport.

Dalam perjanjian tersebut Freeport mendapat hak konsesi lahan penambangan seluas 10.908 hektar untuk kontrak selama 30 tahun.

Dalam kontrak karya pertama disepakati, royalti untuk pemerintah Indonesia dari penambangan tembaga yang dilakukan Freeport sebesar 1,5% dari harga jual (jika harga tembaga kurang dari US$ 0.9/pound) sampai 3,5% dari harga jual (jika harga US$ 1.1/pound).

Sedangkan untuk emas dan perak ditetapkan sebesar 1% dari harga jual.

Pada awal beroperasi di Indonesia, Freeport diperkirakan menginvestasikan dana mencapai US$ 75 juta-US$ 100 juta.

Kontrak Karya II kemudian terjadi pada tahun 1991, padahal Kontrak Karya I baru berakhir pada tahun 1997.

Dalam Kontrak Karya II, pemerintah dan Freeport sepakat untuk memperpanjang kontrak selama 30 tahun, hingga 2021.

Melalui Kontrak Karya II, wilayah penambangan Freeport saat ini mencakup wilayah seluas 2,6 juta hektar atau sama dengan 6,2% dari luas Irian Jaya.

Berbeda dengan pada awal beroperasinya Freeport yang hanya mendapatkan wilayah konsesi seluas 10.908 hektar.

Persentase royalti yang didasarkan atas prosentase penerimaan penjualan bersih yaitu 1%-3,5% tergantung pada harga konsentrat tembaga, dan 1% flat fixed untuk logam mulia (emas dan perak).

Di dalam Kontrak Freeport, tidak ada satu pasal pun yang secara eksplisit mengatur bahwa pemerintah Indonesia dapat sewaktu-waktu mengakhiri Kontrak Freeport.

Hal ini, termasuk jika Freeport dinilai melakukan pelanggaran-pelanggaran atau tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan kontrak.

Sebaliknya, pihak Freeport dapat sewaktu-waktu mengakhiri kontrak tersebut jika mereka menilai pengusahaan pertambangan di wilayah kontrak pertambangannya sudah tidak menguntungkan lagi secara ekonomis.

Hingga akhirnya, pada masa pemerintahan Jokowi (2 tahun sebelum kontrak berakhir), negara berhasil mengambil alih 51 persen saham Freeport melalui PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum).

Presiden Direktur Freeport McMoran, Richard Adkerson, menyebut, dengan kepemilikan saham mayoritas tersebut, Pemerintah Indonesia bisa mendapatkan penerimaan hinga puluhan miliar dollar AS.

"Dengan kepastian investasi dan operasi hingga tahun 2041, kami memperkirakan manfaat langsung kepada pemerintah pusat dan daerah, serta dividen kepada Inalum dapat melebihi 60 miliar dollar AS," kata Richard Adkerson usai penandatanganan kesepakatan divestasi di Kementerian Keuangan, Kamis (12/7/2018) sebagaimana dilansir dari Kompas.com.

Setelah tercapai kesepakatan divestasi, Inalum harus menggelontorkan dana 3,85 miliar Dollar AS untuk mengambil alih 51 persen saham Freeport.

Nominal 3,85 miliar Dollar AS itu digunakan untuk membeli 40 persen hak partisipasi atau Participating Interest (PI) Rio Tinto di PTFI serta 100 persen saham Freeport McMoran di PT Indocopper Investama dengan porsi 9,36 persen saham di PTFI.

40 persen hak partisipasi Rio Tinto yang dibeli Inalum akan dikonversi menjadi saham sehingga total saham yang dimiliki Indonesia nanti sebesar 51,38 persen.

Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan, proses pembayaran 3,85 miliar Dollar AS itu akan dilakukan maksimal dua bulan dari hari kesepakatan dibuat.

Untuk memenuhi pembayaran tersebut, Inalum akan dapat dukungan dana berupa pinjaman dana dari patungan 11 bank.[tribun]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita