BBM Naik, Pengamat: Pemerintahan Jokowi Panik Luar Biasa

BBM Naik, Pengamat: Pemerintahan Jokowi Panik Luar Biasa

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Keputusan Pertamina menaikkan harga BBM nonsubsidi jenis Pertamax dan Dex Series yang mulai berlaku 1 Juli 2018, mendapat sorotan banyak kalangan.

Pengamat Kebijakan Publik dari Budgeting Metropolitan Watch (BMW) Amir Hamzah mengutarakan, pemerintahan Jokowi dinilai mengalami kepanikan menyusul tagihan hutang luar negeri yang jatuh tempo. Cara termudahnya yakni, dengan menaikkan harga BBM secara diam-diam.

"Pemerintahan Jokowi panik luar biasa karena utang luar negeri yang jatuh tempo," kata saat dihubungi, Minggu (1/7).

Amir mengungkapkan, hingga Juli 2019, Jokowi harus membayar utang luar negeri sekitar Rp 810 triliun. Artinya setiap bulannya wajib mencicil Rp 70 triliun. "Bagimana cara gampang cari uang? Salah satunya menaikan harga BBM. Pemerintah tidak peduli kesengsaraan rakyat," ujar Amir.

Pengamat Ekonomi Energi UGM, Fahmi Radhi juga ikut memberikan penilaian. Dia mengatakan, kenaikan harga Pertamax dan BBM jenis non subsidi tidak akan mempengaruhi inflasi. Sebab, kenaikan yang berkisar antara Rp 600 hingga Rp 900 per liter tidak terlalu besar.

Fahmi menilai, keputusan Pertamina menaikkan harga BBM nonsubsidi merupakan langkah yang wajar. Sebab, saat ini harga minyak dunia sudah mencapai 70 dolar per barel. Artinya, jika Pertamina tidak menaikkan harga jual maka akan membuka peluang potential lost keuangan pertamina.

"Ini sebagai upaya untuk mengurangi potensial lost keuangan Pertamina. Harga minyak dunia terus merangkak naik," ujar Fahmi, Minggu (1/7).

Berdasarkan data dari Kemenkeu, harga minyak dunia per 31 Mei 2018 sudah USD 66 per barel. Bahkan saat ini mendekati USD 70 per barel. Harga itu lebih tinggi dari harga asumsi APBN yang menetapkan harga minyak USD 48 per barel. Pada 2016, asumsi APBN hanya USD 34 per barel. Artinya terjadi kenaikan harga minyak 2 kali lipat dalam dua tahun.

Tingginya harga minyak menjadi salah satu hal yang memengaruhi neraca perdagangan. Itu karena ada defisit di sektor migas. Selain itu, produksi minyak dan gas per 31 Mei 2018 juga mengalami penurunan. Lifting minyak 742 ribu barel per hari, dari asumsi 800 ribu barel per hari. [jpnn]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita