Aksi OPM dan Kericuhan Kalbar Pasca Pilkada Seharusnya Masuk Tindak Pidana Terorisme

Aksi OPM dan Kericuhan Kalbar Pasca Pilkada Seharusnya Masuk Tindak Pidana Terorisme

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme hasil revisi telah disahkan beberapa waktu lalu. Jika merujuk pada definisi terorisme dalam undang-undang baru itu, maka aksi penyerangan yang dilakukan Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan kerusuhan di Kalimantan Barat (Kalbar) usai Pilkada serentak seharusnya masuk dalam tindak pidana terorisme.

Sidang Paripurna DPR 25 Mei 2018 lalu telah secara bulat menyepakati definisi terorisme, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2). Pasal itu menyebut, terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau ganguan keamanan.

Aktivis Pusat Hak Asasi Muslim Indonesia (PUSHAMI) M. Kalono mengatakan definisi dalam undang-undang hasil revisi itu merupakan norma baru di Indonesia. “Suka atau tidak suka pasal yang merupakan definisi baru dari terorisme tersebut menjadi norma baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita,” ujarnya dalam pernyataan tertulis, Ahad (01/07/2018).

Saat Pilkada serentak 2018, OPM melakukan beberapa aksi penyerangan yang menargetkan elemen-elemen yang terkait Pilkada. Di Bandara Kenyam, Kabupaten Nduga kelompok itu menembaki pasukan Brimob yang akan melakukan pengamanan Pilkada. Mereka kamudian melakukan pembunuhan terhadap tiga orang warga sebagai bentuk penolakan terhadap proses pemilihan kepala daerah. Kapolri pun menyebut ada kepentingan politik di balik aksi OPM.

Di Kalimantan Barat kericuhan dilakukan sekelompok orang melakukan aksi anarki usai pelaksanaan Pilkada. Kadiv Humas Mabes Polri mengkonfirmasi terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat pada Jumat (29/6/2018) di Kabupaten Landak, Kalbar yang dipicu oleh massa yang tak puas terhadap hasil hitung cepat calon yang didukungnya.

“OPM jelas motifnya politik, kerusuhan di Kalbar pasca Pilgub kemarin jelas motifnya politik, maka perbuatan tersebut harus dimasukkan dalam tindak pidana terorisme,” ujar Kalono.

Dia menambahkan beberapa waktu lalu ada oknum guru besar yang menyatakan bahwa OPM tak membawa agama dalam perjuangannya sehingga bukan teroris. Dengan berlakunya definisi baru terorisme, yang tidak terdapat satupun motif terkait agama di dalamnya, maka jika mungkin agama bisa dimasukkan dalam motif ideologi.

“Akan tetapi motif yang menjadi latar belakang dalam definisi baru tersebut adalah ideologi, politi atau gangguan keamanan, jika salah satu unsur tersebut terpenuhi maka pidana tersebut masuk dalam pidana terorisme,” tandasnya.

Karenanya, pernyataan yang menyebut aksi OPM tidak termasuk pidana terorisme karena tak membawa unsur agama sudah sangat tidak relevan saat ini. “Namun demikian bisa saja dibenarkan jika tiba-tiba nanti presiden membuat Perppu dengan memasukkan frase jika tidak membawa-bawa agama maka tidak dapat dimasukkan sebagai tindak pidana terorisme,” imbuh Kalono.

Aktivis PUSHAMI itu mengatakan jika aparat penegak hukum tegas dan menindak dengan adil tanpa tebang pilih, maka semua pihak akan menjaga diri dari perbuatan yang mengarah kepada terorisme. Namun jika sebaliknya, lanjut Kalono, maka semua pihak harus bisa dimaklumi jika akan berbuat sekehendak hatinya dan akan terjadi vandalisme serta hukum rimba di negara ini. [kn]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita